Sistem Suara Terbanyak (FPTP): Pengertian, Cara Kerja, dan Contoh Negara
Jayawijaya - Bayangkan sebuah perlombaan lari cepat di mana pelari yang pertama kali menyentuh garis finis dinyatakan sebagai pemenang tunggal, tidak peduli seberapa dekat jarak pelari kedua atau ketiga di belakangnya.
Dalam dunia politik dan kepemiluan, analogi sederhana ini menggambarkan salah satu sistem pemilihan tertua dan paling umum digunakan di dunia.
Sistem ini dikenal dengan nama first past the post (FPTP) atau sistem distrik dengan suara terbanyak. Bagi masyarakat pemilih, memahami mekanisme di balik konversi suara menjadi kursi kekuasaan adalah fondasi utama dari partisipasi politik yang cerdas.
Artikel ini akan mengupas tuntas apa itu sistem FPTP, bagaimana mekanismenya bekerja, serta melihat penerapannya di berbagai negara demokrasi besar.
Apa Itu First Past the Post (FPTP)?
Secara definisi, first past the post adalah sistem pemilihan umum di mana pemenang ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan (dapil), tanpa harus mencapai mayoritas mutlak (lebih dari 50%). Dalam terminologi ilmu politik, sistem ini sering disebut sebagai Single Member District Plurality (SMDP).
Istilah "first past the post" sendiri sebenarnya merupakan metafora dari pacuan kuda. Namun, dalam konteks pemilu, istilah ini sedikit keliru karena tidak ada "garis finis" berupa jumlah suara tertentu yang harus dicapai.
Prinsip utamanya adalah "pemenang mengambil semua" (the winner takes all). Kandidat yang mendapatkan satu suara lebih banyak daripada pesaing terdekatnya akan memenangkan kursi tersebut, sementara suara yang diberikan kepada kandidat yang kalah tidak akan dikonversi menjadi representasi apa pun di parlemen.
Baca juga: Alasan Indonesia Menganut Sistem Multi Partai dalam Demokrasi
Cara Kerja Sistem First Past the Post
Untuk memahami cara kerja sistem ini secara mendalam, kita perlu melihat strukturnya yang berbasis distrik. Berikut adalah tahapan mekanismenya:
-
Pembagian Distrik Tunggal
Negara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik) geografis yang kecil. Setiap distrik hanya memperebutkan satu kursi di parlemen atau lembaga legislatif. -
Pencalonan
Setiap partai politik biasanya hanya mengajukan satu kandidat per distrik. -
Pemungutan Suara
Pemilih memberikan suaranya langsung kepada kandidat individu, bukan kepada partai politik (meskipun kandidat tersebut mewakili partai). -
Penghitungan Pluralitas:
Mari kita gunakan simulasi sederhana. Di sebuah distrik bernama "Distrik Lembah", terdapat 100.000 suara sah dengan tiga kandidat:
-
Kandidat A: 40.000 suara (40%)
-
Kandidat B: 35.000 suara (35%)
-
Kandidat C: 25.000 suara (25%)
-
-
Penentuan Pemenang
Dalam sistem first past the post, Kandidat A dinyatakan sebagai pemenang karena memiliki suara terbanyak, meskipun 60% pemilih di distrik tersebut (suara B + C) sebenarnya tidak memilihnya. Kandidat A berhak duduk di parlemen mewakili seluruh "Distrik Lembah".
Kelebihan Sistem FPTP
Meskipun sering dikritik karena dianggap kurang representatif dibandingkan sistem proporsional, sistem FPTP tetap bertahan di banyak negara karena beberapa keunggulan strategis:
1. Menciptakan Pemerintahan yang Stabil
Sistem ini cenderung menghasilkan sistem dua partai besar (bipartai). Hal ini sering kali memudahkan pembentukan pemerintahan mayoritas tunggal di parlemen tanpa perlu membentuk koalisi yang rapuh. Pemerintahan dapat mengambil keputusan dan mengesahkan undang-undang dengan lebih efisien.
2. Hubungan Erat Wakil dan Konstituen
Karena setiap distrik memiliki satu wakil spesifik, masyarakat tahu persis kepada siapa mereka harus mengadu. Ada ikatan geografis yang kuat antara anggota legislatif dengan warga di daerah pemilihannya.
3. Mencegah Fragmentasi Ekstrem
Sistem ini menyulitkan partai-partai ekstrem kecil untuk masuk ke parlemen kecuali mereka memiliki basis dukungan geografis yang sangat terkonsentrasi. Ini dianggap menjaga stabilitas politik dari polarisasi yang berlebihan.
4. Sederhana dan Mudah Dipahami
Mekanisme "suara terbanyak menang" sangat mudah dipahami oleh pemilih dari berbagai latar belakang pendidikan, meminimalkan surat suara tidak sah karena kebingungan cara mencoblos.
Kekurangan Sistem FPTP
Di sisi lain, sistem ini memiliki kelemahan mendasar yang sering menjadi perdebatan para ahli demokrasi:
1. Banyaknya Suara Terbuang (Wasted Votes)
Mengacu pada contoh "Distrik Lembah" di atas, 60.000 suara yang memilih Kandidat B dan C dianggap "hangus" atau tidak terwakili. Hal ini dapat memicu apatisme pemilih yang merasa suaranya tidak berharga jika mereka mendukung kandidat minoritas di distrik tersebut.
2. Distorsi Hasil Nasional
Sering terjadi kasus di mana sebuah partai memenangkan mayoritas kursi di parlemen, padahal secara total suara nasional (popular vote), mereka kalah dari partai lain. Ini terjadi karena distribusi suara yang tidak merata antar distrik.
3. Pemenang Minoritas
Sangat mungkin bagi seorang kandidat untuk mewakili rakyat meskipun lebih banyak orang yang menolaknya daripada yang memilihnya (seperti contoh kemenangan dengan hanya 40% suara).
4. Rentan terhadap Gerrymandering
Karena berbasis distrik geografis, penguasa dapat memanipulasi batas-batas wilayah pemilihan (dapil) untuk menguntungkan partai tertentu, sebuah praktik yang dikenal sebagai gerrymandering.
Baca juga: Fungsi Partai Politik dalam Sistem Demokrasi
Negara-Negara yang Menerapkan Sistem FPTP
Sistem first past the post umumnya digunakan di negara-negara yang memiliki sejarah pengaruh Inggris atau negara-negara persemakmuran. Beberapa contoh negara besar yang menerapkan sistem ini antara lain:
-
Kerajaan Inggris (United Kingdom):
Sebagai tempat kelahiran sistem ini, Inggris menggunakannya untuk memilih anggota House of Commons. Pemilu di Inggris adalah contoh klasik bagaimana FPTP bekerja dalam mempertahankan sistem parlementer tradisional.
-
Amerika Serikat:
AS menggunakan variasi FPTP untuk pemilihan anggota DPR (House of Representatives) dan Senat, serta dalam sistem Electoral College untuk pemilihan Presiden (di mana sebagian besar negara bagian menerapkan prinsip winner-takes-all).
-
India:
Sebagai demokrasi terbesar di dunia, India menggunakan FPTP untuk memilih anggota Lok Sabha (Majelis Rendah). Sistem ini dipilih karena kesederhanaannya untuk diterapkan pada populasi yang sangat besar dan beragam.
-
Kanada:
Menggunakan FPTP untuk pemilihan tingkat federal, meskipun perdebatan untuk reformasi pemilu ke arah proporsional sering muncul.
-
Malaysia:
Tetangga serumpun kita ini juga menggunakan sistem FPTP untuk memilih anggota Dewan Rakyat, sebuah warisan dari masa kolonial Inggris.
Perbandingan Singkat FPTP dan Sistem Proporsional
Untuk memberikan konteks yang lebih jelas, terutama jika dibandingkan dengan sistem yang umum di Indonesia (Proporsional Terbuka), berikut adalah perbedaannya:
| Fitur Utama | First Past the Post (Distrik) | Sistem Proporsional |
| Prinsip Pemenang | The Winner Takes All (Pemenang ambil semua) | Persentase kursi = Persentase suara |
| Besaran Dapil | Distrik berwakil tunggal (1 kursi per dapil) | Distrik berwakil jamak (Banyak kursi per dapil) |
| Fokus Pemilih | Lebih fokus pada figur kandidat individual | Lebih fokus pada partai politik (atau kombinasi) |
| Keterwakilan | Cenderung kurang proporsional | Sangat merepresentasikan keberagaman suara |
| Sistem Partai | Mendorong sistem dua partai (Bipartai) | Mendorong sistem banyak partai (Multipartai) |
Pengaruh Sistem FPTP terhadap Demokrasi dan Representasi
Penerapan first past the post memiliki dampak psikologis dan sosiologis terhadap demokrasi. Maurice Duverger, seorang sosiolog politik Prancis, merumuskan apa yang dikenal sebagai "Hukum Duverger", yang menyatakan bahwa sistem pemilihan suara terbanyak distrik tunggal cenderung mengarah pada sistem dua partai.
Dalam sistem FPTP, partai-partai kecil dan menengah terdorong untuk berkoalisi atau melebur sebelum pemilu agar suara mereka tidak terpecah. Ini berbeda dengan sistem proporsional (seperti di Indonesia), di mana koalisi sering kali dibangun setelah hasil pemilu keluar.
Dari segi representasi, FPTP sering dikritik karena kurang ramah terhadap keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas. Dalam sistem distrik tunggal, partai cenderung mencalonkan kandidat yang "paling aman" atau populer secara umum untuk mengamankan satu-satunya kursi yang tersedia, sehingga sering kali mengabaikan kandidat dari kelompok marjinal.
Namun, pendukung FPTP berargumen bahwa sistem ini memastikan akuntabilitas yang jelas: jika rakyat tidak puas, mereka bisa langsung menghukum wakil tersebut di pemilu berikutnya dengan memilih lawan terkuatnya.
Baca juga: Perbandingan Sistem Penyelenggara Pemilu Indonesia dan Dunia: KPU dalam Praktik Demokrasi Global
Sistem pemilihan umum adalah jantung dari mekanisme demokrasi, dan first past the post merupakan salah satu katup utamanya yang telah teruji oleh waktu di berbagai negara maju.
Sistem ini menawarkan stabilitas pemerintahan, kesederhanaan proses, dan kedekatan hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya.
Namun, ia juga membawa tantangan berupa distorsi proporsionalitas suara dan potensi banyaknya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi.
Memahami sistem ini memberikan kita wawasan perbandingan yang berharga dalam melihat sistem pemilu kita sendiri.
Tidak ada sistem pemilu yang sempurna; setiap sistem adalah hasil kompromi antara keinginan untuk stabilitas pemerintahan dan keinginan untuk representasi yang adil.
Sebagai pemilih yang cerdas, mengenali berbagai mekanisme ini menyadarkan kita bahwa setiap suara memiliki bobot dan konsekuensi. Mari kita terus berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi, karena pada akhirnya, legitimasi sebuah pemerintahan lahir dari partisipasi rakyatnya.
Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang sampai di garis finis terlebih dahulu, tetapi tentang bagaimana setiap langkah dalam perlombaan itu dijaga kejujuran dan keadilannya. (GSP)
Referensi:
- International IDEA. (2005). Electoral System Design: The New International IDEA Handbook. Stockholm: International IDEA.
- Duverger, M. (1954). Political Parties. London: Methuen.
- ACE Electoral Knowledge Network. (n.d.). First Past The Post (FPTP).