Bolehkah Presiden Kampanye? Ini Aturan Lengkapnya
Wamena - Menjelang pesta demokrasi, suhu politik nasional kerap memanas. Berbagai manuver dan pernyataan tokoh publik menjadi sorotan, termasuk tindakan seorang Presiden. Salah satu pertanyaan paling mendasar dan sering muncul di benak masyarakat adalah: apakah presiden boleh kampanye?
Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan awam, melainkan wujud kepedulian publik terhadap netralitas kekuasaan eksekutif dalam kontestasi pemilihan umum. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sekaligus kepala negara, posisi Presiden sangatlah strategis dan memiliki pengaruh yang besar.
Untuk menjawab pertanyaan ini secara jernih dan akurat, kita harus merujuk pada landasan hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Artikel ini akan mengupas tuntas aturan main mengenai keterlibatan Presiden dalam kampanye, membedah hak politiknya, serta batasan-batasan ketat yang wajib dipatuhi demi menjaga integritas pemilu.
Baca juga: Situasi Darurat: Presiden Bisa Panggil Menteri yang Sedang Kampanye?
Apakah Presiden Boleh Kampanye? Dasar Hukumnya
Jawaban singkat atas pertanyaan apakah presiden boleh kampanye adalah: Ya, boleh. Namun, jawaban ini harus segera diikuti dengan catatan tebal: dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat.
Secara hukum, UU Pemilu tidak melarang seorang Presiden untuk terlibat dalam kegiatan kampanye. Ketentuan ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 299 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017, yang berbunyi:
"Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye."
Hak ini diberikan mengingat Presiden dan Wakil Presiden juga merupakan jabatan politik yang umumnya diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun, pelaksanaan hak ini tidak boleh dilakukan secara serampangan. Undang-undang yang sama juga mengatur mekanisme dan batasan agar kekuasaan yang melekat pada jabatan tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan elektoral semata.
Presiden sebagai Warga Negara: Hak Politiknya
Penting untuk dipahami bahwa seorang Presiden memiliki dua kapasitas yang melekat pada dirinya secara bersamaan. Pertama, kapasitas sebagai pejabat negara (Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan). Kedua, kapasitas sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak politik.
Hak untuk berkampanye yang diatur dalam Pasal 299 UU Pemilu tersebut merupakan manifestasi dari hak politik Presiden sebagai warga negara. Sebagai individu yang mungkin berafiliasi dengan partai politik tertentu, atau bahkan berstatus sebagai petahana yang mencalonkan diri kembali, Presiden memiliki kepentingan politik yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang untuk diekspresikan melalui kampanye.
Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana memisahkan kedua kapasitas ini agar tidak tumpang tindih saat tahapan pemilu berlangsung. Di sinilah rambu-rambu hukum berperan vital.
Batasan Presiden Saat Melakukan Kampanye
Meskipun diperbolehkan, UU Pemilu memberikan pagar pembatas yang tegas agar "gelanggang" kompetisi tetap adil. Syarat mutlak bagi Presiden (dan juga pejabat negara lainnya seperti Menteri) untuk dapat berkampanye diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu.
Pasal tersebut menegaskan bahwa Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan:
- Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Poin kedua mengenai "cuti di luar tanggungan negara" sangat krusial. Artinya, saat Presiden memutuskan untuk turun gunung berkampanye bagi dirinya sendiri atau peserta pemilu lain, ia harus menanggalkan atribut kepresidenannya untuk sementara waktu dan tidak boleh membebani anggaran negara untuk kegiatan politik tersebut.
Baca juga: Siapa yang Mengurus Daerah Saat Kepala Daerah Ikut Kampanye Pemilu?
Aturan Fasilitas Negara: Apa yang Boleh dan Tidak Boleh
Definisi "fasilitas negara" yang dilarang digunakan saat Presiden berkampanye sering menjadi area abu-abu yang memicu perdebatan. Untuk memperjelas hal ini, UU Pemilu merincinya dalam Pasal 304.
Fasilitas negara yang dilarang keras digunakan selama kampanye meliputi:
- Sarana mobilitas seperti kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai.
- Gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan.
- Sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah daerah, dan peralatan lainnya.
- Fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau APBD.
Namun, ada pengecualian penting yang diatur dalam Pasal 305. Pengecualian ini berkaitan dengan fasilitas pengamanan dan kesehatan. Sebagai simbol negara dan pemegang kekuasaan tertinggi, keselamatan Presiden adalah prioritas keamanan nasional.
Oleh karena itu, fasilitas pengamanan (seperti Pasukan Pengamanan Presiden/Paspampres) dan protokol kesehatan standar tetap melekat pada Presiden meskipun sedang dalam status cuti kampanye. Penggunaan fasilitas pengamanan ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran penggunaan fasilitas negara.
Peran KPU dan Bawaslu dalam Mengawasi Kampanye Pejabat Negara
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU bertugas menyusun peraturan teknis (PKPU) yang menjabarkan pelaksanaan kampanye, termasuk tata cara cuti bagi pejabat negara. KPU memastikan bahwa jadwal dan metode kampanye yang dilakukan oleh Presiden—jika memilih untuk berkampanye—sesuai dengan regulasi.
Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memegang peran kunci dalam pengawasan. Bawaslu bertugas memastikan bahwa syarat-syarat dalam Pasal 281 (cuti dan non-fasilitas negara) benar-benar dipatuhi.
Jika ada indikasi Presiden melakukan kampanye terselubung saat kunjungan kerja dinas, atau menggunakan fasilitas negara di luar ketentuan pengamanan, Bawaslu memiliki wewenang untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Contoh Praktik Presiden Kampanye di Pemilu Terdahulu
Praktik Presiden ikut berkampanye bukanlah hal baru dalam sejarah pemilu modern Indonesia pasca-reformasi. Pada Pemilu 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, mengambil cuti untuk menjadi juru kampanye nasional partainya di beberapa daerah.
Hal ini dilakukan dengan mengajukan cuti resmi dan mematuhi protokol yang ada. Pada Pemilu 2019, Presiden Joko Widodo sebagai petahana juga melakukan kampanye.
Statusnya sebagai kandidat membuatnya secara otomatis terlibat dalam kegiatan kampanye, yang tentu saja harus dilakukan dengan mematuhi aturan cuti dan pembatasan fasilitas negara di luar standar pengamanan.
Baca juga: Aturan Pejabat Negara Saat Kampanye: Dari Wajib Cuti hingga Larangan Menggunakan Fasilitas Negara
Risiko dan Polemik: Netralitas Kekuasaan Eksekutif
Meskipun secara legal formal UU Pemilu menjawab "ya" untuk pertanyaan apakah presiden boleh kampanye, pada praktiknya isu ini selalu memantik polemik etis.
Risiko terbesar adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang bersifat halus. Sangat sulit memisahkan secara sempurna antara kunjungan kerja sebagai Kepala Pemerintahan dengan kegiatan yang bermuatan politis, terutama jika dilakukan pada masa kampanye.
Ada kekhawatiran bahwa program-program pemerintah dapat "ditunggangi" untuk keuntungan elektoral calon tertentu yang didukung Presiden.
Selain itu, keterlibatan aktif Presiden dalam kampanye juga dikhawatirkan dapat mempengaruhi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri. Meskipun undang-undang menuntut ASN/TNI/Polri bersikap netral, sikap politik terbuka dari "panglima tertinggi" mereka dapat menimbulkan tekanan psikologis atau sinyal hirarkis yang tersamar di birokrasi.
Berdasarkan telaah terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dapat disimpulkan bahwa Presiden memiliki hak konstitusional untuk ikut serta dalam kampanye pemilu.
Namun, hak ini bukanlah cek kosong. Pelaksanaannya dibatasi oleh pagar hukum yang ketat, yakni kewajiban cuti di luar tanggungan negara dan larangan penggunaan fasilitas negara, kecuali yang menyangkut standar pengamanan dan kesehatan.
Bagi masyarakat, memahami aturan ini sangat penting untuk melakukan pengawasan partisipatif. Kita perlu cermat membedakan kapan seorang Presiden bertindak sebagai Kepala Negara, dan kapan ia bertindak sebagai aktor politik yang sedang menggunakan hak kampanyenya. Kepatuhan seorang pemimpin negara terhadap aturan main ini adalah ujian penting bagi kualitas demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
Referensi Hukum:
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (khususnya Pasal 281, 299, 304, dan 305).