
Menimbang Ulang Ambang Batas: Antara Stabilitas dan Keterbukaan Politik
Wamena - Isu ambang batas parlemen dan pencalonan presiden (threshold) kembali menjadi perdebatan dalam pembahasan revisi UU Pemilu 2029. Di satu sisi, sistem ini dianggap mampu menjaga stabilitas pemerintahan, namun di sisi lain dinilai dapat membatasi keterwakilan politik dan partisipasi rakyat secara luas.
Baca juga: Kilas Balik Pemilu 2019: Fakta, Keunikan, dan Momen Bersejarah Pesta Demokrasi Indonesia
1. Ambang Batas dan Tujuan Awalnya
Konsep threshold pertama kali diterapkan untuk menyaring partai politik agar parlemen tidak terfragmentasi. Dengan ambang batas parlemen, hanya partai yang memperoleh persentase suara tertentu yang berhak duduk di DPR. Begitu pula presidential threshold, yang mensyaratkan dukungan minimal dari partai atau gabungan partai untuk mengusung calon presiden.
Kedua mekanisme ini dirancang untuk menciptakan efisiensi politik dan stabilitas pemerintahan, dengan asumsi bahwa semakin sedikit partai di parlemen, maka semakin mudah membangun koalisi dan merumuskan kebijakan nasional.
2. Dampak Positif: Stabilitas dan Efektivitas Pemerintahan
Dari sisi positif, penerapan ambang batas diyakini dapat memperkuat sistem presidensial. Threshold mendorong terbentuknya partai-partai yang solid dan mencegah fragmentasi suara yang berlebihan di parlemen.
Dengan berkurangnya jumlah partai di DPR, proses legislasi dan pembentukan pemerintahan menjadi lebih efisien. Koalisi pemerintahan pun relatif stabil karena hanya partai dengan basis suara kuat yang berperan dalam menentukan arah kebijakan.
Selain itu, presidential threshold juga dianggap dapat menyaring calon presiden yang benar-benar memiliki dukungan politik kuat dan basis elektoral yang jelas, sehingga mengurangi risiko munculnya calon tanpa legitimasi.
3. Dampak Negatif: Keterbatasan Representasi Politik
Namun di sisi lain, ambang batas juga menimbulkan dilema demokrasi. Banyak pihak menilai bahwa penerapan threshold tinggi justru menghambat representasi politik, terutama bagi partai-partai kecil yang membawa isu atau ideologi tertentu.
Dalam konteks presidential threshold, ketentuan yang mensyaratkan partai atau koalisi besar dapat mengusung calon presiden dinilai membatasi hak politik rakyat untuk mendapatkan lebih banyak pilihan calon. Akibatnya, kompetisi demokratis berpotensi berkurang dan kualitas demokrasi bisa stagnan.
Di daerah-daerah dengan keragaman sosial tinggi seperti Papua Pegunungan, sistem ini juga dapat berdampak pada minimnya representasi politik lokal di tingkat nasional.
Baca juga: Jejak Demokrasi Papua: Dari Pepera 1969 ke Pemilu 1971
4. Arah Revisi UU Pemilu 2029: Mencari Titik Keseimbangan
Dalam wacana revisi UU Pemilu 2029, banyak pihak mendorong peninjauan kembali besaran threshold baik untuk parlemen maupun pencalonan presiden. Tujuannya adalah menemukan titik seimbang antara stabilitas pemerintahan dan keterbukaan politik.
Pendekatan alternatif seperti penurunan ambang batas, atau penerapan model bertahap berbasis perolehan kursi daerah, mulai dibicarakan. Prinsipnya, revisi tidak semata soal teknis perhitungan suara, melainkan soal masa depan kualitas demokrasi Indonesia yang inklusif dan representatif.
5. Penutup: Demokrasi yang Stabil dan Terbuka
Penerapan threshold sejatinya bukan hanya urusan angka, melainkan strategi menjaga keseimbangan antara stabilitas sistem politik dan hak representasi rakyat. Revisi UU Pemilu 2029 menjadi momentum penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya kuat di struktur, tetapi juga adil dan terbuka bagi semua elemen bangsa.
Dengan dialog terbuka dan partisipasi publik, revisi undang-undang ini diharapkan menghasilkan sistem yang lebih adaptif, transparan, dan mencerminkan semangat konstitusi.
Baca juga: Demokrasi Terpimpin di Indonesia: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Sejarahnya
Sumber:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Materi Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI tentang Revisi UU Pemilu, September 2025.