Tokoh

Sayuti Melik: Pengetik Proklamasi yang Menentukan Format Teks Kemerdekaan

Wamena – Nama Sayuti Melik tercatat sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, meskipun kerap berada di balik layar. Ia bukan pembaca teks Proklamasi dan bukan pula penulis draf awal, tetapi kontribusinya sangat krusial dalam mengetik dan mengubah redaksi naskah Proklamasi sehingga menjadi dokumen final yang dibacakan pada 17 Agustus 1945. Perannya menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia lahir melalui kolaborasi banyak aktor yang menjalankan fungsi strategis masing-masing.

Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta pada 22 November 1908. Ia dikenal sebagai aktivis nasionalis, jurnalis, dan pejuang politik sejak muda. Sikapnya yang vokal membawa ia berulang kali berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Namun, identitasnya sebagai penggerak intelektual pemuda revolusioner menempatkannya dalam pusaran pertarungan politik menuju kemerdekaan.

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, “Perjuangan Indonesia bukan hanya perjuangan tokoh karismatik, tetapi juga perjuangan orang-orang ‘biasa’ yang bekerja dalam diam namun menghasilkan dampak monumental.” (Anhar Gonggong, Sejarah Nasional Indonesia, 2010). Sayuti Melik adalah representasi nyata dari kategorisasi tersebut.

Proses Pengetikan Naskah Proklamasi

Pada malam 16–17 Agustus 1945, setelah Soekarno menulis draf Proklamasi dengan tangan, naskah tersebut kemudian diberikan kepada Sayuti Melik untuk diketik ulang di rumah Laksamana Tadashi Maeda, Jakarta. Tugas ini tidak sekadar teknis, tetapi mengandung konsekuensi politik, karena Sayuti melakukan perubahan ejaan dan redaksi penting.

Beberapa perubahan utama yang dilakukan Sayuti adalah:

1. Mengganti frasa “tempoh” menjadi “tempo”

2. Mengganti frasa “wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”

3. Menyempurnakan format penulisan agar lebih sesuai dengan norma bahasa Indonesia modern

Dalam memoarnya, Sayuti menyebut, “Perubahan itu saya lakukan bukan untuk mengubah makna Proklamasi, tetapi memperhalus redaksi agar sesuai dengan semangat bahasa Indonesia yang baik.” (Sayuti Melik, Memoar Seorang Aktivis, 1971).

Keputusan mengganti frasa “wakil-wakil bangsa Indonesia” dianggap krusial. Redaksi awal dianggap merepresentasikan kelompok tertentu, sementara redaksi baru yang diusulkan Sayuti memberi legitimasi nasional, bukan sekadar representasi kelompok. Narasi ini penting dalam konteks penerimaan global terhadap proklamasi Indonesia.

Baca juga: Fatmawati: Penjahit Bendera Merah Putih yang Menjadi Simbol Kemerdekaan Indonesia

Peran Sayuti dalam Dinamika Pergerakan Pemuda

Selain tugas teknis sebagai pengetik, Sayuti Melik aktif dalam gerakan pemuda yang menekan kelompok tua agar mempercepat proklamasi. Ia merupakan bagian dari jaringan aktivis bersama tokoh-tokoh seperti Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana.

Menurut Nugroho Notosusanto, “Generasi muda melihat kekosongan kekuasaan sebagai peluang strategis, sementara elite politik cenderung berpikir lebih berhati-hati.” (Nugroho Notosusanto, Proklamasi dan Revolusi Indonesia, 1985).

Kelompok pemuda mendorong agar proklamasi dilaksanakan tanpa campur tangan Jepang, dan dibacakan oleh Soekarno, bukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sayuti adalah pendukung kuat gagasan tersebut.

Dari perspektif politik, peran pemuda—termasuk Sayuti—memberikan tekanan moral dan psikologis kepada Soekarno dan Hatta untuk mengambil keputusan cepat. Aksi Rengasdengklok menjadi simbol benturan generasi, sekaligus pemicu percepatan proklamasi.

Perjuangan Pasca Kemerdekaan dan Dinamika Politik

Setelah kemerdekaan, Sayuti Melik tetap aktif dalam dunia politik dan pers. Ia pernah menjadi anggota DPR dan terlibat dalam aktivitas jurnalistik. Namun, ia juga mengalami masa sulit, termasuk penahanan karena keterlibatannya dalam dinamika politik pasca revolusi.

Sartono Kartodirdjo menjelaskan, “Politik pasca kemerdekaan sering kali menempatkan tokoh-tokoh revolusioner dalam situasi yang paradoks karena perubahan struktur kekuasaan.” (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1993).

Sayuti adalah salah satu contoh figur yang merasakan konsekuensi konflik ideologis pada era demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.

Meskipun demikian, reputasinya sebagai pengetik naskah Proklamasi menjadikannya bagian permanen dari narasi nasional. Ia diakui sebagai figur yang berkontribusi pada lahirnya dokumen sejarah paling fundamental bangsa Indonesia.

Signifikansi Historis dan Warisan Nasional

Naskah Proklamasi adalah dokumen politik, hukum, dan simbolik. Pengetikan ulang oleh Sayuti memastikan bahwa teks tersebut:

1.Dapat diterima secara linguistik

2.Mencerminkan legitimasi kolektif bangsa

3.Menjadi dokumen resmi negara

4.Mengikuti standar modernitas bahasa

Peran Sayuti menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya dibangun oleh figur publik di depan podium, tetapi juga oleh aktor intelektual yang bekerja secara senyap namun menentukan arah sejarah.

Sejarawan Taufik Abdullah menegaskan, “Proklamasi adalah produk kolektivitas nasional, dan Sayuti Melik menjalankan tugasnya dengan intelektualitas dan presisi politik.” (Taufik Abdullah, Sejarah dan Politik Kemerdekaan, 2005).

Sayuti meninggal pada 27 Februari 1989, tetapi kontribusinya tetap hidup dalam memori kolektif bangsa. Setiap kali teks Proklamasi dibacakan, jejak pemikirannya ikut hadir.

Baca juga: Jejak Perlawanan Pangeran Diponegoro: Dari Tanah Jawa untuk Kemerdekaan Nusantara

Menempatkan Sayuti Melik dalam Peta Historiografi Nasional

Dalam historiografi Indonesia, nama besar Soekarno dan Hatta mendominasi narasi kemerdekaan. Namun, kajian akademik menempatkan Sayuti Melik sebagai figur dengan kontribusi signifikan, terutama dalam proses pembakuan teks Proklamasi. Meskipun tidak memegang peran politik di garis depan, ia memastikan bahwa Proklamasi ditulis dalam format yang tepat, presisi, dan merepresentasikan bangsa secara utuh.

Warisan Sayuti bukan hanya ketikan, tetapi kebijaksanaan linguistik yang membingkai legitimasi negara baru. Tugas yang tampak sederhana itu, dalam kenyataannya, adalah bagian dari konstruksi nasionalisme.

Referensi dan Kutipan:

Anhar Gonggong, Sejarah Nasional Indonesia, 2010.

Nugroho Notosusanto, Proklamasi dan Revolusi Indonesia, 1985.

Sayuti Melik, Memoar Seorang Aktivis, 1971.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1993.

Taufik Abdullah, Sejarah dan Politik Kemerdekaan, 2005.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,276 kali