Kenapa TNI dan Polri Tidak Boleh Mencoblos? Ini Alasan Hukumnya!
Wamena, Papua Pegunungan — Setiap kali pemilu digelar, jutaan rakyat Indonesia berbondong-bondong ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya.
Namun, ada dua institusi besar negara yang justru tidak ikut mencoblos: Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Bukan karena mereka bukan warga negara, melainkan karena ada aturan hukum tegas yang mewajibkan keduanya bersikap netral dan menjauh dari politik praktis — demi menjaga profesionalisme dan stabilitas negara.
Netral Demi Demokrasi: TNI dan Polri Tak Bisa Ikut Memilih
Netralitas adalah prinsip utama bagi TNI dan Polri. Sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, dua institusi ini memikul tanggung jawab besar memastikan pemilu berjalan aman, tertib, dan bebas dari tekanan politik. Karena posisi strategis tersebut, undang-undang secara tegas melarang anggota TNI dan Polri ikut kegiatan politik, termasuk mencoblos.
Aturan itu diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang menegaskan bahwa prajurit dan anggota kepolisian wajib bersikap netral serta tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Baca juga: Jenderal Oerip Sumohardjo: Peletak Dasar Profesionalisme TNI dan Teladan Demokrasi Indonesia
Rincian Aturan Hukum Netralitas TNI dan Polri
Larangan keterlibatan politik bagi TNI dan Polri dijabarkan secara rinci dalam dua pasal utama:
- Pasal 39 UU TNI menyebutkan bahwa prajurit dilarang:
- Menjadi anggota partai politik,
- Terlibat dalam kegiatan politik praktis,
- Melakukan kegiatan bisnis, dan
- Mencalonkan diri atau dipilih untuk jabatan politis.
Tujuannya jelas: agar TNI tetap fokus pada tugas pertahanan negara dan tidak terjebak kepentingan politik atau ekonomi.
- Pasal 28 UU Polri juga menegaskan hal serupa:
- Polri harus bersikap netral dan tidak ikut politik praktis,
- Anggotanya tidak menggunakan hak memilih dan dipilih,
- Dan baru bisa menjabat di luar kepolisian setelah pensiun atau mengundurkan diri.
Dengan aturan tersebut, anggota Polri aktif tidak memiliki hak politik selama berdinas. Tujuannya agar mereka dapat menjaga keamanan pemilu tanpa keberpihakan.
Dua pasal ini menjadi fondasi hukum kuat mengapa TNI dan Polri wajib menjaga jarak dari politik praktis. Netralitas mereka adalah pilar keadilan dan kepercayaan publik dalam setiap pemilu.
Diperkuat oleh UU Pemilu dan Aturan KPU
Tak hanya diatur dalam UU TNI dan UU Polri, larangan bagi TNI dan Polri untuk ikut mencoblos juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 200 disebutkan secara jelas:
“Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
Ketentuan ini memperkuat prinsip netralitas yang sudah diatur dalam undang-undang sektoral sebelumnya. Dengan begitu, posisi TNI dan Polri dalam pemilu benar-benar berada di luar arena politik — bukan sebagai peserta, melainkan penjaga agar prosesnya tetap aman dan adil.
Selain itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022 Pasal 4 huruf (f) juga menegaskan hal yang sama. Dalam aturan tersebut disebutkan:
“Warga Negara Indonesia dapat terdaftar sebagai pemilih apabila tidak sedang menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Artinya, anggota aktif TNI dan Polri tidak dapat didaftarkan sebagai pemilih.
Aturan ini menegaskan bahwa netralitas mereka bukan hanya bentuk komitmen moral, tetapi juga kewajiban hukum yang memiliki dasar kuat — mulai dari undang-undang hingga peraturan teknis penyelenggara pemilu.
Kenapa Dulu TNI dan Polri Pernah Punya Hak Pilih?
Menariknya, sebelum reformasi 1998, TNI dan Polri — yang saat itu masih tergabung dalam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) — justru punya hak politik.
Mereka tidak hanya ikut memilih, tetapi juga memiliki kursi di parlemen tanpa pemilu.
Kondisi itu lahir dari konsep “Dwi Fungsi ABRI”, yaitu peran militer di bidang pertahanan sekaligus sosial-politik. Namun, sistem ini perlahan dianggap menghambat demokrasi karena militer terlalu kuat dalam pemerintahan sipil.
Reformasi 1998 mengubah arah sejarah. Melalui Ketetapan MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, TNI dan Polri dipisahkan dan dilarang berpolitik. Sejak Pemilu 2004, larangan ini berlaku penuh — menandai era baru di mana militer dan polisi benar-benar netral, sementara politik menjadi urusan rakyat sipil.
Netralitas TNI dan Polri, Benteng Demokrasi yang Harus Dijaga
Netralitas TNI dan Polri bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi komitmen moral untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. Dengan tidak ikut memilih atau dipilih, mereka memastikan rakyat bisa menggunakan hak suaranya dengan bebas tanpa tekanan.
Dalam setiap pemilu, TNI dan Polri berada di garis depan — bukan sebagai peserta politik, tapi sebagai penjaga proses demokrasi. Sikap netral ini menjadi pondasi agar pemilu berlangsung aman, transparan, dan berintegritas.
Larangan mencoblos bagi TNI dan Polri bukanlah pengurangan hak, melainkan bentuk pengabdian.
Ketika rakyat menunaikan hak pilihnya di bilik suara, aparat keamanan berdiri di luar — memastikan suara rakyat tetap utuh, terlindungi, dan bermakna bagi masa depan Indonesia.
Baca juga: DPTb dan DPK: Cara Pemilih Perantau Tetap Bisa Memilih