Legitimasi Adalah Dasar Kekuasaan yang Sah: Pengertian dan Jenisnya
Wamena — Istilah legitimasi memiliki peran kunci untuk keberlangsungan kekuasaan yang sah di dalam dunia politik. Secara bahasa, kata legitimasi diambil dari bahasa Latin yaitu legitimus memiliki arti “sah” atau “sesuai hukum”. Arti dari kata ini memiliki makna yang menggambarkan bahwa kekuasaan tidak cukup hanya ditentukan oleh “power”, namun juga memerlukan pengakuan dan penerimaan masyarakat. Pengakuan dan Penerimaan inilah yang diartikan sebagai legitimasi.
Seorang ahli sosiolog asal Jerman, Max Weber menerangkan bahwa legitimasi adalah dasar yang membuat rakyat patuh terhadap kekuasaan dengan sukarela, bukan disebabkan oleh paksaan. Di sisi lain, seorang ilmuwan politik bernama David Easton, menguraikan bahwa legitimasi merupakan bentuk kepercayaan masyarakat bahwa suatu sistem politik dan tindakan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) layak dan pantas untuk ditaati.
Di lapangan, legitimasi menjadi tolok ukur untuk menilai apakah suatu pemerintahan memiliki dukungan moral dan kepercayaan publik dari rakyatnya. Pemerintah yang sah secara hukum belum tentu dianggap sah oleh rakyat. Anggapan tidak sah nya suatu pemerintah sering disebut sebagai sebuah kondisi hilangnya legitimasi sosial. Oleh karena itu, legitimasi bukan sekadar legalitas yang bersifat formalitas belaka, namun merupakan bentuk pengakuan nyata dari masyarakat bahwa kekuasaan dijalankan untuk kepentingan bersama. Tanpa legitimasi, kekuasaan kehilangan dasar untuk dipercayai.
Jenis-Jenis Legitimasi dalam Ilmu Politik
Legitimasi menjadi pondasi utama bagi keberlangsungan kekuasaan di dalam dinamika dunia politik. Max Weber, seorang ahli sosiolog yang berasal dari Jerman mengklasifikasikan legitimasi ke dalam tiga jenis. Klasifikasi legitimasi menurut Weber ini masih relevan digunakan sebagai acuan untuk memahami dasar ketaatan masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan. Tiga jenis legitimasi menurut Weber, antara lain;
- Legitimasi tradisional, adalah legitimasi yang bersumber dari adat, tradisi, dan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam sistem ini, masyarakat mematuhi pemimpin karena dianggap bagian dari warisan leluhur yang telah lama diakui. Contohnya di dalam sistem kerajaan atau sistem adat.
- Legitimasi karismatik, dimana muncul dari daya tarik pribadi, kharisma, dan kemampuan luar biasa dari sosok dan figur seorang pemimpin. Legitimasi karismatik ini memungkinkan masyarakat memberi dukungannya karena keyakinan terhadap figur atau sosok, bukan kepada sistem atau aturan.
- Legitimasi rasional-legal, juga yang menjadi ciri utama dari sistem pemerintahan modern. Kekuasaan dianggap sah karena dijalankan berdasarkan hukum, konstitusi, dan prosedur yang berlaku, termasuk hasil dari pemilu yang demokratis.
Diluar dari tiga jenis legitimasi Weber, terdapat juga legitimasi elektoral yang sering dijumpai pada konteks yang relevan di masa kini. Dimana legitimasi yang diperoleh dari proses pemilihan umum yang jujur dan adil, serta legitimasi moral, yang bersumber dari kepercayaan publik terhadap integritas dan kinerja pemimpin.
Baca juga: Trias Politica: Pondasi Demokrasi Modern yang Menentukan Arah Kekuasaan Negara!
Pentingnya Legitimasi bagi Pemerintah dan Pemimpin
Dalam sistem politik di negara manapun, legitimasi menjadi landasan utama bagi keberlangsungan suatu rezim kekuasaan. Pemerintah yang memiliki legitimasi kuat akan mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari rakyat untuk menjalankan kebijakan. Sebaliknya, jika pemerintah menjalankan pemerintahan tanpa legitimasi, maka kekuasaan yang dimiliki pemerintah akan rapuh dan mudah diguncang oleh krisis politik maupun sosial.
Legitimasi bukan hanya soal kekuasaan yang dimiliki, tetapi tentang pengakuan rakyat terhadap cara kekuasaan itu dijalankan. Ketika masyarakat percaya bahwa pemerintah bekerja untuk kepentingan publik, menegakkan hukum, dan menjaga keadilan, maka legitimasi tumbuh dengan sendirinya. Namun, jika kepercayaan publik memudar, pemerintah kehilangan pijakan moral dan politik untuk bertindak.
Di dalam konteks demokrasi Indonesia sendiri, sumber utama legitimasi berasal dari pemilihan umum (pemilu) yang menjunjung tinggi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. Pemilu bukan sekadar ajang memilih pemimpin, tetapi juga sarana rakyat memberikan mandat dan kepercayaan kepada calon yang dipilih. Oleh karena itu, tiap-tiap tahapan pemilu, mulai dari pendaftaran peserta pemilu hingga penghitungan suara harus dijalankan secara terbuka dan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Contoh Legitimasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
Setiap lembaga dan pejabat publik memperoleh legitimasi melalui proses yang sah, baik lewat pemilu maupun melalui dasar hukum yang mengatur kewenangannya, contohnya di Indonesia;
- Presiden, wakil presiden, Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah mendapatkan legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Hasil pemilu ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap figur atau sosok yang dinilai oleh masyarakat yang memilihnya mampu memimpin dan membawa perubahan bagi daerah maupun negara.
- DPR dan DPD memperoleh legitimasi dari suara rakyat yang mereka wakili, menjadikan setiap keputusan politik dari mereka sebagai wakil rakyat memiliki dasar dukungan demokratis.
- KPU, Bawaslu, dan lembaga peradilan memperoleh legitimasi dari konstitusi dan undang-undang, serta dari kepercayaan publik terhadap integritas dan kinerjanya. Keberhasilan mereka menjaga proses demokrasi yang adil dan transparan menjadi wujud nyata legitimasi moral dan kelembagaan.
Lebih dari sekadar kekuasaan yang sah, legitimasi mencerminkan tanggung jawab dan kepercayaan rakyat. Di situlah letak hakikat pemerintahan yang demokratis dimana kekuasaan yang dijalankan bukan untuk kepentingan segelintir orang, melainkan untuk kesejahteraan seluruh warga negara.
Baca juga: Kolaborasi Saksi, KPU, dan Bawaslu: Menjaga Integritas Hasil Pemilu