Bansos: Membantu atau Melestarikan Kemiskinan?
Wamena — Bantuan sosial (bansos) telah lama menjadi instrumen penting pemerintah dalam melindungi masyarakat miskin dan rentan. Melalui program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan BLT, negara berupaya memenuhi amanat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Namun, muncul pertanyaan besas apakah bansos benar-benar mengangkat masyarakat dari kemiskinan, atau justru menumbuhkan ketergantungan jangka panjang? Menurut data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan berbagai lembaga riset ekonomi, penyaluran bansos memang menjaga daya beli masyarakat, tetapi belum signifikan menurunkan angka kemiskinan secara berkelanjutan. Banyak penerima bantuan tidak mengalami peningkatan produktivitas, karena program masih berorientasi pada konsumsi, bukan pemberdayaan.
Kasih Ikannya atau Ajarkan Memancing?
Inilah yang disebut paradoks bansos ketika bantuan yang dimaksudkan untuk menolong, justru membuat masyarakat “nyaman” dalam ketergantungan. Filosofi lama mengatakan “Jangan kasih ikannya, tapi kasih kailnya.” Dalam konteks kebijakan sosial, artinya negara perlu mengubah pendekatan dari memberi bantuan langsung menjadi membangun kapasitas masyarakat.
Secara hukum, dasar pelaksanaan bansos diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, serta berbagai peraturan turunan dari Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan. Regulasi ini menegaskan bahwa bansos harus tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya tantangan seperti data penerima yang belum mutakhir, tumpang-tindih program, serta lemahnya evaluasi terhadap dampak pemberdayaan. Akibatnya, bansos sering berhenti pada penyaluran, bukan pada pengentasan.
Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan bansos agar lebih progresif bukan sekadar memberi, tetapi mengarahkan penerima agar naik kelas ekonomi. Paradoks bansos bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga isu keadilan sosial dan efektivitas hukum. Jika regulasi dan implementasi tidak diarahkan pada pemberdayaan, maka bansos bisa kehilangan esensinya dari alat kebaikan menjadi simbol ketergantungan. Pada akhirnya, bantuan sosial tetaplah penting. Tapi lebih penting lagi memastikan bahwa setiap bantuan menjadi titik awal kemandirian, bukan garis akhir ketergantungan.
Baca juga: Kebebasan Pers vs Batas Hukum: Ketika Fakta Menyinggung, Siapa yang Harus Mengalah?
-Ande Prima Idola-