Memahami Fasisme: Ciri, Sejarah, dan Dampaknya bagi Dunia
Wamena — Dalam perjalanan sejarah politik dunia, fasisme menjadi salah satu ideologi yang paling berpengaruh sekaligus paling berbahaya. Ia lahir dari ketidakpuasan terhadap demokrasi, kekacauan ekonomi, dan keinginan untuk memulihkan kejayaan bangsa melalui kekuasaan tunggal. Namun di balik janji stabilitas dan kekuatan nasional, fasisme justru meninggalkan luka mendalam berupa perang, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ideologi ini menjadi peringatan keras bagi dunia modern: ketika rakyat menyerahkan seluruh kendali kepada satu orang atau satu partai tanpa batas, kebebasan manusia bisa lenyap hanya dalam hitungan waktu.
Pengertian Fasisme
Secara sederhana, fasisme adalah sistem politik otoriter yang menolak demokrasi dan menekankan nasionalisme ekstrem. Dalam fasisme, negara dianggap sebagai tujuan tertinggi — segala sesuatu, termasuk kebebasan individu, harus tunduk pada kepentingan negara.
Kepemimpinan dalam sistem ini biasanya bersifat totaliter, di mana seorang pemimpin dianggap sebagai simbol mutlak bangsa dan tidak dapat dikritik. Pemerintah mengontrol media, membungkam oposisi, dan menanamkan ide bahwa kesetiaan kepada pemimpin adalah bentuk tertinggi dari patriotisme.
Fasisme juga memuliakan kekuatan, ketaatan, dan disiplin. Dalam pandangan ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang seragam, patuh, dan siap berkorban demi negara — sebuah pandangan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
Sejarah dan Asal-usul Fasisme di Dunia
Fasisme pertama kali muncul di Italia setelah Perang Dunia I, ketika masyarakat dilanda krisis ekonomi, pengangguran, dan kekecewaan terhadap sistem parlementer yang dianggap lemah. Benito Mussolini, mantan jurnalis dan politisi sosialis, memanfaatkan kekacauan itu dengan membentuk Partito Nazionale Fascista (Partai Fasis Nasional) pada tahun 1919.
Menurut United States Holocaust Memorial Museum (USHMM), fasisme muncul sebagai gerakan politik yang menjanjikan stabilitas dan kebangkitan nasional setelah kekalahan perang. Mussolini menggunakan retorika populis dan simbol-simbol Romawi kuno untuk membangkitkan rasa bangga nasional serta menyingkirkan oposisi politik.
Encyclopaedia Britannica mencatat bahwa Mussolini memperoleh dukungan luas dari militer, polisi, dan kelas menengah yang mendambakan ketertiban setelah masa kekacauan. Dengan slogannya “Ordine, Disciplina, Gerarchia” (Orde, Disiplin, Hierarki), ia berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan menjadi Perdana Menteri Italia pada 1922.
Ideologi ini kemudian menginspirasi Adolf Hitler di Jerman, yang memadukannya dengan rasisme ekstrem melalui Partai Nazi. Sejarawan Ian Kershaw dalam Hitler: A Biography menjelaskan bahwa kebangkitan fasisme di Jerman berakar pada krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan rasa frustrasi rakyat pasca-Perang Dunia I.
Dalam esainya The Doctrine of Fascism (1932), Mussolini bahkan menulis bahwa “Negara fasis bersifat all-embracing, yaitu negara menjadi satu-satunya entitas yang memiliki otoritas” — menggambarkan bagaimana ideologi ini menolak kebebasan individu dan menjadikan negara sebagai pusat segalanya.
Ciri-ciri Pemerintahan Fasis
Beberapa ciri khas pemerintahan fasis dapat diidentifikasi dengan jelas:
- Kultus terhadap pemimpin — Pemimpin dipuja layaknya dewa, menjadi simbol mutlak kebenaran dan kekuasaan.
- Negara di atas segalanya — Kepentingan individu dianggap tidak penting dibandingkan kepentingan negara.
- Penindasan terhadap oposisi dan media — Kritik dianggap sebagai pengkhianatan. Pers dan partai politik dibungkam.
- Propaganda besar-besaran — Pemerintah menggunakan simbol, film, musik, dan pidato untuk menanamkan loyalitas rakyat.
- Militerisasi dan nasionalisme ekstrem — Kekuatan militer diagungkan, dan perang dianggap cara mulia untuk membuktikan kejayaan bangsa.
- Pengendalian ekonomi dan masyarakat — Negara turut mengatur industri, serikat pekerja, bahkan kehidupan pribadi warga.
Dalam sistem seperti ini, kebebasan bukan hanya dibatasi — tetapi dihapuskan sepenuhnya. Rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kewajiban tunduk pada satu ideologi tunggal.
Perbandingan Fasisme dan Demokrasi
Perbedaan antara fasisme dan demokrasi sangat mencolok. Demokrasi menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan, sedangkan fasisme menempatkan pemimpin sebagai pusat kebenaran. Dalam demokrasi, kekuasaan dibatasi oleh hukum dan konstitusi; sementara dalam fasisme, hukum tunduk pada kehendak penguasa.
Di negara demokratis, perbedaan pendapat dianggap bagian dari dinamika politik yang sehat. Namun bagi sistem fasis, perbedaan dianggap ancaman yang harus dimusnahkan.
Fasisme mengedepankan keseragaman dan ketaatan buta, sedangkan demokrasi menumbuhkan keberagaman, kritik, dan tanggung jawab sosial. Itulah sebabnya, meski demokrasi tidak selalu sempurna, ia tetap menjadi benteng paling kokoh melawan lahirnya kekuasaan absolut.
Dampak Fasisme terhadap Hak Asasi Manusia
Dampak paling nyata dari fasisme terlihat dalam tragedi Perang Dunia II (1939–1945). Ambisi ekspansi Jerman dan Italia mengakibatkan jutaan nyawa melayang.
Kebijakan rasial Nazi menyebabkan genosida sistematis terhadap lebih dari enam juta orang Yahudi dalam tragedi Holocaust — salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah.
Selain korban perang, rakyat di negara-negara fasis hidup dalam ketakutan. Mereka tidak bisa menyuarakan pendapat, memilih pemimpin, atau menjalani hidup tanpa pengawasan negara.
Seni, media, dan pendidikan dikontrol sepenuhnya untuk menyebarkan ideologi tunggal. Fasisme, dengan demikian, bukan hanya bentuk pemerintahan — tetapi penjara bagi kebebasan manusia.
Menjaga Demokrasi agar Fasisme Tak Terulang
Meski fasisme klasik telah runtuh, jejaknya belum sepenuhnya hilang. Di era modern, ide-ide seperti nasionalisme sempit, politik kebencian, dan kultus terhadap tokoh sering kali menjadi pintu masuk bagi pola pikir fasis.
Banyak negara kini menghadapi tantangan baru: bagaimana menjaga kebebasan di tengah disinformasi, populisme, dan politik identitas yang memecah belah.
Pelajaran penting dari sejarah fasisme adalah bahwa demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyatnya tetap waspada dan kritis terhadap kekuasaan.
Fasisme lahir bukan karena kekuatan semata, tetapi karena rakyat berhenti mempertanyakan.
Ketika masyarakat menukar kebebasan dengan rasa aman palsu, saat itulah sejarah mulai berulang — dan dunia berisiko jatuh ke kegelapan yang sama.
Referensi:
- https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/fascism-1
- https://www.britannica.com/place/Italy/The-Fascist-era
- https://www.sjsu.edu/faculty/wooda/2B-HUM/Readings/The-Doctrine-of-Fascism.pdf