Kotak Kosong Menang di Pilkada, Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Wamena — Fenomena “kotak kosong menang” dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi salah satu isu menarik dalam politik Indonesia beberapa tahun terakhir. Kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan publik—bagaimana bisa kolom tanpa calon atau “kotak kosong” mengalahkan pasangan calon tunggal yang sudah didukung partai politik besar?
Apa Itu Kotak Kosong dalam Pilkada?
“Kotak kosong” adalah pilihan alternatif yang tersedia dalam surat suara Pilkada apabila hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah. Artinya, pemilih dapat memilih apakah ingin menyetujui pasangan calon tunggal tersebut atau memilih kotak kosong sebagai bentuk penolakan. Jika kotak kosong memperoleh suara terbanyak, maka pasangan calon dianggap tidak terpilih, dan Pilkada akan diulang pada periode berikutnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Mudah dan Praktis, Ini Cara Cek Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Melalui Situs Resmi KPU
Dasar Hukum Keberadaan Kotak Kosong
Dasar hukum keberadaan kolom kotak kosong diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 54C disebutkan bahwa apabila hanya ada satu pasangan calon, maka surat suara tetap memuat dua kolom—satu untuk pasangan calon tunggal, dan satu lagi untuk kotak kosong.
Ketentuan ini merupakan wujud dari prinsip demokrasi yang menjamin hak pemilih untuk menolak calon yang dianggap tidak mewakili aspirasi publik, sekaligus mencegah dominasi politik tunggal di daerah.
Mengapa Kotak Kosong Bisa Menang?
Fenomena kotak kosong menang biasanya terjadi karena beberapa faktor:
- Kekecewaan masyarakat terhadap calon tunggal yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi rakyat.
- Kurangnya sosialisasi dan komunikasi politik dari calon tunggal.
- Dominasi partai politik dalam proses pencalonan yang membuat masyarakat merasa tidak diberi alternatif pilihan.
- Gerakan moral atau protes politik dari kelompok masyarakat yang menolak sistem “tanpa lawan” dalam Pilkada.
Contoh Kasus Kotak Kosong Menang di Makassar dan Daerah Lain
Salah satu kasus paling terkenal terjadi pada Pilkada Kota Makassar 2018, di mana kotak kosong berhasil mengalahkan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi.
Kemenangan kotak kosong ini menjadi simbol penolakan terhadap praktik politik elitis dan dianggap sebagai “kemenangan rakyat” yang ingin menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar formalitas.
Selain Makassar, fenomena serupa juga pernah muncul di daerah seperti Kabupaten Tasikmalaya (2020) dan Kabupaten Jayapura (2020), meskipun dengan hasil berbeda.
Arti Politik di Balik Kemenangan Kotak Kosong
Kemenangan kotak kosong mengandung makna politik yang dalam. Ia menjadi kritik terhadap oligarki politik, menunjukkan bahwa rakyat bisa menolak calon yang tidak mereka kehendaki.
Fenomena ini juga menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari rakyat, bukan hanya dari partai atau elit politik. Kotak kosong menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang tertutup, serta mendorong partai-partai agar lebih transparan dan demokratis dalam menetapkan calon.
Apa yang Harus Dilakukan KPU dan Parpol?
KPU sebagai penyelenggara pemilu harus meningkatkan sosialisasi tentang makna kotak kosong agar masyarakat memahami konsekuensi hukumnya.
Sementara itu, partai politik diharapkan lebih terbuka dalam proses penjaringan calon kepala daerah agar tidak menimbulkan kesan monopoli.
Selain itu, perlu dilakukan evaluasi regulasi Pilkada untuk menyeimbangkan antara efisiensi politik dan partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin daerah yang benar-benar dipercaya.
Baca juga: Koalisi Partai Politik: Pilar Penting Demokrasi di Papua Pegunungan