
MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Ini Alasan dan Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia
Papua Pegunungan - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan penting yang akan mengubah wajah demokrasi Indonesia ke depan. Dalam sidang pada Kamis, 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dipisah pelaksanaannya.
Putusan ini dituangkan dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025, dan bersifat final serta mengikat.
Langkah ini menandai perubahan besar terhadap sistem pemilu serentak lima kotak suara yang selama ini dijalankan sejak 2019.
MK menilai bahwa penyelenggaraan pemilu secara bersamaan justru menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari beban kerja berat bagi penyelenggara, penurunan kualitas pemilih, hingga fokus politik yang terpecah.
Latar Belakang Putusan MK
Dalam penjelasannya, MK menilai bahwa sistem pemilu serentak memang bertujuan untuk efisiensi, tetapi dalam praktiknya justru menimbulkan banyak kendala.
Dengan lima surat suara — presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota — para pemilih sering kali mengalami kebingungan dan kelelahan di bilik suara.
Situasi tersebut juga berdampak pada tingkat kesalahan pencoblosan, tingginya angka surat suara tidak sah, serta beban berat bagi petugas TPS dan KPU.
Oleh sebab itu, MK menilai pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah adalah langkah logis untuk menyederhanakan proses pemilihan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi.
Alasan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
1. Menyederhanakan Proses Pemilu
Selama beberapa kali pemilu serentak sebelumnya, baik pemilih maupun petugas menghadapi tantangan besar. Lima surat suara dengan pilihan yang berbeda membuat waktu pencoblosan menjadi lama dan rumit.
Menurut MK, pemisahan pemilu akan membuat proses lebih efisien. Pemilih dapat lebih fokus memberikan suara tanpa tekanan waktu, sementara penyelenggara dapat bekerja lebih tertib dan terukur.
2. Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Dengan adanya jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah, masyarakat memiliki kesempatan untuk menilai kinerja pejabat nasional terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan di tingkat daerah.
Hal ini juga mendorong partai politik untuk lebih selektif dalam mengusung calon. Pemilihan kandidat tidak lagi semata-mata berdasarkan popularitas, tetapi juga kualitas, rekam jejak, dan integritas.
MK berharap sistem ini akan melahirkan pemimpin daerah yang lebih berkompeten dan tidak sekadar “efek ekor jas” dari pemilu nasional.
3. Mengurangi Beban Penyelenggara Pemilu
KPU menyambut positif putusan MK ini. Dalam beberapa pemilu terakhir, beban kerja penyelenggara sangat berat karena harus mempersiapkan logistik dan mengelola lima jenis pemilihan sekaligus.
Dengan sistem baru, tahapan pemilu dapat difokuskan secara bergiliran antara tingkat nasional dan daerah. Ini akan mengurangi risiko kelelahan, kesalahan teknis, dan meningkatkan akurasi data pemilih.
Rincian Teknis dan Jadwal Baru Pemilu
Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa Pemilu Nasional (presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (Pilkada, DPRD) harus dipisah dengan jarak waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan pejabat nasional.
Artinya, model lima kotak suara tidak akan digunakan lagi di tempat pemungutan suara (TPS). Proses pencoblosan akan menjadi lebih cepat dan jelas karena hanya berfokus pada satu jenis pemilihan dalam satu waktu.
Sebagai ilustrasi, Pemilu Nasional berikutnya akan digelar pada tahun 2029, sementara Pilkada dan Pemilu DPRD dijadwalkan pada tahun 2031.
Selain itu, masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 berpotensi diperpanjang hingga pelaksanaan pemilu daerah berikutnya, guna menjaga kesinambungan pemerintahan daerah. (GSP)