
Fakta Pemilu Dunia yang Jarang Diketahui, dari Digital hingga Wajib Pilih
Nduga - Pesta demokrasi Pemilu 2024 telah usai, mengukuhkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang dan membuktikan semangat partisipasi tinggi rakyat Indonesia. Namun, setiap negara memiliki cerita, aturan, dan keunikan tersendiri dalam menyelenggarakan pesta rakyat ini.
Mulai dari hari pemungutan suara yang berbeda-beda, sistem wajib pilih, hingga teknologi voting yang futuristik, berikut adalah sepuluh fakta menarik pemilu dunia yang jarang diketahui.
Di berbagai belahan dunia, penyelenggaraan pemilu juga memiliki cerita dan keunikan tersendiri.
Baca juga: Pengertian Politik Dinasti: Dampak dan Regulasi
Fakta Menarik tentang Pemilu di Seluruh Dunia
Yuk, simak sepuluh fakta menarik tentang pemilu di seluruh dunia berikut ini, yang dikutip dari laman Mental Floss.
1. Hari Pemilu yang Berbeda di Tiap Negara
Di Amerika Serikat, pemilu biasanya digelar pada hari Selasa. Tradisi ini berawal dari abad ke-19, ketika sebagian besar warga bekerja sebagai petani.
Mereka membutuhkan waktu perjalanan menuju tempat pemungutan suara dan tidak bisa melakukannya di hari Rabu karena bertepatan dengan hari pasar.
Sementara itu, Kanada memilih hari Senin untuk menggelar pemilu, Inggris pada hari Kamis, dan Australia serta Selandia Baru memilih hari Sabtu. Indonesia sendiri melaksanakan pemilu pada hari Rabu, tepatnya 14 Februari 2024.
2. India, Negara dengan Pemilu Terlama
Sebagai negara demokrasi terbesar dengan ratusan juta pemilih, India membutuhkan waktu yang panjang untuk menyelenggarakan pemilu.
Pada pemilu 2019, proses pemungutan suara dilakukan dalam tujuh tahap selama lima minggu untuk memilih 543 anggota parlemen.
Jumlah pemilih yang sangat besar membuat penyelenggaraan pemilu di India menjadi salah satu yang paling kompleks di dunia.
3. Wajib Ikut Pemilu di Australia
Di Australia, setiap warga berusia 18 tahun ke atas diwajibkan ikut serta dalam pemilu federal. Siapa pun yang tidak hadir di hari pemilihan akan dikenai denda sebesar AU$20 atau sekitar Rp200 ribu.
Jika denda tersebut tidak dibayar, pelanggar dapat dikenai sanksi tambahan, bahkan berujung pada tuntutan hukum.
Baca juga: 10 Negara Demokrasi Terbesar di Dunia, Indonesia Masuk Tiga Besar
4. Pemilu Digital di Estonia
Sejak 2005, Estonia sudah menerapkan sistem pemungutan suara secara online. Dalam pemilu parlemen 2023, lebih dari separuh warga Estonia menggunakan metode digital ini.
Negara tersebut memanfaatkan teknologi identitas digital yang dilengkapi dengan kartu dan PIN yang bisa dipindai, sehingga warga dapat menggunakannya untuk berbagai urusan sipil seperti membayar pajak hingga denda.
Meski berbasis digital, sistem pemilihan tetap aman karena dienkripsi, menjaga kerahasiaan setiap pemilih.
5. Sistem Pemilu Otoriter di Korea Utara
Korea Utara dikenal dengan sistem pemerintahan yang sangat terpusat. Meski secara formal tetap menyelenggarakan pemilu, warga sejatinya tidak memiliki banyak pilihan.
Dalam pemilu lokal 2015, 99,7 persen warga memberikan suara untuk kandidat yang sudah ditentukan oleh partai berkuasa.
Proses pemungutan suaranya pun unik—pemilih hanya memasukkan kartu suara ke dalam kotak.
Ada kotak terpisah bagi mereka yang tidak setuju, namun suara tersebut biasanya tidak dihitung. Akibatnya, kandidat yang maju hampir selalu memperoleh 100 persen suara.
Baca juga: KPU Kabupaten Mamberamo Tengah Laksanakan Survei Kepuasan Masyarakat: Indeks Kepuasan Capai 78,21
6. Raja Inggris Boleh Memilih
Secara hukum, Raja Charles III memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilu Inggris. Namun, tradisi kerajaan membuatnya jarang dilakukan.
Mendiang Ratu Elizabeth II, misalnya, memilih untuk tidak berpartisipasi agar tetap netral secara politik.
Saat isu Brexit mencuat pada 2016, Istana Buckingham menegaskan bahwa keluarga kerajaan berada di atas urusan politik dan tidak ikut serta dalam pemilihan umum.
7. Tantangan Literasi di Gambia
Di Gambia, sistem pemungutan suara dilakukan dengan cara yang unik—bukan menggunakan kertas suara, melainkan kelereng.
Setiap pemilih menjatuhkan kelereng ke dalam drum logam yang telah diwarnai dan menampilkan foto kandidat.
Setiap drum memiliki bel kecil yang akan berbunyi ketika kelereng dijatuhkan. Jika bel berbunyi lebih dari satu kali, petugas akan tahu ada indikasi pelanggaran.
Cara ini digunakan karena tingkat literasi masyarakat Gambia masih rendah, sehingga pemerintah mencari metode yang lebih mudah dan inklusif untuk memastikan semua warga dapat berpartisipasi.
8. Suara dari Luar Angkasa
Sejak tahun 1997, astronot asal Amerika Serikat yang sedang bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional tetap dapat menyalurkan hak pilihnya.
Hal ini dimungkinkan berkat undang-undang yang disahkan di Texas, yang mengatur mekanisme pengiriman suara secara aman ke luar angkasa.
Setelah memilih, surat suara terenkripsi dikirim kembali ke Bumi untuk dibuka oleh petugas pemilu, kemudian dihitung bersama suara lainnya.
Dengan demikian, bahkan dari luar angkasa, para astronot tetap bisa ikut menentukan arah demokrasi negaranya.
Baca juga: Kilas Balik Pemilu 2019: Fakta, Keunikan, dan Momen Bersejarah Pesta Demokrasi Indonesia
9. Pemilu di Negara Kecil Eropa
Di Liechtenstein, sebuah kerajaan kecil di Eropa dengan populasi sekitar 40 ribu jiwa, isu kewarganegaraan sering kali menjadi bahan pertimbangan politik.
Warga yang telah tinggal lebih dari satu dekade kerap berharap agar calon pemimpin yang mereka pilih bersedia memberikan status kewarganegaraan bagi mereka.
Dengan skala negara yang kecil, keputusan politik di Liechtenstein memiliki dampak langsung terhadap kehidupan warganya.
10. Kisah Lucu dari Pemilu Ekuador
Sebuah kejadian unik terjadi di Ekuador pada pemilihan wali kota tahun 1967. Menjelang hari pemungutan suara, sebuah perusahaan lokal memasang iklan produk bedak kaki dengan slogan bertema “pilih merek terbaik.”
Tak disangka, pesan promosi itu justru disalahartikan sebagian pemilih. Akibatnya, banyak surat suara mencantumkan nama merek bedak kaki tersebut—hingga akhirnya “produk” itu memenangkan lebih banyak suara dibanding kandidat politik sebenarnya.
Itulah beberapa fakta menarik seputar pemilu di berbagai negara. Setiap negara memiliki cara dan aturan unik dalam menjalankan pesta demokrasinya, tetapi tujuannya tetap sama: memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa mereka. (GSP)