
Politik Uang dalam Pemilu: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Upaya Pencegahannya
Wamena - Fenomena politik uang masih menjadi persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada di Indonesia. Praktik ini tidak hanya merusak sendi demokrasi, tetapi juga menurunkan kualitas partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin bangsa.
Meski telah diatur dalam undang-undang dengan sanksi tegas, praktik politik uang tetap marak terjadi di berbagai daerah.
Untuk memahami persoalan ini lebih dalam, penting melihatnya dari berbagai aspek: pengertian, bentuk, penyebab, hingga strategi pencegahannya.
Apa Itu Politik Uang?
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendefinisikan politik uang sebagai upaya, baik langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih atau penyelenggara pemilihan dengan imbalan tertentu agar memilih atau tidak memilih calon tertentu.
Tujuannya adalah memengaruhi hasil pemilihan dengan cara-cara yang tidak etis dan melanggar hukum.
Praktik politik uang bisa berbentuk pemberian uang tunai (serangan fajar), transfer digital, paket sembako, kupon belanja, hadiah barang, bantuan komunitas atau organisasi, hingga janji proyek dan jabatan. Semua bentuk imbalan yang disertai motif politik termasuk kategori politik uang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan tegas melarang praktik ini. Pasal 73 menyebutkan bahwa calon, tim kampanye, partai politik, maupun pihak lain dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
Pelanggar dapat dikenai pidana penjara 3 hingga 6 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar, bahkan pemilih yang menerima pun dapat dikenakan hukuman yang sama.
Baca juga: Syarat dan Proses Maju Pilkada Jalur Independen 2024, Peluang bagi Pemimpin Nonpartai
Temuan: Politik Uang Masih Dominan di Pemilu
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, mengungkapkan temuan riset yang menunjukkan bahwa 70 hingga 80 persen masyarakat datang ke tempat pemungutan suara (TPS) bukan karena kesadaran politik, tetapi karena politik uang.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada (IPP) oleh KPU RI.
Menurut Bahtiar, tingginya angka politik uang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan dan pendidikan masyarakat.
Data Bank Dunia mencatat sekitar 194 juta penduduk Indonesia masih tergolong miskin, sementara hanya sekitar 6–7 persen penduduk yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
Sebagian besar lainnya lulusan SMP atau bahkan putus sekolah. Kondisi ini menjadikan masyarakat lebih mudah tergoda dengan imbalan uang atau barang menjelang pemilihan.
KPU sendiri melalui IPP membagi partisipasi pemilih menjadi tiga kategori: participatory, engagement, dan involvement. Dari hasil evaluasi Pilkada 2024, sebagian besar provinsi di Indonesia masih berada pada kategori engagement, artinya pemilih hadir ke TPS tetapi belum memiliki kesadaran politik yang mendalam.
Hanya empat provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yang berhasil masuk kategori participatory, di mana pemilih aktif secara substantif dalam demokrasi.
Penyebab Politik Uang Terus Terjadi
Fenomena politik uang tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh aspek politik, hukum, dan budaya.
Menurut Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik UGM, terdapat tiga penyebab utama mengapa politik uang masih terus terjadi:
1. Faktor Politik
Banyak calon legislatif dan kepala daerah yang hanya berorientasi pada kemenangan tanpa menawarkan program atau visi yang jelas.
Partai politik pun seringkali hanya menjadi kendaraan pencalonan, bukan pembentuk kader berintegritas.
2. Faktor Hukum
Lemahnya regulasi dan penegakan hukum membuat pelaku politik uang sulit dijerat. Seringkali hanya pemberi yang dihukum, sementara penerima dibiarkan. Akibatnya, praktik ini terus berulang tanpa efek jera.
3. Faktor Budaya
Dalam kultur masyarakat Indonesia, menolak pemberian dianggap tidak sopan. Sikap timbal balik atau balas budi dimanfaatkan oleh politisi untuk menyamarkan politik uang sebagai “bantuan sosial” atau “sedekah”.
Selain itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyoroti aspek kesejahteraan dan pendidikan. Ia menegaskan bahwa selama 50 persen masyarakat belum sejahtera dan pendidikan masih rendah, politik uang akan sulit dihapus.
Bahkan, uang yang digunakan untuk “serangan fajar” kerap berasal dari praktik korupsi, seperti kasus Bowo Sidik Pangarso pada 2019, di mana uang suap digunakan sebagai amunisi kampanye.
Baca juga: Serangan Fajar Pemilu: Pengertian, Bentuk, Dampak, dan Sanksinya
Dampak Politik Uang bagi Demokrasi
Politik uang berdampak besar terhadap merosotnya kualitas demokrasi. Masyarakat memilih bukan karena ide dan program, tetapi karena imbalan sesaat.
Hal ini melahirkan pemimpin yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, melainkan pada pengembalian “modal politik” setelah terpilih. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme sulit diberantas, dan pembangunan daerah berjalan tidak optimal.
Strategi Mengurangi Politik Uang
Menghapus politik uang memang tidak mudah, tetapi dapat diminimalkan dengan langkah jangka pendek dan panjang.
1. Pendidikan Politik dan Sosialisasi Publik
Edukasi kepada masyarakat harus digencarkan agar memahami bahwa politik uang merugikan jangka panjang.
Program seperti “Hajar Serangan Fajar” oleh KPK, KPU, dan Bawaslu merupakan langkah penting dalam mengubah mindset pemilih.
2. Memperkuat Integritas Partai Politik
Partai politik adalah gerbang utama menuju jabatan publik. Karena itu, perlu dibangun sistem rekrutmen kader yang transparan dan berbasis integritas.
Program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) oleh KPK dapat menjadi model penerapan nilai antikorupsi di tubuh partai.
3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil
Semua pihak yang terlibat, baik pemberi maupun penerima, harus dikenai sanksi sesuai undang-undang.
Transparansi dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu akan mempersempit ruang gerak pelaku politik uang.
4. Peningkatan Kesejahteraan dan Pendidikan
Pemerintah perlu fokus pada pembangunan ekonomi rakyat kecil dan peningkatan kualitas pendidikan, agar masyarakat tidak mudah dipengaruhi oleh iming-iming sesaat.
Politik uang adalah ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. Ia melemahkan partisipasi politik yang sehat dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemilu.
Dengan memperkuat pendidikan politik, menegakkan hukum secara konsisten, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, Indonesia dapat melangkah menuju demokrasi yang bersih, berintegritas, dan berkeadilan. (GSP)