Aturan Masa Jabatan Presiden: Ketentuan UUD 1945 dan Isu Terbaru
Kogakma - Dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia, posisi Presiden bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala negara. Besarnya kekuasaan yang melekat pada jabatan ini menuntut adanya pengaturan yang ketat, jelas, dan tegas dalam konstitusi. Salah satu aspek paling krusial dalam pengaturan tersebut adalah mengenai masa jabatan presiden.
Bagi masyarakat di Provinsi Papua Pegunungan dan seluruh rakyat Indonesia, memahami aturan main mengenai durasi kepemimpinan nasional adalah bagian fundamental dari pendidikan politik. Hal ini penting agar publik tidak mudah terombang-ambing oleh isu, wacana, atau disinformasi yang beredar terkait perpanjangan kekuasaan.
Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif bagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur hal tersebut, sejarah perubahannya, serta dinamika isu terkini yang melingkupinya.
Baca juga: Masa Jabatan Kepala Desa: Aturan, Perubahan, dan Perdebatan Terbaru
Aturan Masa Jabatan Presiden dalam UUD 1945
Landasan hukum tertinggi di Indonesia, yakni UUD 1945, telah memberikan mandat yang sangat spesifik mengenai durasi jabatan presiden. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama.
Bunyi pasal tersebut adalah:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Dari bunyi pasal di atas, terdapat dua poin kunci yang menjadi pilar demokrasi Indonesia saat ini:
- Durasi Tetap: Satu periode masa jabatan presiden ditetapkan secara pasti selama 5 (lima) tahun.
- Pembatasan Periode: Seseorang hanya boleh menjabat sebagai Presiden maksimal 2 (dua) periode, baik berturut-turut maupun tidak. Artinya, total waktu maksimal seseorang dapat menjadi Presiden Republik Indonesia adalah 10 tahun.
Ketentuan ini bersifat mengikat dan final (selama tidak ada amandemen lanjutan). Aturan ini menutup celah tafsir yang memungkinkan seseorang menjabat lebih dari dua kali, demi menjaga sirkulasi kepemimpinan nasional yang sehat.
Sejarah Masa Jabatan Presiden Sebelum dan Sesudah Amandemen
Untuk menghargai ketegasan aturan saat ini, kita perlu menengok sejarah perjalanan bangsa. Pengaturan masa jabatan presiden di Indonesia mengalami evolusi yang signifikan, yang menjadi cerminan dari proses pendewasaan demokrasi kita.
Era Orde Lama dan Orde Baru (Sebelum Amandemen)
Naskah asli UUD 1945 sebelum diamandemen memiliki bunyi Pasal 7 yang cukup singkat dan multitafsir:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Frasa "dapat dipilih kembali" tanpa adanya klausul pembatasan "hanya untuk satu kali masa jabatan" menjadi celah hukum yang besar di masa lalu.
- Era Orde Lama: Ketidakpastian ini bahkan sempat melahirkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Hal ini jelas menyimpang dari semangat demokrasi, meskipun kemudian ketetapan ini dicabut.
- Era Orde Baru: Presiden Soeharto memanfaatkan tafsir "dapat dipilih kembali" tersebut untuk menjabat selama 32 tahun (7 kali pemilihan oleh MPR). Meskipun secara prosedural pemilihan dilakukan setiap 5 tahun, tidak adanya pembatasan periode membuat kekuasaan menumpuk pada satu figur, yang berujung pada praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta otoritarianisme.
Era Reformasi (Sesudah Amandemen)
Belajar dari pengalaman sejarah tersebut, agenda utama Reformasi 1998 adalah pembatasan kekuasaan eksekutif. Melalui Sidang Umum MPR tahun 1999, dilakukanlah Perubahan Pertama terhadap UUD 1945.
Fokus utamanya adalah merevisi Pasal 7 untuk membatasi kekuasaan presiden secara tegas menjadi maksimal dua periode. Ini adalah tonggak sejarah yang mengubah wajah politik Indonesia menjadi lebih demokratis hingga hari ini.
Baca juga: Pedro Lascurain: Presiden dengan Masa Jabatan Tersingkat di Dunia, Hanya 45 Menit!
Mengapa Masa Jabatan Presiden Dibatasi Dua Periode?
Pembatasan masa jabatan presiden bukan sekadar angka, melainkan sebuah mekanisme pertahanan demokrasi. Ada beberapa alasan filosofis dan sosiologis mengapa pembatasan ini mutlak diperlukan:
- Mencegah Absolutisme Kekuasaan: Seorang sejarawan Inggris, Lord Acton, pernah menjabarkan adagium terkenal: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak pastilah korup). Semakin lama seseorang memegang kekuasaan, semakin besar kecenderungan untuk menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi atau golongan. Pembatasan periode adalah "rem" untuk mencegah hal ini.
- Menjamin Regenerasi Kepemimpinan: Bangsa Indonesia memiliki banyak putra-putri terbaik. Pembatasan jabatan memastikan terjadinya sirkulasi elit politik. Hal ini membuka peluang bagi gagasan-gagasan baru dan inovasi kepemimpinan yang segar, serta mencegah negara bergantung hanya pada satu sosok figur.
- Penguatan Demokrasi dan Check and Balances: Dengan adanya batasan waktu yang jelas, presiden petahana akan bekerja seoptimal mungkin untuk meninggalkan warisan (legacy) yang baik dalam waktu yang terbatas. Selain itu, ini mencegah terbentuknya kultus individu yang dapat melemahkan institusi-institusi negara lainnya seperti legislatif dan yudikatif.
Perdebatan Seputar Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Meskipun konstitusi sudah mengatur dengan tegas, diskursus mengenai perpanjangan masa jabatan presiden atau wacana "presiden 3 periode" sempat mencuat ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir. Isu ini menjadi ujian bagi kedewasaan berkonstitusi masyarakat Indonesia.
Beberapa argumen yang sempat dilontarkan oleh pengusul wacana ini antara lain adalah alasan kesinambungan pembangunan, pemulihan ekonomi pasca-pandemi, hingga tingginya tingkat kepuasan publik terhadap petahana. Ada pula usulan penundaan pemilu yang secara tidak langsung akan memperpanjang masa jabatan presiden.
Namun, wacana ini menuai penolakan keras dari mayoritas pakar hukum tata negara, aktivis demokrasi, dan elemen masyarakat sipil. Argumen penolakannya sangat mendasar:
- Melanggar Konstitusi: Mewujudkan wacana ini memerlukan amandemen UUD 1945 yang berisiko membuka "kotak pandora" perubahan pasal-pasal lain yang tidak perlu.
- Pengkhianatan Reformasi: Semangat Reformasi 1998 adalah membatasi kekuasaan. Memperpanjang masa jabatan dianggap sebagai langkah mundur ke masa kelam otoritarianisme.
- Preseden Buruk: Jika aturan main diubah hanya karena alasan pragmatis atau ketokohan seseorang, maka hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan alat kekuasaan.
Sikap resmi lembaga negara, termasuk KPU, tetap berpegang teguh pada konstitusi yang berlaku saat ini, yaitu pemilu dilaksanakan lima tahun sekali dan presiden menjabat maksimal dua periode.
Perbandingan Masa Jabatan Presiden di Berbagai Negara
Untuk memperkaya wawasan, menarik untuk melihat bagaimana negara lain mengatur masa jabatan presiden mereka. Indonesia tidak sendirian dalam menerapkan pembatasan ini.
- Amerika Serikat: Negara ini adalah salah satu kiblat sistem presidensial. Melalui Amandemen ke-22 Konstitusi AS (diratifikasi tahun 1951), masa jabatan Presiden AS dibatasi maksimal dua kali masa bakti (2 x 4 tahun). Aturan ini lahir setelah Presiden Franklin D. Roosevelt menjabat hingga empat periode.
- Filipina: Tetangga kita di ASEAN ini memiliki aturan yang lebih ketat. Presiden Filipina hanya boleh menjabat selama satu kali masa jabatan selama 6 tahun, tanpa peluang untuk dipilih kembali (no reelection). Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya kediktatoran era Ferdinand Marcos.
- Prancis: Presiden menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali (mirip dengan Indonesia).
- Rusia dan Tiongkok: Berbeda dengan negara demokrasi liberal, Rusia pernah melakukan "tukar guling" jabatan antara Presiden dan Perdana Menteri untuk memperpanjang kekuasaan, dan kemudian mengamandemen konstitusi. Tiongkok bahkan menghapus batas masa jabatan presiden pada tahun 2018, yang memungkinkan presiden menjabat seumur hidup.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa negara-negara yang menjunjung tinggi demokrasi cenderung membatasi masa jabatan pemimpin eksekutifnya secara ketat.
Baca juga: Memahami Jabatan Fungsional ASN: Arti, Jenis, dan Mekanisme Kenaikan Pangkat
Dampak Pembatasan Masa Jabatan terhadap Demokrasi
Penerapan Pasal 7 UUD 1945 secara konsisten telah membawa dampak positif bagi iklim demokrasi di Indonesia, termasuk di Papua Pegunungan.
- Stabilitas Politik Jangka Panjang: Meskipun sering terjadi kegaduhan menjelang pemilu, adanya kepastian bahwa kekuasaan akan berganti mencegah terjadinya revolusi atau pergolakan berdarah yang sering terjadi pada negara dengan pemimpin otoriter yang enggan turun tahta.
- Pendidikan Politik Rakyat: Rakyat menjadi sadar bahwa kedaulatan ada di tangan mereka. Setiap lima tahun, rakyat memiliki kuasa penuh untuk mengevaluasi, mempertahankan, atau mengganti pemimpinnya.
- Institusionalisasi Partai Politik: Pembatasan masa jabatan memaksa partai politik untuk terus melakukan kaderisasi. Partai tidak bisa selamanya berlindung di balik popularitas satu tokoh, melainkan harus menyiapkan pemimpin-pemimpin baru.
Aturan mengenai masa jabatan presiden dalam UUD 1945 adalah benteng terakhir demokrasi Indonesia. Pembatasan maksimal dua periode (2 x 5 tahun) adalah harga mati yang lahir dari sejarah panjang dan pengalaman pahit penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu.
Isu atau wacana mengenai perpanjangan masa jabatan adalah bagian dari dinamika negara demokrasi yang wajar sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Namun, sebagai negara hukum (rechtstaat), segala tindakan penyelenggaraan negara harus tunduk pada konstitusi. Hingga saat ini, tidak ada perubahan konstitusi yang menganulir Pasal 7 UUD 1945.
Bagi masyarakat Papua Pegunungan dan seluruh pemilih Indonesia, pemahaman ini penting untuk menjaga nalar kritis. Mari kita rawat demokrasi ini dengan berpartisipasi aktif dalam Pemilu, mengawasi jalannya pemerintahan, dan memastikan konstitusi tetap tegak sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergantian kepemimpinan adalah keniscayaan, namun keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah yang utama.
Artikel ini disusun oleh Tim Edukasi KPU Provinsi Papua Pegunungan sebagai bagian dari komitmen pendidikan pemilih dan sosialisasi regulasi demokrasi.
Referensi:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Naskah Asli dan Perubahan).
- Asshiddiqie, Jimly. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
- Website Resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.