Opini

Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 Soal Pemisahan Pemilu dan Pilkada: Tantangan Baru Tata Kelola Pemilu Indonesia

Wamena - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menimbulkan gelombang diskusi baru dalam tata kelola demokrasi Indonesia. Putusan tersebut memutuskan pemisahan jadwal Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dengan Pemilu Daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD) yang akan diberlakukan mulai Pemilu 2029, dengan jeda waktu sekitar dua hingga dua setengah tahun sebelum Pilkada serentak berikutnya. Langkah ini dipandang sebagai jawaban atas beban berat Pemilu serentak 2019 dan 2024 yang menyisakan kelelahan luar biasa, bahkan korban jiwa di kalangan penyelenggara pemilu. Dengan pemisahan tersebut, pemilih diharapkan lebih fokus menilai calon sesuai level jabatan, tanpa terbebani banyaknya surat suara yang membingungkan. Namun, keputusan MK ini juga memunculkan sejumlah kritik. Pertanyaannya, apakah pemisahan pemilu benar-benar menguatkan demokrasi atau justru membuka risiko baru dalam tata kelola kekuasaan? Dimensi Hukum Tata Negara Sejumlah pakar menilai putusan ini memperlihatkan kecenderungan aktivisme yudisial Mahkamah Konstitusi. MK dinilai tidak hanya menguji konstitusionalitas undang-undang, tetapi sekaligus membentuk norma baru, termasuk mengatur waktu dan model pelaksanaan pemilu. Padahal, kewenangan tersebut sejatinya berada di ranah legislasi DPR dan pemerintah melalui proses politik yang demokratis. Aspek Teknis dan Administratif Dari sisi teknis, pemisahan jadwal pemilu juga menghadirkan tantangan besar. Pemerintah pusat harus melakukan revisi regulasi terkait: Penyesuaian masa jabatan kepala daerah.   Mekanisme penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah.   Skema penganggaran untuk dua siklus pemilu berbeda.   Jika transisi tidak dikelola dengan baik, potensi kekosongan jabatan kepala daerah bisa meluas. Kondisi ini berpotensi meningkatkan peran pemerintah pusat melalui penunjukan Pj secara masif, yang pada gilirannya dikhawatirkan membuka ruang politisasi birokrasi serta melemahkan prinsip otonomi daerah. Peluang atau Risiko Demokrasi? Meski dipuji sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas demokrasi, putusan ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemilu terpisah akan memperkuat partisipasi rakyat, atau justru menciptakan celah baru dalam penguasaan politik? Dengan diberlakukannya putusan MK 135/PUU-XXII/2024, publik kini menantikan langkah pemerintah, DPR, serta penyelenggara pemilu dalam menyiapkan desain transisi yang matang. Tanpa regulasi yang jelas dan koordinasi lintas lembaga, pemisahan pemilu bisa menjadi risiko baru bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Baca juga: 15 Istilah Penting dalam Pilkada yang Masih Relevan Dipahami di 2025

PINANG MEMBANGUN PERSAHABATAN DI PAPUA PEGUNUNGAN

PINANG MEMBANGUN PERSAHABATAN DI PAPUA PEGUNUNGAN Pepatah "tak kenal maka tak sayang" adalah istilah yang sangat sering sekali digunakan pada percakapan sehari-hari, untuk menyatakan apabila kita tidak mengenal seseorang, maka kita tidak memiliki perhatian kepada orang lain. Kenangan terindah adalah menjalin persahabatan dengan sesama manusia. Artinya hakikat manusia tergantung pada makhluk lain dan manusia saling membutuhkan untuk kelangsungan hidup bersama. Pak Galih Wahid ingin membuktikan  bahwa persahabatan itu tidak sekedar kata-kata melainkan persahabatan itu perlu dibuktikan dan harus dikenang kapanpun. Persahabatan yang akan sulit dilupakan adalah pertama kali makan pinang sambil duduk bersandiwara. Wajahnya terkesan bahwa pinang itu ternyata pahit. Satu menit kemudian wajanya tersenyum simpul sebagai tanda bahwa bangga bersabat dengan orang Papua Pegunungan Demikian dengan makan pinang ini memperlihatkan potret hati orang Papua Pegunungan. Terlihat kasar dan seram tetapi  semakin lama bertumbuh rasa persahabatan seperti keluarga bati sendiri. Semoga momentum ini menjadi kenangan berharga.

SALAM KPU MELAYANI KONTEKS PAPUA PEGUNUNGAN

SALAM KPU MELAYANI KONTEKS PAPUA PEGUNUNGAN (Papson Hilapok) Salam KPU Melayani adalah semboyan yang menggambarkan komitmen. Komisi Pemilihan Umum dalam memberikan pelayanan publik terbaik di bidang kepemiluan. Artinya, KPU hadir bukan hanya sebagai penyelenggara pemilu, tetapi juga sebagai pelayan masyarakat yang demokratis. Dalam makna yang lebih luas, “KPU Melayani” mencakup: pertama, Pelayanan Hak Pilih – memastikan setiap warga negara, tanpa terkecuali, dapat menyalurkan hak politiknya. Kedua, Integritas & Profesionalitas – bekerja secara jujur, adil, transparan, dan akuntabel. Ketiga, Inklusif & Partisipatif – melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan, adat, dan masyarakat terpencil. Keempat Kedekatan dengan Rakyat – melayani dengan sikap ramah, humanis, dan menghargai nilai budaya setempat. Salam KPU Melayani adalah semboyan yang digunakan KPU sebagai identitas pelayanan publik yang profesional, terbuka, dan dekat dengan masyarakat. Dalam konteks KPU Provinsi Papua Pegunungan, salam ini memiliki makna khusus: Kehadiran KPU di Tanah Papua Pegunungan dapat menunjukkan komitmen bahwa KPU hadir untuk melayani masyarakat pegunungan, dengan segala tantangan geografis dan sosial budaya yang ada. KUP Melayani dengan Inklusif, artinya KPU Papua Pegunungan harus memastikan bahwa semua masyarakat – baik di Lembah, Pegunungan Tinggi, maupun wilayah terpencil – dapat terlayani hak politiknya. Melayani dengan Integritas. Salam KPU ini mengingatkan penyelenggara pemilu di Papua Pegunungan untuk menjaga netralitas, transparansi, dan kejujuran dalam setiap tahapan pemilu. KPU Melayani dengan gaya Humanis. Dalam konteks masyarakat Papua yang memiliki kekayaan adat dan budaya, “KPU Melayani” berarti menghormati kearifan lokal dalam membangun partisipasi pemilih. Jadi, ketika KPU Papua Pegunungan mengucapkan “Salam KPU Melayani”, itu adalah komitmen bahwa lembaga ini bukan hanya sebagai penyelenggara pemilu, tetapi juga sebagai pelayan demokrasi yang hadir dengan hati, mendekatkan diri pada masyarakat, dan memastikan setiap suara rakyat terhitung serta dihargai.

SALAM GUNUNG SIMBOL BUDAYA DAN PROFESIONALISME KPU PAPUA PEGUNUNGAN

SALAM GUNUNG SIMBOL BUDAYA DAN PROFESIONALISME KPU PAPUA PEGUNUNGAN (Papson Hilapok) 1.1 Latar Belakang Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam uraiannya, KPU tidak hanya dituntut untuk profesional, tetapi juga harus mampu beradaptasi dengan konteks sosial-budaya di setiap daerah. Khusus di Papua Pegunungan, KPU memperkenalkan “Salam Gunung” sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal sekaligus menampilkan identitas kelembagaan yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Salam ini bukan hanya sebuah gerakan simbolis, tetapi juga sarat makna spiritual, sosial, dan budaya. 1.2 Rumusan Masalah Apa makna “Salam Gunung” bagi masyarakat Papua Pegunungan? Bagaimana tata cara melakukan salam ini? Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam “Salam Gunung”? 1.3 Tujuan Menjelaskan makna filosofi dari “Salam Gunung”. Mendeskripsikan tata cara pelaksanaan salam. Menguraikan nilai-nilai budaya dan profesionalisme KPU dalam salam tersebut. 1.4 Manfaat Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai arti dan makna “Salam Gunung”. Menjadi identitas kelembagaan KPU Papua Pegunungan. Mendorong penguatan nilai budaya lokal dalam ruang publik. 2.1 Makna Filosofis Salam Gunung “Salam Gunung” lahir dari kearifan lokal masyarakat Papua Pegunungan yang identik dengan gunung sebagai simbol kehidupan. Gunung melambangkan keagungan, keteguhan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Makna filosofis salam ini antara lain: Penghormatan kepada Allah, alam, dan leluhur. Doa dan restu untuk kebaikan, kedamaian, serta kesejahteraan. Identitas budaya masyarakat Papua Pegunungan. Simbol profesionalisme KPU yang menghargai nilai-nilai lokal. 2.2 Tata Cara Melakukan Salam Gunung Posisi Tangan : Kedua telapak tangan disatukan di depan dada. Tutup Jari : Jari-jari dirapatkan dan diluruskan. Bentuk Lengan : Jari-jari dilengkungkan sedikit ke atas, menyerupai gunung atau segitiga. Sapaan : Dalam hati mengucapkan “Waa” sebagai bentuk penghormatan. Gerakan ini menjadi simbol penghormatan kepada Tuhan, alam, leluhur, dan sesama manusia. 2.3 Nilai Budaya dan Profesionalisme Salam Gunung mengandung berbagai nilai penting, yaitu: Nilai Budaya : Menghormati adat dan tradisi masyarakat gunung. Nilai Spiritual : Mengingatkan pada keagungan Tuhan dan restu leluhur. Nilai Sosial : Menjadi simbol persaudaraan dan kebersamaan. Nilai Profesionalisme : KPU hadir dengan identitas lokal namun tetap menjaga integritas dan netralitas. 3.1 Kesimpulan “Salam Gunung” bukan sekedar salam formal, melainkan identitas khas KPU Papua Pegunungan yang dihilangkan pada nilai budaya dan spiritual masyarakat setempat. Gerakan ini merepresentasikan penghormatan kepada Tuhan, alam, leluhur, dan sesama, serta menjadi doa bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama. 3.2 Saran KPU Papua Pegunungan perlu terus melakukan sosialisasi agar “Salam Gunung” dapat dipahami secara luas oleh masyarakat. Dengan demikian, salam ini dapat menjadi simbol kebanggaan daerah serta sarana memperkuat persatuan dan profesionalisme penyelenggaraan Pemilu. DAFTAR PUSTAKA KPU RI. (2020). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum . Jakarta: KPU RI. Geertz, C. (1973). Interpretasi Budaya . New York: Basic Books. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi . Jakarta: Rineka Cipta. KPU Provinsi Papua Pegunungan. (2025). Dokumen Internal: Salam Gunung sebagai Identitas Budaya KPU Papua Pegunungan . Wamena : KPU Provinsi Papua Pegunungan.