HAM dan Demokrasi: Fondasi Bersama Negara Hukum yang Berkeadilan
Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi adalah dua pilar utama dalam kehidupan bernegara yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang: saling melengkapi, saling memperkuat, dan menjadi prasyarat tegaknya negara hukum. Demokrasi menciptakan lingkungan yang menjamin penghormatan terhadap HAM, sementara penegakan HAM memperkuat kualitas demokrasi itu sendiri. Tanpa perlindungan HAM, demokrasi kehilangan maknanya; sebaliknya, tanpa demokrasi, hak asasi manusia akan sulit ditegakkan secara nyata. Hubungan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir — seperti hak hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, serta hak untuk memperoleh keadilan. Sementara itu, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menjamin rakyat memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih secara bebas. Hubungan keduanya bersifat saling bergantung dan timbal balik: Demokrasi menciptakan lingkungan HAM. Dalam sistem demokratis, kebebasan sipil dan politik dijamin oleh konstitusi. Warga negara memiliki hak untuk berbicara, berkumpul, berserikat, dan memilih tanpa paksaan. Demokrasi yang sehat memastikan bahwa kekuasaan dijalankan dalam batas-batas hukum dan moral, sehingga mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. HAM sebagai fondasi demokrasi. Tanpa jaminan HAM, partisipasi politik tidak mungkin berjalan. Hak untuk memilih, berpendapat, dan berorganisasi merupakan bagian dari HAM yang menjadi inti demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, perlindungan terhadap HAM adalah syarat agar demokrasi berfungsi dengan adil dan inklusif. Seperti yang dijelaskan oleh Ellya Rosana (2016), prinsip demokrasi dan HAM tidak dapat dipisahkan dari konsep negara hukum (rule of law). Dalam negara hukum yang demokratis, yang berdaulat bukanlah manusia, melainkan hukum. Hukum bertugas membatasi kekuasaan, melindungi hak warga negara, dan memastikan keadilan dijalankan tanpa pandang bulu. Baca juga: Ternyata, Demokrasi Indonesia Mirip Mobile Legends! Ini Nilai-Nilai yang Bisa Kita Pelajari Negara Hukum dan Implementasi HAM dalam Demokrasi Menurut pemikiran Julius Stahl dan A.V. Dicey, suatu negara dapat disebut demokratis apabila memiliki jaminan hukum terhadap HAM. Artinya, pelaksanaan demokrasi harus diwujudkan dalam sistem pemerintahan berdasarkan hukum dan konstitusi. Dalam konteks Indonesia, hal ini tertuang secara eksplisit dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum,” serta mengakui dan menjamin hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Konstitusi Indonesia juga menegaskan prinsip kedaulatan rakyat, di mana rakyat menjadi sumber legitimasi tertinggi dalam pemerintahan. Dengan demikian, penghormatan terhadap HAM dan pelaksanaan demokrasi bukan sekadar ideal moral, melainkan amanat konstitusional. Negara berkewajiban untuk: Menyusun peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak asasi setiap warga negara. Tidak menghalangi partisipasi masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Menegakkan keadilan tanpa diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hukum, dalam kerangka demokrasi, bukanlah alat kekuasaan, tetapi instrumen keadilan untuk semua warga negara. Penegakan HAM dalam Proses Demokratisasi Indonesia Sejak reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam penegakan HAM dan demokrasi. Setelah lebih dari tiga dekade berada di bawah rezim otoriter, bangsa ini mulai membuka ruang kebebasan berpendapat, partisipasi politik, dan transparansi pemerintahan. Namun, transisi menuju demokrasi substantif tidak berjalan tanpa tantangan. 1. Keadilan Transisional Untuk menyembuhkan luka masa lalu akibat pelanggaran HAM, dibutuhkan pendekatan keadilan transisional (transitional justice). Pendekatan ini memungkinkan korban pelanggaran HAM memperoleh keadilan dan pengakuan, tanpa mengorbankan stabilitas nasional. Meski demikian, banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang hingga kini belum tuntas, seperti tragedi 1965, Tanjung Priok, dan Trisakti. 2. Peran Komnas HAM Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 dan diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, merupakan tonggak penting dalam sejarah penegakan HAM di Indonesia. Namun, efektivitas lembaga ini seringkali terkendala oleh kurangnya independensi, tekanan politik, dan lemahnya kemauan politik (political will) dari pemerintah dan parlemen untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan. 3. Peran Pemerintah dan Masyarakat Pemerintah telah menunjukkan komitmen melalui kebijakan nasional dan kerja sama internasional, termasuk dukungan terhadap Dewan HAM PBB dan kecaman terhadap pelanggaran HAM global seperti konflik di Palestina dan Afghanistan. Namun, penegakan HAM tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat sipil, media, dan organisasi non-pemerintah untuk memastikan bahwa kebebasan dan keadilan tetap terjaga. Baca juga: Memahami Demokrasi Deliberatif: Konsep, Tantangan, dan Penerapannya di Indonesia Tantangan dalam Menegakkan HAM dan Demokrasi Beberapa tantangan utama yang masih dihadapi Indonesia dalam memperkuat hubungan HAM dan demokrasi meliputi: Kemunduran demokrasi (democratic backsliding), ketika kekuasaan politik digunakan untuk melemahkan lembaga pengawasan dan membungkam kritik publik. Kesenjangan penegakan hukum, di mana pelaku pelanggaran HAM sering tidak tersentuh proses hukum. Korupsi dan oligarki politik, yang mengancam prinsip kesetaraan dan keadilan sosial. Ketimpangan informasi dan partisipasi, yang membuat sebagian warga negara masih sulit mengakses hak politiknya secara penuh. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan penguatan lembaga demokrasi, pendidikan HAM sejak dini, serta reformasi sistem hukum agar benar-benar berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. HAM dan Demokrasi: Pilar Kemanusiaan dan Kedaulatan Rakyat HAM dan demokrasi pada hakikatnya sama-sama bertujuan untuk menjaga martabat manusia dan menegakkan keadilan sosial. Demokrasi memberikan ruang agar rakyat dapat menentukan masa depannya sendiri, sementara HAM memastikan bahwa kebebasan dan hak-hak tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak mana pun. Seperti dikatakan dalam prinsip universal HAM: “Tindakan tidak adil terhadap satu orang berarti ancaman bagi setiap orang.” Maka dari itu, demokrasi sejati adalah demokrasi yang berbasis pada penghormatan terhadap HAM — bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi sistem yang melindungi, mengakui, dan memberdayakan manusia sebagai warga negara yang bermartabat. Penulis: Tommy Gandes Setiawan Daftar Referensi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Rosana, Ellya. (2016). Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum dan HAM. Stahl, Julius & Dicey, A.V. (dalam Rosana, 2016). Rule of Law and Democracy: A Theoretical Framework. Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Penegakan HAM di Indonesia. United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). (2022). Human Rights and Democracy: Interdependence and Mutual Reinforcement. Kementerian Hukum dan HAM RI. (2024). Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2025–2029.