
Demokrasi Terpimpin di Indonesia: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Sejarahnya
Papua Pegunungan - Pada masa dahulu Indonesia pernah menggunakan Demokrasi Terpimpin, lalu apa itu Demokrasi Terpimpin? Bagai mana ciri dan sejarahnya?
Setelah masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959, Indonesia kembali mengalami perubahan sistem politik besar melalui penerapan Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Sistem ini diberlakukan sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan bertahan hingga tahun 1966.
Periode ini menjadi salah satu fase penting dalam sejarah politik Indonesia, di mana kekuasaan negara berpusat pada figur pemimpin nasional.
Demokrasi Terpimpin dimaksudkan untuk menstabilkan kondisi politik yang sempat tidak menentu akibat perbedaan pandangan di antara partai-partai politik pada masa Demokrasi Liberal.
Baca juga: Sejarah Golput di Indonesia: Asal Usul, Penyebab, dan Dampaknya terhadap Demokrasi
Pengertian Demokrasi Terpimpin
Menurut Yayuk Nuryanto dalam buku Cakap Berdemokrasi Ala Generasi Milenial (2018), Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang proses pengambilan keputusan dan kebijakannya berpusat pada satu orang, yakni pemimpin negara.
Sementara itu, Suarlin dan Fatmawati dalam Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (2022) menyebutkan bahwa sistem ini menempatkan pemimpin sebagai pusat kekuasaan politik dan arah kebijakan nasional.
Secara historis, gagasan Demokrasi Terpimpin pertama kali disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang Konstituante pada 10 November 1956. Ide ini kemudian diresmikan secara konstitusional setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi:
- Pembubaran Konstituante,
- Berlaku kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950,
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit ini menjadi tonggak lahirnya masa Demokrasi Terpimpin sekaligus berakhirnya masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
Tujuan dan Latar Belakang Munculnya Demokrasi Terpimpin
Penerapan Demokrasi Terpimpin dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Liberal.
Konstituante gagal menyusun undang-undang dasar yang baru, sementara pergantian kabinet yang terlalu sering menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif.
Melalui konsep Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno berupaya memulihkan stabilitas politik dan memperkuat persatuan nasional dengan menjadikan pemimpin sebagai pusat koordinasi politik, ekonomi, dan sosial.
Awalnya, sistem ini dimaksudkan sebagai wujud dari prinsip “demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Namun, seiring waktu, maknanya bergeser menjadi demokrasi yang sangat terpusat pada kekuasaan Presiden.
Baca juga: Demokrasi Pancasila: Pengertian, Ciri, Aspek, Prinsip, dan Penerapannya di Indonesia
Ciri-Ciri Demokrasi Terpimpin
Dalam pelaksanaannya, Demokrasi Terpimpin memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari sistem demokrasi lainnya. Berikut beberapa ciri utama yang menggambarkan praktik politik pada periode 1959–1966:
1. Dominasi Kekuasaan di Tangan Presiden
Pada masa ini, Presiden Soekarno memegang kekuasaan tertinggi atas lembaga-lembaga negara.
Kedudukan MPRS dan lembaga legislatif berada di bawah kendali presiden. Bahkan, MPRS pernah menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
Kondisi ini menunjukkan tidak adanya keseimbangan kekuasaan (check and balance) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
2. Pembatasan Hak Politik Rakyat
Kebebasan politik rakyat mulai dibatasi. Salah satu contohnya adalah pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian digantikan oleh DPR Gotong Royong (DPR-GR) dengan anggota yang diangkat langsung oleh presiden.
Selain itu, pembubaran partai politik dan pembatasan organisasi kemasyarakatan dilakukan dengan alasan menjaga stabilitas nasional.
3. Dominasi Partai Tertentu dan Politik Ideologi
Dalam sistem ini, muncul Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan.
Presiden Soekarno membentuk Front Nasional, yang menjadi wadah bagi PKI untuk memperluas pengaruhnya.
Kondisi ini menggeser peran partai-partai lain dan menciptakan ketidakseimbangan dalam politik nasional.
4. Peran Ganda Militer (Dwifungsi ABRI)
Militer memiliki peran penting dalam pemerintahan, tidak hanya di bidang pertahanan, tetapi juga dalam urusan politik dan pemerintahan.
Presiden Soekarno menempatkan diri sebagai Panglima Tertinggi TNI, dan menerapkan konsep balance of power antara militer dan partai politik.
Peran militer yang semakin luas ini dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, yang kelak menjadi ciri khas politik Indonesia pada masa-masa berikutnya.
Baca juga: Demokrasi Parlementer: Pengertian, Ciri, Aspek, Prinsip, dan Penerapannya di Era Modern
5. Politik Luar Negeri Poros “Oldefo-Nefo”
Dalam bidang politik luar negeri, Indonesia meninggalkan prinsip bebas-aktif dan menggantinya dengan politik poros dunia yang membagi kekuatan global menjadi dua:
- Oldefo (Old Established Forces): negara-negara kapitalis dan kolonialis seperti Amerika Serikat dan sekutunya,
- Nefo (New Emerging Forces): negara-negara berkembang dan anti-imperialis.
Indonesia memperkuat hubungan dengan negara-negara Nefo seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Uni Soviet. Salah satu wujud nyata kebijakan ini adalah penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta pada tahun 1963.
Namun, arah politik luar negeri tersebut juga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat dan konflik diplomatik, terutama dengan Malaysia melalui Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tahun 1964.
Dampak dan Akhir dari Demokrasi Terpimpin
Walaupun awalnya dimaksudkan untuk memperkuat persatuan nasional, praktik Demokrasi Terpimpin justru menyebabkan konsentrasi kekuasaan pada satu tangan, mengurangi fungsi lembaga legislatif, dan membatasi partisipasi rakyat dalam politik.
Ketegangan politik dan meningkatnya pengaruh PKI menimbulkan konflik internal yang memuncak pada peristiwa G30S tahun 1965, yang akhirnya menandai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin.
Setelah itu, Indonesia memasuki era baru, yaitu masa Demokrasi Pancasila di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Demokrasi Terpimpin merupakan fase penting dalam perjalanan politik Indonesia. Sistem ini lahir dari keinginan untuk menata kembali kehidupan politik yang kacau pada masa Demokrasi Liberal, namun dalam praktiknya justru menimbulkan konsentrasi kekuasaan pada satu figur.
Dari periode ini, bangsa Indonesia belajar bahwa keseimbangan kekuasaan, partisipasi rakyat, dan penghormatan terhadap hukum adalah elemen penting dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkeadilan. (GSP)