Tokoh

Amandla Awethu : Gema Persaudaraan dari Istana ke Papua Pegunungan

Wamena — Ketika Prabowo Subianto menjamu Presiden Cyril Ramaphosa di Istana Merdeka, Jakarta, pada 22 Oktober 2025, sebuah momen hangat menggema. Di tengah prosesi kenegaraan, Prabowo mengangkat tangan dan berseru lantang “Amandla!”, yang segera dijawab penuh semangat oleh Ramaphosa dengan “Awethu!”. Seruan itu bukan hanya sapaan diplomatik, melainkan simbol kekuatan dan persatuan rakyat lintas benua—pesan berharga bagi bangsa Indonesia, termasuk masyarakat Papua Pegunungan, untuk terus menyalakan semangat gotong royong, demokrasi, dan kemanusiaan yang menyatukan.

Latar dan Makna “Amandla Awethu”

Seruan “Amandla”—yang berarti kekuatan—dan jawabannya “Awethu”—yang bermakna milik kita—lahir dari semangat perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam menuntut keadilan. Ketika kata itu diucapkan oleh Prabowo Subianto di hadapan Presiden Cyril Ramaphosa, maknanya menjelma menjadi simbol persaudaraan antarbangsa yang mengangkat martabat rakyat. Pesan tersiratnya jelas: kekuatan bangsa sejati tumbuh dari rakyat yang bersatu dalam keragaman. Bagi masyarakat Papua Pegunungan yang hidup di antara tantangan geografis dan perbedaan budaya, momen ini menjadi pengingat bahwa keutuhan Indonesia dibangun dari partisipasi tanpa sekat. Sejalan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat—dan semangat “Amandla Awethu” merefleksikan makna itu dengan kuat dan menyentuh hati.

Baca juga: Misteri Kangguru Wondiwoi, Harta Langka dari Hutan Papua

Relevansi bagi Demokrasi di Indonesia

Momen persahabatan Prabowo dan Ramaphosa memperlihatkan bahwa diplomasi antarbangsa tidak hanya berbicara soal kerja sama politik dan ekonomi, tetapi juga tentang nilai kemanusiaan universal. Di dalamnya tercermin toleransi, penghormatan, dan persaudaraan—unsur penting dalam demokrasi yang sehat. Bagi lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), makna tersebut menegaskan bahwa pemilu bukan sekadar proses administratif, tetapi ruang suci bagi rakyat untuk menegaskan kedaulatannya melalui suara. Di Papua Pegunungan, prinsip ini menjadi semakin penting: menjamin akses yang setara, memastikan setiap warga—dari lembah hingga puncak pegunungan—mampu berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa, sesuai dengan semangat LUBER JURDIL yang dijaga KPU di seluruh pelosok negeri.

Baca juga: Dari Medan Juang ke Demokrasi: Teladan Nasionalisme Prabowo

Pesan untuk Potensi Lokal Papua Pegunungan

Jika di Jakarta seruan “Amandla Awethu” menggema di Istana Merdeka, maka di Tanah Papua Pegunungan, maknanya terasa sebagai panggilan moral untuk bangkit bersama. Seruan itu mengajak semua pihak untuk mendengar, hadir, dan berkontribusi membangun daerah. Tantangan geografis, keterbatasan infrastruktur, dan beragam adat istiadat memang kerap menjadi penghalang, namun semangat “Amandla Awethu” justru menegaskan bahwa kekuatan sejati ada pada kebersamaan. Suara masyarakat Papua Pegunungan adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi demokrasi Indonesia. Kepala kampung, guru, pemuda, tokoh agama, hingga penyelenggara pemilu—semuanya memiliki peran vital dalam menjaga agar demokrasi tumbuh dengan adil, bermartabat, dan penuh harapan di atas tanah tinggi yang sejuk itu.

Dari Seruan ke Aksi Nyata

Momen Prabowo–Ramaphosa dan gaung “Amandla Awethu” memberi kita cermin tentang pentingnya menjadikan persatuan bukan sekadar slogan, melainkan tindakan nyata. Persaudaraan lintas bangsa tersebut mengingatkan bahwa kekuatan sebuah negara tidak diukur dari kekuasaan, tetapi dari solidaritas warganya yang saling menguatkan. Di Papua Pegunungan dan seluruh penjuru Indonesia, semangat itu dapat hidup dalam bentuk sederhana—dari musyawarah kampung, gotong royong warga, hingga partisipasi dalam pemilu yang damai. Sebab, “Amandla Awethu” bukan hanya pekik semangat, tetapi panggilan untuk menjaga Indonesia yang berdaulat, inklusif, dan berpihak pada rakyatnya.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,017 kali