Referendum: Pengertian, Jenis, Tujuan, dan Relevansinya dalam Demokrasi Modern
Kobagma - Referendum merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan penting negara.
Tidak seperti pemilu yang memilih calon pemimpin atau wakil rakyat, referendum berfokus pada satu isu, kebijakan, atau perubahan aturan yang membutuhkan persetujuan masyarakat secara langsung. Dalam konteks demokrasi modern, referendum sering dianggap sebagai wujud nyata dari kedaulatan rakyat.
Apa Itu Referendum?
Secara etimologis, kata referendum berasal dari bahasa Latin referre yang berarti “membawa kembali”. Artinya, suatu keputusan atau kebijakan dibawa kembali kepada rakyat untuk diminta persetujuan.
Menurut Encyclopaedia Britannica, referendum adalah proses pemungutan suara di mana warga suatu negara, kota, atau daerah menyetujui atau menolak kebijakan atau peraturan tertentu.
Rendy Adiwilaga dkk. dalam buku Sistem Pemerintahan Indonesia (2018) menjelaskan bahwa referendum merupakan kegiatan politik ketika rakyat diberi kesempatan untuk memutuskan setuju atau menolak sebuah kebijakan yang diajukan oleh parlemen.
Dengan kata lain, referendum adalah bentuk partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan publik yang berdampak luas.
Baca juga: Demokrasi Perwakilan dan Sistem Referendum: Memadukan Kedaulatan Rakyat dalam Pemerintahan Modern
Macam-Macam Referendum
Menurut Wahyu Widodo dkk. (2015), referendum dibagi menjadi tiga jenis utama:
- Referendum Wajib
Jenis referendum ini dilakukan untuk menentukan apakah suatu peraturan atau perubahan konstitusi penting dapat disetujui oleh rakyat. Kebijakan baru hanya bisa diberlakukan jika memperoleh persetujuan mayoritas pemilih. - Referendum Tidak Wajib (Opsional)
Referendum ini dilakukan apabila ada permintaan dari rakyat untuk meninjau suatu rancangan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Jika tidak ada permintaan dari rakyat, kebijakan tersebut bisa langsung disahkan tanpa referendum. - Referendum Konsultatif
Digunakan ketika pemerintah ingin meminta pandangan masyarakat terhadap isu yang bersifat teknis atau kompleks. Hasilnya tidak selalu mengikat, karena tetap memerlukan pertimbangan ahli sebelum ditetapkan.
Selain itu, referendum juga bisa dibedakan dari sifat hukumnya: mengikat (binding) dan penasihat (advisory). Referendum mengikat berarti hasilnya wajib dilaksanakan, sedangkan referendum penasihat hanya memberikan arahan atau masukan kepada pemerintah.
Tujuan dan Fungsi Referendum
Referendum memiliki sejumlah tujuan penting dalam sistem demokrasi, antara lain:
- Memberikan legitimasi rakyat terhadap keputusan negara.
Kebijakan yang disetujui rakyat memiliki kekuatan moral dan politik yang lebih kuat. - Menjamin partisipasi langsung masyarakat.
Rakyat tidak hanya memilih wakil, tetapi juga ikut menentukan arah kebijakan penting negara. - Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Pemerintah harus terbuka dalam menjelaskan isu yang akan diputuskan melalui referendum. - Menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan.
Referendum mencegah dominasi elit politik dalam mengambil keputusan besar tanpa persetujuan rakyat.
Baca juga: Demokrasi di Papua, Harmoni antara Musyawarah Adat, Sistem Noken, dan Nilai Kebersamaan
Kelebihan dan Kekurangan Referendum
Kelebihan:
- Memberikan legitimasi kuat terhadap keputusan negara
- Memperkuat partisipasi rakyat dalam politik
- Meningkatkan kesadaran politik masyarakat
Kekurangan:
- Biaya pelaksanaan tinggi dan membutuhkan logistik besar
- Potensi manipulasi opini publik melalui kampanye atau media
- Tidak semua masyarakat memahami isu teknis yang dipilih
Studi Kasus Singkat: Brexit dan Pelajaran dari Implementasinya
Contoh paling dikenal adalah Brexit (Inggris, 2016). Pada 23 Juni 2016, pemilih Inggris memilih keluar dari Uni Eropa dengan selisih tipis (Leave 51.9% vs Remain 48.1%).
Hasil referendum memicu gelombang konsekuensi politik dan ekonomi: proses hukum keluarnya Inggris melalui Article 50 UE, perdebatan panjang di parlemen tentang implementasi, dampak pasar keuangan jangka pendek, serta perpecahan sosial-politik yang intens.
Kasus ini menonjolkan beberapa pelajaran: referendum dapat menyampaikan kehendak rakyat, tetapi tanpa perencanaan implementasi, tata kelola transisi, dan kejelasan hukum, hasilnya dapat menimbulkan ketidakpastian dan konflik antara mandat populer dan kewajiban lembaga perwakilan.
Selain Brexit, negara seperti Swiss sering menggunakan referendum/inisiatif rakyat sebagai bagian dari budaya politiknya (mis. inisiatif konstitusional), sedangkan beberapa negara bagian AS dan beberapa negara Eropa mengkombinasikan berbagai tipe referendum untuk isu lokal dan nasional.
E-Voting: Peluang dan Tantangan dalam Era Digital
Era digital membuka jalan bagi potensi e-voting (internet voting) yang dapat menurunkan biaya logistik, meningkatkan akses bagi diaspora, dan mempercepat hasil.
Contoh paling sering dikutip adalah Estonia, yang sejak 2005 mengizinkan i-voting pada beberapa pemilu nasional dan Eropa—menunjukkan peningkatan partisipasi kelompok tertentu dan kenyamanan bagi pemilih di luar negeri. Namun e-voting bukan tanpa risiko: keamanan siber, kerahasiaan suara, verifikasi identitas, transparansi perangkat lunak, dan kerawanan terhadap disinformasi menjadi tantangan utama.
Studi dan laporan (mis. laporan Parlemen Eropa tentang e-voting) menekankan perlunya kerangka hukum yang ketat, audit independen, verifiability (bukti suara), dan uji coba terbatas sebelum adopsi skala besar.
Peluang: perluasan inklusi (pemilih diaspora, penyandang disabilitas), efisiensi administrasi, integrasi quick-count dan transparansi hasil.
Tantangan: ancaman peretasan, ketimpangan akses digital, kepercayaan publik, serta kebutuhan akan audit berbasis bukti (end-to-end verifiability).
Beberapa inisiatif partisipasi digital lain—seperti platform konsultasi publik online dan e-petisi—dapat melengkapi referendum formal dengan memberi ruang dialog yang lebih terinformasi sebelum pemungutan suara.
Baca juga: Konsep Demokrasi: Pengertian, Ciri, Jenis, dan Unsur Pendukungnya untuk Masyarakat Umum
Mengapa UU Referendum di Indonesia Dicabut?
Secara historis, Indonesia pernah mengatur referendum melalui UU No. 5 Tahun 1985 (tentang referendum untuk perubahan UUD). Namun, pada era reformasi proses ini dibatalkan: TAP MPR No. VIII/MPR/1998 dan kemudian UU No. 6 Tahun 1999 mencabut UU 1985. Alasan pencabutan dapat diringkas sebagai berikut:
- Keselarasan dengan Konstitusi — Pengambil keputusan selama reformasi menilai ketentuan referendum tidak sesuai dengan prinsip dasar UUD 1945 mengenai sistem perwakilan; konstitusi RI tidak mengatur mekanisme referendum nasional sebagai jalan perubahan UUD.
- Kekhawatiran Politik & Stabilitas — Pada masa transisi, ada kekhawatiran bahwa referendum bisa dipakai untuk tujuan politis yang memecah belah atau mengancam stabilitas nasional.
- Kerangka Hukum dan Implementasi — Praktisnya, pelaksanaan referendum nasional memerlukan aturan teknis, proteksi hak minoritas, dan jaminan prosedural yang belum matang sehingga legislator memilih jalan penghapusan ketentuan itu dari tata hukum formal.
Catatan: wacana tentang mekanisme partisipasi langsung masih muncul dalam diskusi politik Indonesia, khususnya pada isu otonomi daerah dan amandemen konstitusi—tetapi setiap gagasan perlu dikaji dari sisi legal, politik, dan sosial.
Referendum adalah alat demokrasi langsung yang kuat—memberi suara rakyat kewenangan langsung atas isu vital. Namun kekuatan itu memerlukan desain hukum yang matang, mekanisme implementasi yang jelas, proteksi hak minoritas, serta—di era digital—jaringan keamanan siber dan keadilan akses jika e-voting dipertimbangkan.
Studi kasus seperti Brexit dan pengalaman negara yang menguji e-voting (Estonia, Swiss) memberi pelajaran penting: partisipasi publik harus dipadukan dengan tata kelola yang mampu mengubah suara menjadi kebijakan yang adil dan berkelanjutan. (GSP)