Bolehkah ODGJ Memilih di Pemilu Ini Penjelasan dan Dasar Hukumnya
Lanny Jaya - Isu mengenai hak pilih Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam pemilu masih sering menimbulkan perdebatan di masyarakat. Sebagian orang mempertanyakan, apakah mereka yang mengalami gangguan kejiwaan memiliki kapasitas yang sama untuk menyalurkan suara dalam pesta demokrasi.
Namun, hingga kini, dasar hukum yang berlaku di Indonesia tetap menegaskan: ODGJ memiliki hak pilih sepanjang tidak mengalami gangguan permanen yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan secara sadar.
Apa Itu ODGJ dan Dasar Hukumnya
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, ODGJ adalah individu yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang ditandai oleh perubahan signifikan dalam fungsi mental maupun sosial.
Kondisi ini bisa bersifat sementara maupun permanen, tergantung tingkat keparahan dan penanganan medisnya.
Dalam konteks hukum, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” Artinya, ODGJ sebagai warga negara tetap memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam pemilihan umum.
Baca juga: Daftar 50 Istilah dalam Pemilu dan Artinya
Perubahan Pandangan Hukum terhadap Hak Pilih ODGJ
Sebelum 2019, aturan pemilu masih mencantumkan syarat bahwa pemilih harus “tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya.” Syarat ini sering kali menjadi alasan untuk mengecualikan ODGJ dari daftar pemilih tetap (DPT).
Namun, melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2019, frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. MK menegaskan bahwa yang dimaksud “terganggu jiwa atau ingatan” adalah gangguan permanen yang membuat seseorang tidak mampu menggunakan hak pilihnya secara sadar.
Dengan kata lain, selama ODGJ masih mampu berkomunikasi dan memahami haknya sebagai warga negara, maka mereka tetap berhak untuk memilih dalam pemilu.
Putusan ini menjadi tonggak penting bagi inklusi politik penyandang disabilitas mental di Indonesia.
KPU kemudian mengacu pada putusan MK tersebut untuk tetap mendata ODGJ sebagai pemilih dalam setiap penyelenggaraan pemilu, termasuk Pilkada dan Pemilu 2024.
Landasan Hukum Lain yang Menjamin Hak Pilih ODGJ
Selain UUD 1945 dan putusan MK, beberapa regulasi lain juga memperkuat jaminan hak politik ODGJ:
1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 43 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
2. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Menegaskan bahwa penderita gangguan jiwa memiliki hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan sebagai warga negara, kecuali bila peraturan perundang-undangan menentukan lain.
3. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Pasal 13 mengatur bahwa penyandang disabilitas, termasuk disabilitas mental, berhak untuk memilih, dipilih, menyalurkan aspirasi politik, bergabung dalam partai politik, serta mendapatkan aksesibilitas dan pendidikan politik yang memadai.
Ketiga undang-undang ini memperjelas bahwa negara berkewajiban melindungi dan memfasilitasi hak politik ODGJ, bukan justru membatasi mereka.
Baca juga: Keanekaragaman Suku di Papua Pegunungan
Pelaksanaan di Lapangan dan Tantangannya
Meski secara hukum ODGJ memiliki hak pilih, penerapannya di lapangan masih menghadapi tantangan. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2019 dan 2024, tidak semua ODGJ yang terdaftar dapat menggunakan hak pilihnya.
Banyak di antara mereka tidak hadir di TPS karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan atau keterbatasan pendampingan dari keluarga dan lembaga sosial.
Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Bismar Arianto, menilai bahwa perlu ada batasan yang jelas antara ODGJ ringan dan berat. “Mereka yang masih memiliki kesadaran dan dapat berinteraksi secara sosial berhak memilih.
Namun bagi ODGJ dengan gangguan berat, hak pilih sebaiknya disesuaikan agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain,” ujarnya dikutip dari Antaranews.com.
KPU dan Upaya Inklusif untuk Pemilih ODGJ
Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berupaya agar penyandang disabilitas mental tidak terpinggirkan dalam proses demokrasi.
Melalui kerja sama dengan dinas sosial, rumah sakit jiwa, dan organisasi disabilitas, KPU melakukan pendataan dan sosialisasi untuk memastikan ODGJ terdaftar dan mendapat hak pilihnya.
Selain itu, petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga diberikan pelatihan agar dapat melayani pemilih ODGJ dengan pendekatan yang manusiawi, menghormati privasi, dan tanpa diskriminasi.
Pendampingan keluarga atau pihak medis juga diizinkan sepanjang tidak memengaruhi pilihan politik pemilih.
Semua Warga Negara Berhak Memilih
Dari berbagai dasar hukum dan perkembangan kebijakan, jelas bahwa setiap warga negara, termasuk ODGJ, memiliki hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Selama mereka tidak dalam kondisi gangguan permanen yang menghilangkan kesadaran penuh, hak tersebut harus dijamin dan difasilitasi oleh negara.
Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap suara dihargai dan setiap warga negara memiliki ruang untuk menentukan masa depan bangsa—tanpa terkecuali, termasuk bagi mereka yang hidup dengan gangguan jiwa. (GSP)