Artikel

Sejarah Pengawasan Pemilu: Dari Orde Baru hingga Pengawasan Partisipatif

Wamena - Pengawasan pemilu merupakan instrumen fundamental dalam sistem demokrasi untuk memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung jujur, adil, transparan, dan akuntabel. Dalam praktiknya, pengawasan pemilu bertujuan menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, manipulasi suara, dan pelanggaran administrasi yang dapat merusak legitimasi hasil pemilu.

Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, pengawasan dilakukan oleh lembaga resmi seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum, lembaga ad hoc pada masa sebelumnya, serta keterlibatan elemen masyarakat sipil. Pengawasan pemilu juga menjadi bagian penting dalam checks and balances, agar kompetisi politik tetap sehat dan peserta pemilu berada dalam koridor hukum yang sama.

Pengawasan Pemilu pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pengawasan pemilu bersifat terbatas dan tidak sepenuhnya independen. Pemilu yang diselenggarakan selama periode ini lebih menekankan stabilitas politik dan keseragaman, sementara mekanisme kontrol terhadap penyelenggara maupun peserta pemilu tidak berjalan optimal.

Pada era ini, lembaga pengawasan pemilu belum memiliki posisi kuat dan cenderung berada di bawah pengaruh pemerintah. Hal ini menyebabkan proses pemilu berjalan dengan tingkat kompetisi rendah dan minim ruang pengawasan dari masyarakat.

Pembentukan Panwaslu dalam Pemilu 1982–1998

Gagasan awal pembentukan lembaga pengawas pemilu mulai muncul pada Pemilu 1982 melalui hadirnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Lembaga ini dibentuk sebagai upaya untuk memberikan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemilu, namun secara struktural masih bersifat ad hoc dan berada di bawah pemerintah.

Fase 1982–1998 menjadi periode penting karena:

  1. Panwaslu mulai memiliki tugas untuk menangani keberatan dan pelanggaran selama pemilu.
  2. Namun kewenangan yang dimiliki masih sangat terbatas.
  3. Tidak memiliki kemandirian anggaran maupun organisasi.
  4. Struktur pengawasan belum menjangkau seluruh tingkatan daerah secara kuat.

Dengan posisi yang belum independen, efektivitas Panwaslu sering kali diragukan, terlebih karena pemilu di masa tersebut merupakan pemilu tidak kompetitif.

Baca juga: Kolaborasi Saksi, KPU, dan Bawaslu: Menjaga Integritas Hasil Pemilu

Reformasi 1999 dan Penguatan Kelembagaan Pengawasan

Tumbangnya Orde Baru dan lahirnya era Reformasi membawa perubahan besar terhadap pengawasan pemilu. Pada Pemilu 1999, Panwaslu kembali dibentuk tetapi dengan kedudukan yang jauh lebih kuat dibanding periode sebelumnya. Reformasi menuntut adanya pemilu yang lebih demokratis, transparan, dan bebas intervensi politik, sehingga lembaga pengawas pemilu mulai diarahkan menuju institusi mandiri.

Perubahan penting pada fase ini:

  1. Panwaslu diberi ruang lebih luas untuk menindak pelanggaran.
  2. Masyarakat sipil mulai aktif terlibat dalam pemantauan pemilu.
  3. Mekanisme penyelesaian sengketa diperkuat.

Inilah fondasi yang kemudian membawa pada pembentukan lembaga pengawas pemilu permanen di tahun-tahun berikutnya.

Undang-Undang Pemilu dan Evolusi Kewenangan Pengawasan

Lahirnya berbagai Undang‑Undang Pemilu menjadi tonggak penting dalam evolusi pengawasan pemilu. Perubahan UU Pemilu dari tahun ke tahun memperluas wewenang dan struktur kelembagaan pengawasan. Puncaknya adalah pembentukan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga permanen melalui UU No. 22 Tahun 2007 dan diperkuat lagi lewat UU No. 15 Tahun 2011 serta UU No. 7 Tahun 2017.

Beberapa aspek penguatan kewenangan Bawaslu:

  1. Memiliki kewenangan adjudikasi pelanggaran pemilu.
  2. Pengawasan melekat dari tahap perencanaan hingga penetapan hasil.
  3. Kewenangan merekomendasikan dan menindak pelanggaran administrasi dan pidana pemilu.
  4. Struktur organisasi permanen hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan kewenangan yang semakin komprehensif, pengawasan pemilu Indonesia semakin mendekati standar internasional pemilu demokratis.

Baca juga: Jumlah Saksi di TPS: Aturan Resmi KPU dan Pentingnya Pengawasan Demokratis

Pengawasan Partisipatif dan Tantangan Kontemporer

Dalam era modern, pengawasan pemilu tidak hanya mengandalkan lembaga resmi. Model pengawasan partisipatif mulai berkembang melalui keterlibatan:

  1. organisasi masyarakat sipil,
  2. pemantau pemilu independen,
  3. akademisi,
  4. jurnalis,
  5. dan publik secara langsung melalui teknologi digital.

Namun, pengawasan kontemporer juga menghadapi tantangan baru, seperti:

  1. Disinformasi dan misinformasi yang dapat memengaruhi pemilih.
  2. Politik uang yang muncul dalam bentuk lebih canggih.
  3. Polarisasi politik yang membuat proses pengawasan rentan tekanan.
  4. Kecurangan digital, termasuk potensi manipulasi data atau serangan siber.
  5. Ancaman terhadap independensi lembaga pengawas dari tekanan politik.

Meskipun demikian, kombinasi antara lembaga pengawas resmi dan pengawasan partisipatif memberikan harapan bahwa pemilu Indonesia akan tetap berjalan demokratis dan menjaga kepercayaan publik.

Sejarah pengawasan pemilu di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dari sistem yang sangat terbatas pada masa Orde Baru menjadi sistem yang jauh lebih terbuka, kuat, dan independen setelah Reformasi. Penguatan kelembagaan melalui pembentukan Panwaslu hingga hadirnya Bawaslu merupakan langkah penting dalam memastikan proses demokrasi berjalan dengan integritas. Di tengah tantangan kontemporer, kolaborasi antara lembaga pengawas dan masyarakat menjadi kunci menjaga kualitas demokrasi Indonesia di masa depan.

Baca juga: Perbedaan DKPP dan Bawaslu: Tugas, Wewenang, dan Fungsi dalam Penyelenggaraan Pemilu

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 142 kali