BIMTEK Pembuatan Berita, Sekretaris KPU Provinsi Papua Pegunungan: Akselerasi Pelayanan Informasi Publik Melalui Sidialogis 26/08/2025. | Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Provinsi Papua Pegunungan Tahun 2025 | Komisioner KPU Provinsi Papua Pegunungan mengucapkan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Publikasi

Opini

Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi adalah dua pilar utama dalam kehidupan bernegara yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang: saling melengkapi, saling memperkuat, dan menjadi prasyarat tegaknya negara hukum. Demokrasi menciptakan lingkungan yang menjamin penghormatan terhadap HAM, sementara penegakan HAM memperkuat kualitas demokrasi itu sendiri. Tanpa perlindungan HAM, demokrasi kehilangan maknanya; sebaliknya, tanpa demokrasi, hak asasi manusia akan sulit ditegakkan secara nyata. Hubungan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia sejak lahir — seperti hak hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, serta hak untuk memperoleh keadilan. Sementara itu, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menjamin rakyat memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih secara bebas. Hubungan keduanya bersifat saling bergantung dan timbal balik: Demokrasi menciptakan lingkungan HAM. Dalam sistem demokratis, kebebasan sipil dan politik dijamin oleh konstitusi. Warga negara memiliki hak untuk berbicara, berkumpul, berserikat, dan memilih tanpa paksaan. Demokrasi yang sehat memastikan bahwa kekuasaan dijalankan dalam batas-batas hukum dan moral, sehingga mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. HAM sebagai fondasi demokrasi. Tanpa jaminan HAM, partisipasi politik tidak mungkin berjalan. Hak untuk memilih, berpendapat, dan berorganisasi merupakan bagian dari HAM yang menjadi inti demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, perlindungan terhadap HAM adalah syarat agar demokrasi berfungsi dengan adil dan inklusif. Seperti yang dijelaskan oleh Ellya Rosana (2016), prinsip demokrasi dan HAM tidak dapat dipisahkan dari konsep negara hukum (rule of law). Dalam negara hukum yang demokratis, yang berdaulat bukanlah manusia, melainkan hukum. Hukum bertugas membatasi kekuasaan, melindungi hak warga negara, dan memastikan keadilan dijalankan tanpa pandang bulu. Baca juga: Ternyata, Demokrasi Indonesia Mirip Mobile Legends! Ini Nilai-Nilai yang Bisa Kita Pelajari Negara Hukum dan Implementasi HAM dalam Demokrasi Menurut pemikiran Julius Stahl dan A.V. Dicey, suatu negara dapat disebut demokratis apabila memiliki jaminan hukum terhadap HAM. Artinya, pelaksanaan demokrasi harus diwujudkan dalam sistem pemerintahan berdasarkan hukum dan konstitusi. Dalam konteks Indonesia, hal ini tertuang secara eksplisit dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum,” serta mengakui dan menjamin hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Konstitusi Indonesia juga menegaskan prinsip kedaulatan rakyat, di mana rakyat menjadi sumber legitimasi tertinggi dalam pemerintahan. Dengan demikian, penghormatan terhadap HAM dan pelaksanaan demokrasi bukan sekadar ideal moral, melainkan amanat konstitusional. Negara berkewajiban untuk: Menyusun peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak asasi setiap warga negara. Tidak menghalangi partisipasi masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Menegakkan keadilan tanpa diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hukum, dalam kerangka demokrasi, bukanlah alat kekuasaan, tetapi instrumen keadilan untuk semua warga negara. Penegakan HAM dalam Proses Demokratisasi Indonesia Sejak reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam penegakan HAM dan demokrasi. Setelah lebih dari tiga dekade berada di bawah rezim otoriter, bangsa ini mulai membuka ruang kebebasan berpendapat, partisipasi politik, dan transparansi pemerintahan. Namun, transisi menuju demokrasi substantif tidak berjalan tanpa tantangan. 1. Keadilan Transisional Untuk menyembuhkan luka masa lalu akibat pelanggaran HAM, dibutuhkan pendekatan keadilan transisional (transitional justice). Pendekatan ini memungkinkan korban pelanggaran HAM memperoleh keadilan dan pengakuan, tanpa mengorbankan stabilitas nasional. Meski demikian, banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang hingga kini belum tuntas, seperti tragedi 1965, Tanjung Priok, dan Trisakti. 2. Peran Komnas HAM Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 dan diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, merupakan tonggak penting dalam sejarah penegakan HAM di Indonesia. Namun, efektivitas lembaga ini seringkali terkendala oleh kurangnya independensi, tekanan politik, dan lemahnya kemauan politik (political will) dari pemerintah dan parlemen untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan. 3. Peran Pemerintah dan Masyarakat Pemerintah telah menunjukkan komitmen melalui kebijakan nasional dan kerja sama internasional, termasuk dukungan terhadap Dewan HAM PBB dan kecaman terhadap pelanggaran HAM global seperti konflik di Palestina dan Afghanistan. Namun, penegakan HAM tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat sipil, media, dan organisasi non-pemerintah untuk memastikan bahwa kebebasan dan keadilan tetap terjaga. Baca juga: Memahami Demokrasi Deliberatif: Konsep, Tantangan, dan Penerapannya di Indonesia Tantangan dalam Menegakkan HAM dan Demokrasi Beberapa tantangan utama yang masih dihadapi Indonesia dalam memperkuat hubungan HAM dan demokrasi meliputi: Kemunduran demokrasi (democratic backsliding), ketika kekuasaan politik digunakan untuk melemahkan lembaga pengawasan dan membungkam kritik publik. Kesenjangan penegakan hukum, di mana pelaku pelanggaran HAM sering tidak tersentuh proses hukum. Korupsi dan oligarki politik, yang mengancam prinsip kesetaraan dan keadilan sosial. Ketimpangan informasi dan partisipasi, yang membuat sebagian warga negara masih sulit mengakses hak politiknya secara penuh. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan penguatan lembaga demokrasi, pendidikan HAM sejak dini, serta reformasi sistem hukum agar benar-benar berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. HAM dan Demokrasi: Pilar Kemanusiaan dan Kedaulatan Rakyat HAM dan demokrasi pada hakikatnya sama-sama bertujuan untuk menjaga martabat manusia dan menegakkan keadilan sosial. Demokrasi memberikan ruang agar rakyat dapat menentukan masa depannya sendiri, sementara HAM memastikan bahwa kebebasan dan hak-hak tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak mana pun. Seperti dikatakan dalam prinsip universal HAM: “Tindakan tidak adil terhadap satu orang berarti ancaman bagi setiap orang.” Maka dari itu, demokrasi sejati adalah demokrasi yang berbasis pada penghormatan terhadap HAM — bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi sistem yang melindungi, mengakui, dan memberdayakan manusia sebagai warga negara yang bermartabat. Penulis: Tommy Gandes Setiawan Daftar Referensi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM. Rosana, Ellya. (2016). Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum dan HAM. Stahl, Julius & Dicey, A.V. (dalam Rosana, 2016). Rule of Law and Democracy: A Theoretical Framework. Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Penegakan HAM di Indonesia. United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). (2022). Human Rights and Democracy: Interdependence and Mutual Reinforcement. Kementerian Hukum dan HAM RI. (2024). Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2025–2029.

Wamena — Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikenal sebagai pemimpin yang gemar turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi masyarakat. Salah satu momen paling bersejarah dalam masa kepemimpinannya adalah ketika ia mengunjungi Kabupaten Nduga, Papua. Kunjungan tersebut bukan sekadar seremonial, melainkan bukti nyata komitmen pemerintah pusat dalam membangun wilayah paling timur Indonesia. Dengan semangat membangun dari pinggiran, Jokowi menembus medan berat demi memastikan pembangunan benar-benar dirasakan oleh masyarakat Papua, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil seperti Nduga. Perjalanan yang Tidak Mudah Menuju Nduga Kabupaten Nduga merupakan salah satu wilayah di Provinsi Papua Pegunungan dengan medan geografis yang sangat sulit dijangkau. Jalur darat menuju Nduga dikenal ekstrem dan membutuhkan waktu tempuh panjang, melewati pegunungan tinggi dan lembah-lembah curam. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi bersama rombongan menggunakan pesawat perintis dan helikopter untuk mencapai lokasi. Kunjungan Presiden ke Nduga menunjukkan keberanian sekaligus kesungguhan seorang kepala negara untuk hadir di tengah masyarakat yang selama ini merasa terisolasi. Jokowi menjadi presiden pertama Republik Indonesia yang secara langsung menginjakkan kaki di Nduga, sebuah simbol kehadiran negara di wilayah yang selama ini dikenal rawan konflik dan jauh dari pusat pemerintahan. Baca juga: Bukti Nyata Kepemimpinan Jokowi Saat Menjadi Wali Kota Solo yang Menginspirasi Indonesia Mendengar Aspirasi dan Menyapa Masyarakat Secara Langsung Sesampainya di Nduga, Jokowi disambut hangat oleh masyarakat dan tokoh adat setempat. Ia berbincang langsung dengan warga, mendengar aspirasi mereka terkait kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur jalan. Dalam kesempatan itu, Presiden menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen kuat untuk membangun Papua secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan daerah berdasarkan letak geografis atau kondisi keamanan. “Saya datang ke Nduga karena ingin memastikan sendiri bahwa pembangunan harus sampai ke sini. Tidak boleh ada satu pun warga Indonesia yang tertinggal,” ujar Jokowi dalam sambutannya di hadapan masyarakat. Sikapnya yang merakyat dan kebiasaannya berdialog langsung membuat warga merasa diperhatikan. Banyak masyarakat mengaku baru kali ini seorang presiden datang menemui mereka secara langsung, bukan hanya melalui perwakilan atau pejabat daerah. Kehadiran Jokowi membawa harapan baru bagi warga Nduga agar pembangunan dan perhatian pemerintah semakin merata di seluruh pelosok Papua. Dorongan Pembangunan Infrastruktur di Tanah Papua Dalam kunjungannya ke Nduga, Jokowi meninjau beberapa proyek pembangunan yang menjadi bagian dari program prioritas pemerintah pusat di Papua. Salah satu fokus utama adalah peningkatan konektivitas wilayah melalui pembangunan jalan Trans Papua. Proyek ini bertujuan membuka akses antar kabupaten, sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkan kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan pendidikan. Selain infrastruktur jalan, Jokowi juga mendorong pembangunan bandara kecil dan fasilitas publik seperti puskesmas, sekolah, serta sarana air bersih. Ia menekankan bahwa pembangunan di Papua tidak hanya soal fisik, tetapi juga harus menyentuh aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Presiden menginginkan agar masyarakat Papua bisa mandiri dan berdaya saing, dengan tetap mempertahankan kearifan lokal mereka. Data dan Bukti Resmi Kunjungan Jokowi ke Nduga yaitu pada tanggal 26 Desember 2019. Lokasi utama di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua. Agenda utama yaitu meninjau pembangunan infrastruktur Trans Papua dan memastikan keberlanjutan proyek Jalan Wamena–Mumugu. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), proyek Trans Papua yang dikunjungi Jokowi di Nduga termasuk, Panjang ruas jalan: ± 286 km (Wamena – Kenyam – Mumugu). Dan dibuka bertahap sejak 2015 dan terus dilanjutkan hingga pasca-2020. Tujuan utamanya mempercepat konektivitas antarwilayah di Papua Pegunungan, termasuk Nduga, yang sebelumnya hanya bisa diakses lewat udara. Program pembangunan tersebut sejalan dengan visi besar Jokowi untuk memperkecil kesenjangan antarwilayah di Indonesia. Melalui kunjungan ke Nduga, ia ingin menunjukkan bahwa negara hadir untuk semua, termasuk daerah yang selama ini berada di garis depan pembangunan nasional. Dukungan Keamanan dan Pendekatan Kemanusiaan Wilayah Nduga dikenal memiliki tantangan keamanan yang cukup kompleks. Namun, Jokowi tetap memutuskan datang langsung dengan pendekatan damai dan penuh rasa hormat kepada masyarakat lokal. Dalam pernyataannya, Presiden menegaskan bahwa pembangunan Papua harus dilakukan dengan mengedepankan dialog, bukan kekerasan. Ia mengajak seluruh pihak, termasuk tokoh masyarakat dan gereja, untuk bersama-sama menjaga perdamaian. Pemerintah pusat, kata Jokowi, akan terus berupaya mengutamakan pendekatan kesejahteraan, bukan semata pendekatan militer. Sikap ini mencerminkan gaya kepemimpinan Jokowi yang humanis dan terbuka terhadap solusi kemanusiaan dalam menangani permasalahan di Papua. Respons dan Harapan Masyarakat Nduga Kunjungan Presiden Jokowi meninggalkan kesan mendalam bagi warga Nduga. Banyak masyarakat mengungkapkan rasa haru dan bangga karena untuk pertama kalinya seorang kepala negara hadir di tanah mereka. Tokoh adat setempat mengapresiasi langkah Presiden yang tidak hanya datang memberi janji, tetapi juga melihat langsung kondisi di lapangan. Mereka berharap agar kunjungan ini menjadi titik awal bagi percepatan pembangunan di berbagai sektor. Masyarakat Nduga juga meminta agar perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan terus ditingkatkan, karena dua hal tersebut masih menjadi tantangan utama di wilayah pegunungan Papua. Baca juga: Jokowi dan Jembatan Merah Jayapura: Bukti Nyata Pemerataan Pembangunan di Papua Warisan Kepemimpinan Jokowi di Tanah Papua Kunjungan ke Nduga menjadi bagian dari rangkaian panjang perjalanan Jokowi dalam membangun Papua. Sejak awal masa jabatannya, Jokowi telah melakukan lebih dari belasan kunjungan ke berbagai wilayah di Papua, mulai dari Jayapura, Wamena, hingga Merauke. Konsistensinya meninjau langsung pembangunan menjadi ciri khas kepemimpinan yang dekat dengan rakyat dan berorientasi pada hasil nyata. Kehadirannya di Nduga bukan hanya simbol politik, melainkan manifestasi nyata dari semangat Indonesia Sentris. Jokowi ingin memastikan bahwa kemajuan Indonesia bukan hanya terjadi di kota-kota besar di Jawa, tetapi juga di wilayah yang jauh seperti Nduga. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kabupaten Nduga bukan sekadar perjalanan kerja biasa, melainkan bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap daerah-daerah tertinggal di Papua. Di tengah tantangan keamanan dan sulitnya akses transportasi, Jokowi hadir langsung untuk memastikan pembangunan infrastruktur tetap berjalan. Sikap ini menunjukkan karakter kepemimpinan yang dekat dengan rakyat dan berani mengambil risiko demi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia, termasuk di tanah Papua yang selama ini sering terpinggirkan. Penulis : Indra Hariadi

Wamena — Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan yang memiliki dinamika sosial dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Kondisi masyarakat yang hidup berpindah-pindah, baik karena faktor ekonomi, sosial, maupun geografis, menjadikan data kependudukan di wilayah ini sering mengalami perubahan. Jumlah penduduk tidak selalu tetap, kadang bertambah dan kadang berkurang, tergantung pada aktivitas dan pola kehidupan masyarakatnya. Tantangan utama yang muncul dari situasi ini adalah dalam hal pemetaan wilayah dan penentuan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Proses pemilihan di Jayawijaya sering kali dihadapkan pada persoalan teknis yang tampak sederhana, namun berdampak besar  yaitu ketidakjelasan pembagian wilayah pada level RT/RW. Dalam banyak kasus, data pada KTP penduduk masih tercatat sebagai RT/RW 000/000, yang artinya belum ada pembagian administratif yang jelas di lapangan. Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayawijaya mengalami kesulitan dalam menentukan koordinat pasti untuk pendirian TPS sebelum hari pemilihan tiba. Baca juga: Multi Partai Gambaran Pluralitas Masyarakat di Indonesia Situasi ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan menyangkut hak dasar warga negara untuk memberikan suara. Ketika lokasi TPS tidak terpetakan dengan baik, risiko munculnya pemilih ganda, pemilih tidak terdaftar, atau pemilih yang kesulitan menemukan TPS menjadi sangat besar. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan kualitas partisipasi masyarakat dan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Untuk itu, diperlukannya kolaborasi antara KPU, pemerintah daerah, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) guna memperkuat validitas data kependudukan di Jayawijaya. Pembaruan dan verifikasi data berbasis wilayah perlu dilakukan secara berkala dengan pendekatan lapangan, melibatkan aparat kampung, tokoh adat, dan masyarakat lokal yang memahami kondisi sosial setempat. Pendekatan berbasis partisipasi masyarakat ini akan lebih efektif dibandingkan sekadar mengandalkan data administratif yang sering kali tidak mencerminkan realitas lapangan. Selain itu, penggunaan teknologi pemetaan geografis dapat menjadi solusi modern dalam membantu KPU menentukan titik koordinat TPS secara akurat. Dengan peta digital yang terintegrasi dengan data kependudukan, perencanaan pemilihan di wilayah geografis kompleks seperti Jayawijaya akan menjadi lebih terukur dan efisien. Baca juga: Membangun Demokrasi yang Dipercaya: Jalan Panjang Meningkatkan Indeks dan Integritas Publik Pemerintah juga perlu mempertimbangkan program penataan wilayah administratif skala mikro, yakni memastikan setiap kampung memiliki pembagian RT/RW yang jelas dan terdaftar resmi. Ini bukan hanya penting untuk keperluan pemilihan umum, tetapi juga untuk pelayanan publik secara keseluruhan: mulai dari distribusi bantuan sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Masalah data kependudukan di Jayawijaya sesungguhnya mencerminkan persoalan yang lebih besar: bagaimana negara hadir secara utuh hingga ke pelosok-pelosok tanah air. Demokrasi bukan hanya tentang mencoblos di bilik suara, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap suara benar-benar dihitung dan diakui. Pada akhirnya, masalah pemetaan wilayah di Jayawijaya adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar, bagaimana negara memastikan setiap warga, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang setara untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Pemilu yang adil dimulai dari data yang akurat, dan data yang akurat hanya bisa lahir dari perhatian yang tulus terhadap kondisi masyarakat di akar rumput. Kabupaten Jayawijaya, dengan segala keunikannya, bukan sekadar wilayah di peta tetapi rumah bagi warga negara yang memiliki hak yang sama untuk didengar dan dipilihkan dengan bijaksana. Baca juga: Pemilih Pemula: Suara Pertama Menentukan Masa Depan

Wamena – Nama Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, mulai dikenal luas publik bukan saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, melainkan sejak masa kepemimpinannya sebagai Wali Kota Surakarta (Solo) pada tahun 2005 hingga 2012. Dalam kurun waktu tujuh tahun itu, Jokowi berhasil menorehkan berbagai prestasi dan perubahan signifikan yang membuat wajah Kota Solo berubah menjadi lebih tertata, humanis, dan berdaya saing tinggi. Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, inovatif, dan visioner. Kepemimpinannya di Solo menjadi fondasi kuat yang mengantarkan dirinya menuju panggung nasional. Banyak pihak menilai bahwa keberhasilan Jokowi di tingkat lokal menjadi bukti konkret dari model kepemimpinan berbasis pelayanan publik dan kedekatan dengan masyarakat. Membangun Kepercayaan Publik Lewat Transparansi Salah satu langkah awal Jokowi saat memimpin Solo adalah membangun transparansi dan keterbukaan informasi publik. Ia berani mempublikasikan seluruh proses perencanaan dan penggunaan anggaran pemerintah kota agar masyarakat dapat mengawasi langsung. Jokowi menerapkan sistem “open management”, di mana masyarakat, pelaku usaha, hingga media lokal dapat memantau berbagai program dan proyek pemerintah daerah. Pendekatan ini membuat tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah kota meningkat tajam. Selain itu, Jokowi juga kerap turun langsung ke lapangan untuk berdialog dengan warga, pedagang pasar, dan komunitas masyarakat. Gaya “blusukan” ini menjadi ciri khasnya hingga kini. Dengan cara tersebut, Jokowi mampu mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung dan memberikan solusi cepat di lapangan tanpa prosedur yang berbelit. Baca juga: Jokowi dan Jembatan Merah Jayapura: Bukti Nyata Pemerataan Pembangunan di Papua Revitalisasi Pasar Tradisional: Menata Tanpa Menggusur Salah satu bukti nyata dari keberhasilan kepemimpinan Jokowi di Solo adalah revitalisasi pasar tradisional. Sebagai kota dengan budaya dagang yang kuat, Solo memiliki banyak pasar rakyat yang dulunya kumuh dan tidak tertata. Alih-alih melakukan penggusuran paksa, Jokowi memilih cara dialog dan musyawarah dengan para pedagang. Ia memimpin langsung proses relokasi dan peremajaan pasar, memastikan bahwa para pedagang mendapatkan tempat yang layak tanpa kehilangan mata pencaharian. Beberapa pasar yang berhasil direvitalisasi antara lain Pasar Gede, Pasar Klithikan Notoharjo, dan Pasar Nusukan. Hasilnya, pasar-pasar tersebut kini lebih bersih, nyaman, dan memiliki fasilitas modern tanpa meninggalkan nilai tradisionalnya. Kebijakan humanis ini menjadi contoh nasional dalam penataan ruang kota berbasis kepentingan rakyat kecil, dan kerap dijadikan studi banding oleh pemerintah daerah lain. Menjadikan Solo Kota Budaya dan Pariwisata Kepemimpinan Jokowi juga menempatkan Solo sebagai kota budaya dan destinasi wisata unggulan di Jawa Tengah. Ia menggagas banyak kegiatan budaya seperti Solo Batik Carnival, Solo International Performing Arts (SIPA), dan Festival Jenang Solo. Acara-acara tersebut bukan hanya meningkatkan kunjungan wisatawan, tetapi juga menghidupkan kembali ekonomi kreatif masyarakat setempat. Selain itu, Jokowi juga mempercantik tata kota dengan menata trotoar, taman kota, dan jalur pedestrian agar lebih ramah pejalan kaki. Solo di bawah kepemimpinan Jokowi dikenal sebagai kota yang indah, rapi, dan nyaman untuk dikunjungi. Upaya pelestarian budaya ini memperkuat identitas Solo sebagai kota warisan budaya Jawa, sekaligus memperkuat ekonomi lokal lewat pariwisata berkelanjutan. Peningkatan Pelayanan Publik dan Transportasi Dalam bidang pelayanan publik, Jokowi memperkenalkan berbagai inovasi untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan pemerintahan. Ia mendorong digitalisasi administrasi dan memperpendek jalur birokrasi agar pelayanan menjadi lebih cepat dan efisien. Salah satu inovasi penting adalah peluncuran Bus Batik Solo Trans (BST) yang menjadi ikon transportasi massal pertama di kota tersebut. BST dihadirkan sebagai solusi untuk mengurai kemacetan sekaligus mengubah kebiasaan masyarakat agar lebih ramah lingkungan. Program ini menjadi cikal bakal penerapan transportasi publik modern di kota-kota lain, menunjukkan bahwa kebijakan transportasi yang berpihak pada masyarakat bisa dimulai dari skala kecil. Kepemimpinan Humanis dan Dekat dengan Rakyat Hal yang paling menonjol dari sosok Jokowi selama menjadi Wali Kota Solo adalah sikapnya yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Ia tidak segan makan di warung pinggir jalan, berkeliling pasar tanpa pengawalan ketat, bahkan berdialog langsung dengan warga di gang-gang sempit. Kedekatan itu menciptakan hubungan emosional yang kuat antara pemimpin dan masyarakat. Jokowi dianggap tidak hanya memimpin dari balik meja, tetapi juga benar-benar hadir di tengah kehidupan warga. Pendekatan personal dan empatik ini terbukti efektif dalam menciptakan stabilitas sosial dan kepercayaan publik. Masyarakat Solo merasa dihargai dan dilibatkan dalam proses pembangunan kota mereka sendiri. Baca juga: Mengenang Kepemimpinan Jokowi: Transformasi Indonesia di Era Modern Warisan Kepemimpinan Jokowi untuk Solo dan Indonesia Berbagai capaian yang diraih selama dua periode kepemimpinannya di Solo menjadi modal politik dan moral bagi Jokowi saat maju menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012, hingga akhirnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014. Warisan terbesarnya di Solo bukan hanya pembangunan fisik, tetapi juga pola kepemimpinan yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada pelayanan publik. Kini, banyak kebijakan nasional yang masih mencerminkan semangat Solo, seperti pembangunan infrastruktur berbasis kebutuhan rakyat, pendekatan dialogis terhadap masalah sosial, dan dorongan besar terhadap UMKM serta ekonomi kreatif. Kepemimpinan Jokowi di Solo adalah contoh nyata bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil dan dari tingkat lokal. Dengan gaya blusukan, kejujuran, dan ketulusan melayani rakyat, Jokowi berhasil membuktikan bahwa seorang pemimpin dapat membawa perubahan nyata jika mau turun langsung dan mendengar suara masyarakat. Warisan itu kini menjadi inspirasi bagi banyak kepala daerah di Indonesia untuk meniru semangat kepemimpinan Jokowi: sederhana, merakyat, dan fokus pada hasil nyata. Penulis : Indra Hariadi

Wamena — Pembangunan infrastruktur di Papua menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu proyek monumental yang menjadi simbol kemajuan dan persatuan adalah Jembatan Merah Jayapura, yang kini menjadi ikon baru ibu kota Provinsi Papua. Peran Jokowi dalam mewujudkan jembatan ini tidak hanya sebatas kebijakan pembangunan fisik, tetapi juga sebagai wujud nyata komitmennya dalam membangun konektivitas dan memperkuat rasa keindonesiaan di Tanah Papua. Jembatan Merah yang membentang megah di atas Teluk Youtefa menjadi bukti nyata perhatian pemerintah pusat terhadap percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia. Dengan panjang mencapai sekitar 732 meter, jembatan ini menghubungkan Hamadi dan Holtekamp, dua wilayah yang sebelumnya terpisah oleh perairan luas dan membutuhkan waktu tempuh berjam-jam untuk saling dijangkau. Awal Gagasan dan Dukungan Langsung Jokowi Pembangunan Jembatan Merah Jayapura dimulai pada masa pemerintahan Jokowi sebagai bagian dari program Nawacita, khususnya poin ketiga yang menegaskan komitmen “membangun Indonesia dari pinggiran”. Jokowi menyadari bahwa konektivitas merupakan kunci utama pemerataan pembangunan, terutama di Papua yang selama ini menghadapi tantangan geografis. Ketika melakukan kunjungan kerja ke Jayapura, Jokowi menegaskan bahwa Papua harus memiliki infrastruktur yang membanggakan dan fungsional. “Jembatan ini bukan hanya penghubung dua wilayah, tapi juga penghubung masa depan masyarakat Papua,” ujarnya kala itu. Dukungan Jokowi terlihat jelas sejak tahap perencanaan, di mana pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kota Jayapura untuk memastikan pembangunan berjalan lancar dan sesuai target. Tak hanya memberikan persetujuan anggaran, Jokowi juga aktif memantau progres pembangunannya. Pendekatan yang digunakan adalah kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, sebuah strategi khas Jokowi yang menekankan sinergi untuk mencapai hasil optimal. Makna Strategis Jembatan Merah bagi Papua Peran Jokowi tidak hanya dalam aspek pembangunan fisik, tetapi juga dalam membangun simbol persatuan bangsa. Jembatan Merah Jayapura kini menjadi ikon baru yang melambangkan semangat kemajuan dan kedamaian masyarakat Papua. Dengan hadirnya jembatan ini, waktu tempuh dari Jayapura menuju Skouw di perbatasan Papua Nugini berkurang secara signifikan — dari sekitar dua jam menjadi hanya 30 menit. Manfaat ekonominya pun sangat besar. Jembatan ini membuka akses perdagangan, pariwisata, serta mempercepat distribusi logistik di kawasan pesisir Jayapura. Kawasan wisata Pantai Holtekamp kini semakin ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Banyak masyarakat setempat yang kini membuka usaha kuliner dan jasa wisata di sekitar jembatan, menciptakan lapangan kerja baru dan menggerakkan ekonomi rakyat. Selain itu, Jembatan Merah juga menjadi simbol sosial dan budaya yang kuat. Warna merah yang mencolok melambangkan semangat keberanian dan kebanggaan masyarakat Papua. Bagi banyak warga Jayapura, jembatan ini bukan hanya infrastruktur, melainkan juga kebanggaan kolektif hasil dari perhatian nyata pemerintah pusat terhadap Tanah Papua. Keterlibatan Jokowi dalam Peresmian dan Pesan Persatuan Presiden Joko Widodo secara resmi meresmikan Jembatan Youtefa (Jembatan Merah Jayapura) pada 28 Oktober 2019, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Pemilihan tanggal tersebut memiliki makna mendalam — menunjukkan bahwa pembangunan jembatan ini merupakan simbol persatuan seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dalam sambutannya, Jokowi menegaskan, “Inilah bukti bahwa pembangunan tidak hanya terpusat di Jawa. Kita ingin Papua menjadi bagian dari masa depan Indonesia yang maju dan sejahtera.” Peresmian itu disambut meriah oleh masyarakat Jayapura. Ribuan warga hadir di lokasi, mengenakan busana adat dan menyanyikan lagu-lagu daerah sebagai tanda kebanggaan mereka terhadap pembangunan monumental tersebut. Jokowi juga berpesan agar Jembatan Merah tidak hanya dijaga secara fisik, tetapi juga dijaga sebagai simbol kebersamaan dan perdamaian di Papua. Ia menekankan pentingnya masyarakat setempat untuk ikut merawat infrastruktur yang telah dibangun agar manfaatnya bisa dirasakan lintas generasi. Baca juga: Multi Partai Gambaran Pluralitas Masyarakat di Indonesia Dampak Pembangunan dan Harapan ke Depan Setelah diresmikan, Jembatan Merah Jayapura memberikan dampak besar bagi mobilitas dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Jalan akses menuju perbatasan Skouw semakin lancar, distribusi barang menjadi lebih efisien, dan wisata bahari di Teluk Youtefa berkembang pesat. Pemerintah daerah juga berencana mengembangkan kawasan sekitar jembatan menjadi pusat ekonomi baru dan destinasi wisata unggulan Papua. Peran Jokowi dalam proyek ini menjadi teladan tentang bagaimana kebijakan pembangunan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat, terutama di wilayah yang sebelumnya terpinggirkan. Jokowi menegaskan bahwa pembangunan di Papua tidak boleh berhenti pada infrastruktur semata, tetapi juga harus menyentuh aspek pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Melalui kebijakan berkelanjutan, pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek konektivitas di Papua seperti Trans Papua, jembatan Holtekamp-Skouw, dan pengembangan bandara baru di wilayah pegunungan. Semua itu merupakan lanjutan dari visi besar Jokowi untuk menghadirkan keadilan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Warisan Jokowi untuk Papua Jembatan Merah Jayapura adalah bukti konkret dari peran Jokowi dalam membangun Papua yang lebih maju, terhubung, dan sejahtera. Melalui pendekatan yang inklusif, kebijakan yang berpihak, serta perhatian yang konsisten, Jokowi berhasil mengubah wajah Papua menjadi lebih terbuka dan dinamis. Kini, Jembatan Merah bukan hanya menjadi jalur penghubung antar wilayah, tetapi juga jembatan harapan bagi masa depan Papua yang cerah. Dengan berdirinya jembatan megah ini, Jokowi telah meninggalkan jejak penting dalam sejarah pembangunan nasional, sebuah simbol persatuan, kemajuan, dan cinta bagi Tanah Papua. Penulis : Indra Hariadi