Masa Jabatan Kepala Desa: Aturan, Perubahan, dan Perdebatan Terbaru
Wamena - Desa merupakan entitas pemerintahan terkecil yang menjadi ujung tombak pelayanan publik dan pembangunan di Indonesia. Sebagai pemimpin di tingkat akar rumput, posisi Kepala Desa memegang peranan vital dalam menjaga stabilitas sosial dan kemajuan ekonomi masyarakat. Belakangan ini, topik mengenai masa jabatan kepala desa menjadi sorotan nasional yang hangat diperbincangkan, mulai dari ruang diskusi akademis, gedung parlemen, hingga warung kopi di pelosok desa.
Bagi masyarakat umum dan para pemilih, memahami dinamika regulasi ini sangat penting. Perubahan aturan tidak hanya berdampak pada figur pemimpinnya, tetapi juga pada keberlanjutan pembangunan desa itu sendiri. Artikel ini akan mengupas tuntas regulasi terkini, alasan di balik perubahan, serta dinamika pro dan kontra yang mengiringi penetapan aturan baru terkait masa jabatan orang nomor satu di desa tersebut.
Aturan Masa Jabatan Kepala Desa dalam UU Desa
Sebelum membahas perubahan terbaru, kita perlu menengok kembali landasan hukum yang sebelumnya berlaku cukup lama. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masa jabatan kepala desa diatur secara spesifik dalam Pasal 39.
Pada regulasi lama tersebut, kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Undang-undang ini juga memberikan batasan periode, di mana seorang kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Artinya, seorang individu memiliki peluang memimpin desanya selama total 18 tahun jika terpilih dalam tiga kali pemilihan kepala desa (Pilkades).
Aturan 6 tahun dikali 3 periode ini awalnya dirancang untuk menyeimbangkan antara waktu pengabdian dan regenerasi kepemimpinan. Enam tahun dianggap waktu moderat—tidak terlalu singkat seperti jabatan politik 5 tahunan (Presiden/Kepala Daerah), namun juga tidak terlalu lama.
Namun, seiring berjalannya waktu, dinamika di lapangan menunjukkan adanya aspirasi yang berbeda yang menuntut revisi terhadap undang-undang tersebut.
Baca juga: Pedro Lascurain: Presiden dengan Masa Jabatan Tersingkat di Dunia, Hanya 45 Menit!
Perubahan Masa Jabatan: 6 Tahun, 8 Tahun, atau 9 Tahun?
Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa mencapai puncaknya pada tahun 2023 dan awal 2024. Berbagai asosiasi pemerintah desa, seperti APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), menyuarakan aspirasi agar masa jabatan diperpanjang.
Tuntutan awal yang sempat mengemuka adalah perpanjangan menjadi 9 (sembilan) tahun dengan maksimal 2 periode, atau bahkan opsi hingga 27 tahun total masa jabatan.
Setelah melalui proses legislasi yang dinamis antara Pemerintah dan DPR RI, akhirnya disepakati perubahan signifikan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Poin krusial dalam UU Desa terbaru ini menetapkan bahwa:
- Masa jabatan kepala desa menjadi 8 (delapan) tahun.
- Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Dengan demikian, total waktu maksimal seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa berubah dari 18 tahun (6 tahun x 3 periode) menjadi 16 tahun (8 tahun x 2 periode). Meskipun total akumulasinya berkurang, durasi per satu periode yang lebih panjang (8 tahun) dianggap lebih strategis untuk menuntaskan visi dan misi pembangunan tanpa terganggu oleh konflik politik jangka pendek.
Alasan Pemerintah Mengatur Masa Jabatan Kepala Desa
Mengapa durasi jabatan di level desa berbeda dengan jabatan politik di level kabupaten, provinsi, atau nasional yang umumnya 5 tahun? Pemerintah dan legislator memiliki landasan sosiologis dan politis yang kuat di balik pengaturan masa jabatan kepala desa ini.
Pertama, karakteristik konflik Pilkades. Berbeda dengan Pemilu Legislatif atau Pilkada, gesekan sosial dalam pemilihan kepala desa cenderung lebih tajam dan personal karena lingkup masyarakat yang kecil dan saling mengenal.
"Luka" sosial akibat beda pilihan politik di desa seringkali membutuhkan waktu pemulihan (recovery) yang lama. Masa jabatan 6 tahun dinilai terlalu singkat untuk meredakan ketegangan pasca-pemilihan sebelum akhirnya masuk ke kontestasi berikutnya.
Kedua, efektivitas pembangunan. Dengan masa jabatan 8 tahun, kepala desa terpilih memiliki waktu yang lebih leluasa untuk menyusun dan mengeksekusi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Pada tahun-tahun awal, energi kepala desa sering tersita untuk konsolidasi internal. Dengan durasi yang lebih panjang, diharapkan fokus kerja nyata dapat lebih optimal tanpa dibayangi persiapan kampanye periode berikutnya yang terlalu cepat.
Dampak Masa Jabatan Panjang terhadap Pemerintahan Desa
Perpanjangan satu periode menjadi 8 tahun tentu membawa implikasi luas bagi tata kelola pemerintahan desa. Dampak ini bisa dilihat dari dua sisi mata uang.
Dari sisi stabilitas, masa jabatan yang lebih panjang memberikan jaminan keberlanjutan program. Kepala desa tidak perlu terburu-buru mengejar target populis jangka pendek demi terpilih kembali.
Mereka bisa fokus pada program jangka panjang yang fundamental, seperti pembangunan infrastruktur pertanian, pengembangan BUMDes, atau pengentasan stunting yang hasilnya baru terlihat setelah beberapa tahun.
Selain itu, efisiensi anggaran juga menjadi dampak positif. Dengan siklus pemilihan yang lebih jarang (setiap 8 tahun sekali), biaya penyelenggaraan Pilkades yang dibebankan pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dapat dihemat dan dialihkan untuk pos pembangunan lainnya.
Namun, ada pula dampak psikologis bagi aparatur desa. Kepastian waktu kerja yang lebih lama dapat meningkatkan kepercayaan diri perangkat desa dalam melayani masyarakat, mengurangi ketakutan akan perombakan perangkat desa yang sering terjadi setiap pergantian kepemimpinan.
Pro dan Kontra Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Sebagai negara demokrasi, setiap kebijakan pasti menuai pro dan kontra. Perdebatan mengenai masa jabatan kepala desa ini juga tidak luput dari kritik kritis berbagai elemen masyarakat dan pengamat politik.
Argumen Pro (Mendukung):
- Stabilitas Sosial: Meminimalkan konflik horizontal antarwarga yang kerap terjadi saat Pilkades.
- Kematangan Program: Memberi ruang bagi kepala desa untuk merealisasikan janji kampanye secara tuntas.
- Kearifan Lokal: Desa memiliki ritme demokrasi yang berbeda dengan suprastruktur politik nasional, sehingga membutuhkan durasi kepemimpinan yang lebih "mengayomi" dan panjang.
Argumen Kontra (Menentang):
- Regenerasi yang Lambat: Masa jabatan 8 tahun dinilai menghambat sirkulasi kepemimpinan. Generasi muda yang potensial harus menunggu hampir satu dekade untuk bisa berkompetisi memimpin desanya.
- Potensi Korupsi dan Otoriter: Semakin lama seseorang berkuasa tanpa mekanisme check and balance yang kuat, semakin besar potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Ada kekhawatiran munculnya "Raja-Raja Kecil" di desa yang sulit dikontrol.
- Kinerja Buruk yang Langgeng: Jika kepala desa terpilih ternyata tidak kompeten, masyarakat desa harus "menderita" menunggu selama 8 tahun untuk bisa menggantinya lewat mekanisme pemilihan.
Baca juga: Perbedaan Jabatan Pelaksana dan Fungsional, Begini Penjelasan KPU Papua Pegunungan
Mekanisme Pemilihan Kepala Desa dan Masa Jabatannya
Meskipun durasi menjabat telah berubah, mekanisme pemilihan kepala desa tetap mengacu pada prinsip demokrasi langsung. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih.
Dalam konteks pengawasan dan administrasi, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Panitia Pemilihan Tingkat Desa sangat krusial. Prosesnya meliputi:
- Pencalonan: Warga negara yang memenuhi syarat mendaftarkan diri.
- Kampanye: Penyampaian visi dan misi.
- Pemungutan Suara: Dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
- Penetapan: Calon dengan suara terbanyak ditetapkan sebagai calon terpilih.
Terkait dengan UU No. 3 Tahun 2024, terdapat aturan peralihan yang unik. Kepala Desa yang sedang menjabat saat undang-undang ini disahkan secara otomatis mendapatkan penyesuaian masa jabatan. Misalnya, kepala desa yang baru menjabat 2 tahun (berdasarkan SK lama 6 tahun), otomatis masa jabatannya diperpanjang menjadi 8 tahun tanpa perlu pemilihan ulang, dan masih memiliki kesempatan untuk 1 periode lagi. Hal ini penting dipahami agar tidak terjadi kebingungan di tengah masyarakat mengenai kapan masa jabatan kepala desa mereka berakhir.
Contoh Kasus Pilkades dan Masa Jabatan di Berbagai Daerah
Penerapan masa jabatan kepala desa yang baru ini berlaku secara nasional, namun dinamikanya bisa berbeda di tiap daerah, termasuk di wilayah Papua Pegunungan.
Di banyak desa di Pulau Jawa, Pilkades seringkali menjadi "pesta demokrasi" yang sangat meriah dengan partisipasi pemilih yang bahkan lebih tinggi dari Pemilu Presiden. Isu perpanjangan masa jabatan di sini sangat sensitif terhadap isu pengelolaan Tanah Kas Desa (Bengkok).
Sementara itu, di wilayah Papua Pegunungan, konteks pemilihan kepala desa (atau sebutan lokal lainnya seperti Kepala Kampung) seringkali beririsan dengan sistem noken atau musyawarah adat di beberapa wilayah tertentu.
Meskipun secara administratif tunduk pada UU Desa nasional, pendekatan kultural seringkali menjadi kunci. Masa jabatan 8 tahun di wilayah ini diharapkan dapat bersinergi dengan kepemimpinan adat yang biasanya bersifat jangka panjang dan mengutamakan harmoni komunitas.
Perpanjangan waktu ini memberikan kesempatan bagi Kepala Kampung untuk menyelaraskan hukum positif negara dengan hukum adat dalam menyelesaikan sengketa maupun membangun kesejahteraan masyarakat.
Perubahan regulasi masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun maksimal 2 periode melalui UU Desa terbaru adalah langkah strategis pemerintah dalam merespons dinamika di tingkat akar rumput. Kebijakan ini diambil dengan menimbang aspek stabilitas sosial dan efektivitas pembangunan, meski tetap menyisakan tantangan terkait regenerasi kepemimpinan dan pengawasan kinerja.
Bagi masyarakat dan pemilih, poin utamanya bukan sekadar pada berapa lama kepala desa menjabat, melainkan bagaimana waktu tersebut dimanfaatkan. Masa jabatan yang panjang adalah "pedang bermata dua"; ia bisa menjadi sarana menyejahterakan rakyat jika dipegang oleh pemimpin amanah, namun bisa menjadi masalah jika minim pengawasan.
Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa, serta partisipasi aktif dalam musyawarah desa, menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. Mari kita dukung pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kemajuan bersama. (GSP)
Artikel ini disusun oleh Tim Edukasi KPU Provinsi Papua Pegunungan sebagai bagian dari komitmen pendidikan pemilih dan sosialisasi regulasi demokrasi.
***
Gambar yang ditampilkan pada artikel ini dihasilkan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Gambar ini berfungsi semata-mata sebagai ilustrasi visual untuk keperluan thumbnail dan tidak merepresentasikan dokumentasi kejadian nyata, tokoh, atau lokasi yang sebenarnya.