Tokoh

Semangat Usman dan Harun: Teladan Nasionalisme dan Demokrasi Bangsa

Wamena, Papua Pegunungan - Tanggal 17 Oktober menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia untuk mengenang gugurnya Pahlawan Nasional Kopral Usman Janatin dan Sersan Harun Thohir. Kisah dua prajurit Korps Komando Operasi Angkatan Laut ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan simbol nasionalisme, keberanian, dan semangat menjaga demokrasi yang terus relevan bagi generasi masa kini. Baca juga: Dari Medan Juang ke Demokrasi: Teladan Nasionalisme Prabowo 1. Latar Belakang: Indonesia dalam Masa Konfrontasi Awal dekade 1960-an menandai masa penuh ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, menolak pembentukan Federasi Malaysia (1963) yang dianggap sebagai bentuk neokolonialisme baru oleh Barat. Sebagai respons, Indonesia melancarkan Konfrontasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) — sebuah upaya politik dan militer untuk menegaskan kedaulatan serta menentang dominasi asing di wilayah regional.   2. Misi Rahasia di Singapura Dalam konteks Dwikora, Kopral Usman Janatin dan Sersan Harun Thohir mendapat tugas operasi khusus di Singapura, yang kala itu masih bagian dari Federasi Malaysia. Pada 10 Maret 1965, keduanya melaksanakan misi sabotase di Gedung MacDonald House, Orchard Road. Ledakan tersebut menewaskan tiga warga sipil dan melukai 33 orang. Mereka kemudian tertangkap oleh otoritas Singapura dan diadili sebagai pelaku kriminal, meskipun pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa keduanya adalah prajurit resmi negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dihukum mati di Singapura — sebuah peristiwa yang mengguncang diplomasi kedua negara.   3. Penghormatan Negara dan Gelar Pahlawan Nasional Pasca eksekusi, pemerintah Indonesia menyambut kepulangan jenazah Usman dan Harun dengan upacara militer kenegaraan. Keduanya dimakamkan secara terhormat di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Presiden Soeharto kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan tertinggi atas pengabdian dan loyalitas mereka kepada bangsa dan negara. Peristiwa ini menegaskan bahwa pengorbanan demi kedaulatan tidak pernah sia-sia — selalu hidup dalam ingatan dan semangat nasional. Baca juga: Keteladanan Jenderal Hoegeng: Cermin Kepemimpinan dan Nilai Demokrasi di Indonesia 4. Nilai Nasionalisme dan Relevansi Masa Kini Kisah Usman dan Harun tidak berhenti pada sejarah. Nilai-nilai nasionalisme, keberanian, dan tanggung jawab terhadap negara kini menjadi fondasi moral bagi seluruh aparatur sipil dan lembaga publik, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam konteks demokrasi modern, menjaga integritas pemilu yang jujur dan adil adalah bentuk perjuangan baru tanpa senjata. KPU, sebagai garda depan pelaksana kedaulatan rakyat, meneladani semangat Usman dan Harun dalam mengawal suara rakyat dengan profesional, netral, dan berintegritas.   5. Dari Lautan Api ke Demokrasi yang Matang Perjuangan Usman dan Harun adalah simbol bahwa kedaulatan bangsa adalah harga mati. Kini, perjuangan itu diteruskan melalui pelaksanaan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Dari medan tempur hingga bilik suara, semangat pengorbanan dan tanggung jawab warga negara berpadu dalam satu napas: menjaga keutuhan dan martabat Republik Indonesia.   Baca juga: Mengenang Bung Tomo: Pahlawan 3 Oktober, Inspirasi Demokrasi  Rujukan Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) — Dokumentasi Konfrontasi Dwikora 1963–1966 Kementerian Pertahanan RI — Profil Pahlawan Nasional Usman Janatin dan Harun Thohir UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan Kompas, 10 Maret 2015 — 50 Tahun Bom MacDonald House, Kisah yang Tak Terlupakan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia — Nilai Nasionalisme dalam Demokrasi Modern

Agus Filma: Dari Biak Timur untuk Demokrasi di Papua Pegunungan

Wamena, Papua Pegunungan – Di tengah dinginnya udara pegunungan dan semangat masyarakat yang hangat, sosok Agus Filma berdiri sebagai teladan tentang arti pengabdian tanpa pamrih. Pria berdarah Bima yang lahir di Papua pada 30 Agustus 1978 ini kini mengemban amanah sebagai Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Pegunungan — jabatan yang bukan hanya menuntut ketelitian dan tanggung jawab, tetapi juga hati yang tulus untuk melayani. Perjalanan Karir Agus Filma dari Biak hingga KPU Papua Pegunungan Perjalanan Agus Filma dimulai jauh sebelum namanya dikenal luas. Sejak 15 Juli 1994, ia menapaki jalan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pembangunan Masyarakat Desa Provinsi Irian Jaya. Di usia yang masih muda, ia sudah menunjukkan komitmen kuat untuk bekerja di lapangan, mendengar, dan memahami kebutuhan masyarakat. Tahun-tahun pengabdian panjangnya di Kecamatan Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor (1994–2012) menjadi masa yang membentuk karakternya. Di sana, ia tak hanya menjadi birokrat, tetapi juga bagian dari denyut kehidupan masyarakat setempat. Ia sempat menjabat sebagai Camat Biak Timur selama lima tahun, serta menjadi penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan pada tahun 1997, 1999, 2003, dan 2008 — sebuah bukti bahwa tanggung jawab dan kepercayaan selalu mengikuti dedikasi. Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Anggota KPU Provinsi Papua Pegunungan: Pengalaman, Dedikasi, dan Semangat Membangun Demokrasi Meniti Karier dengan Konsistensi dan Keikhlasan Setelah melewati hampir dua dekade di Biak Timur, Agus melangkah ke jenjang baru. Ia dipercaya bertugas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Biak Numfor (2012–2015), lalu menjabat sebagai Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Biak Numfor (2015–2017), dan Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Biak Numfor (2017–2018). Namun, panggilan jiwanya untuk turut menjaga demokrasi membawanya kembali ke dunia kepemiluan. Pada 2018, ia diangkat sebagai Sekretaris KPU Kabupaten Biak Numfor, tempat di mana ia mengabdikan diri selama lima tahun penuh dengan kerja keras dan integritas. Perjalanan panjang itu akhirnya mengantarnya ke puncak tanggung jawab baru — pada 23 Mei 2023, ia resmi dilantik sebagai Sekretaris KPU Provinsi Papua Pegunungan. Jabatan ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Di tengah tantangan geografis dan sosial yang khas Papua, Agus hadir dengan semangat membangun lembaga yang kokoh, profesional, dan berintegritas. Hidup untuk Masyarakat Selain dikenal sebagai pejabat publik yang disiplin dan visioner, Agus Filma juga dikenal hangat dan dekat dengan masyarakat. Ia aktif dalam berbagai organisasi sosial-keagamaan, di antaranya pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Biak Numfor. Bagi Agus, berorganisasi adalah cara lain untuk menebar manfaat dan menjaga harmoni antarwarga. Baca juga: Papua Pegunungan Mengawal Demokrasi: Kisah Lahirnya KPU Papua Pegunungan Mengabdi dengan Hati Bagi Agus Filma, menjadi ASN bukan sekadar profesi. Ini adalah jalan hidup. Dalam setiap langkahnya, ia selalu membawa prinsip sederhana: bekerja dengan hati, melayani dengan keikhlasan. “Bagi saya, mengabdi di Papua bukan hanya tugas negara, tapi panggilan jiwa. Tanah ini telah membesarkan saya, dan sudah sepatutnya saya memberikan yang terbaik kembali untuk masyarakat,” tutur Agus dengan senyum tenang yang mencerminkan ketulusan. Kini, dengan pengalaman hampir tiga dekade di dunia pemerintahan, Agus Filma dikenal sebagai sosok yang tak hanya memahami birokrasi, tapi juga mengerti manusia di baliknya. Di tangan seorang abdi negara seperti dirinya, KPU Papua Pegunungan tidak hanya menjadi lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga simbol kejujuran, dedikasi, dan harapan akan demokrasi yang lebih baik di Tanah Papua. Baca juga: KPU Papua Pegunungan Ajak Pahami Sejarah Partai Politik Peserta Pemilu

Dari Medan Juang ke Demokrasi: Teladan Nasionalisme Prabowo

Wamena, Papua Pegunungan — Dalam perjalanan sejarah Indonesia modern, nama Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok yang lekat dengan semangat perjuangan dan nasionalisme. Sebagai tokoh militer dan pemimpin politik, kiprahnya menggambarkan dinamika demokrasi Indonesia yang terus berkembang menuju arah kematangan dan kedewasaan politik. Perjalanan panjang Prabowo menjadi refleksi bagaimana nilai perjuangan dan cinta tanah air dapat bertransformasi dalam kerangka demokrasi yang menjunjung persatuan dan kedaulatan rakyat. Baca juga: Mengenang Bung Tomo: Pahlawan 3 Oktober, Inspirasi Demokrasi Jejak Perjuangan dan Pengabdian Prabowo Subianto lahir di Jakarta pada 17 Oktober 1951. Ia memulai karier militernya di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pernah menjabat di berbagai posisi strategis. Nilai disiplin, keberanian, dan tanggung jawab menjadi bagian penting dari pembentukan karakternya sebagai seorang pemimpin. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo kerap menekankan pentingnya membangun kemandirian nasional, baik dalam bidang ekonomi, pertahanan, maupun pembangunan sumber daya manusia. Nilai-nilai perjuangan ini sejalan dengan semangat bangsa Indonesia yang ingin berdiri tegak di atas kekuatan dan jati dirinya sendiri. Baca juga: Keteladanan Jenderal Hoegeng: Cermin Kepemimpinan dan Nilai Demokrasi di Indonesia Nasionalisme dalam Bingkai Demokrasi Semangat nasionalisme yang diusung Prabowo tidak hanya berbicara tentang cinta tanah air, tetapi juga tentang tanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Dalam konteks demokrasi, nasionalisme berperan sebagai landasan moral agar perbedaan pandangan politik tidak menggerus rasa persaudaraan di antara anak bangsa. Bagi bangsa Indonesia, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Papua Pegunungan, semangat nasionalisme menjadi kunci dalam menjaga harmoni dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan bernegara. Demokrasi yang sehat tumbuh ketika rakyat merasa dilibatkan, dihargai, dan dipersatukan oleh tujuan bersama — yaitu kesejahteraan dan keadilan. Baca juga: Jenderal Oerip Sumohardjo: Peletak Dasar Profesionalisme TNI dan Teladan Demokrasi Indonesia Demokrasi sebagai Wujud Cinta Tanah Air KPU Provinsi Papua Pegunungan menilai, perjalanan tokoh-tokoh bangsa seperti Prabowo Subianto dapat menjadi bahan refleksi tentang bagaimana perjuangan dan nasionalisme harus berjalan seiring dengan nilai demokrasi. Pemilu yang damai, partisipatif, dan berintegritas adalah bentuk nyata perjuangan rakyat dalam menjaga kedaulatan negara secara konstitusional. Sebagaimana perjuangan fisik di masa lalu menuntut keberanian dan pengorbanan, maka perjuangan di era demokrasi menuntut kejujuran, kesadaran politik, dan komitmen terhadap persatuan bangsa. Semangat inilah yang terus dijaga oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu di tanah Papua Pegunungan. Baca juga: 10 Negara Demokrasi Terbesar di Dunia, Indonesia Masuk Tiga Besar