Bedah Aturan: Evolusi Kapasitas TPS dari Pemilukada 2010 ke Pemilu 2024 dan Dampaknya bagi Papua Pegunungan
Oksibil - Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia adalah organisme yang hidup; ia terus tumbuh, belajar, dan beradaptasi dari pengalaman masa lalu. Setiap perubahan regulasi yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada dasarnya adalah upaya korektif untuk menyempurnakan sistem demokrasi kita agar semakin mendekati prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (LUBER JURDIL).
Bagi KPU Provinsi Papua Pegunungan, memahami sejarah perubahan aturan ini sangat penting. Bukan sekadar untuk nostalgia, melainkan sebagai pijakan untuk memahami filosofi di balik aturan yang berlaku saat ini.
Salah satu perubahan paling kasat mata dan berdampak signifikan pada teknis di lapangan adalah mengenai batas maksimal jumlah pemilih dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Jika kita menengok arsip regulasi satu dekade silam dan membandingkannya dengan Pemilu 2024, terlihat jurang perbedaan yang mencolok terkait kapasitas TPS. Artikel ini akan membedah evolusi aturan tersebut—dari era "TPS Gemuk" di tahun 2010 menuju era "TPS Ramping" saat ini—serta implikasinya terhadap beban kerja penyelenggara dan kualitas pelayanan pemilih di wilayah Papua Pegunungan.
Kilas Balik 2010: Era "TPS Gemuk" dengan 600 Pemilih
Mari kita membuka kembali lembaran sejarah melalui dokumen Panduan KPPS Pemilukada terbitan tahun 2010. Dokumen ini menjadi saksi bisu bagaimana pemilu dikelola pada masa itu. Salah satu poin krusial yang tercantum dalam panduan teknis tersebut adalah mengenai jumlah pemilih.
Diatur bahwa jumlah pemilih untuk setiap TPS ditetapkan paling banyak 600 (enam ratus) orang. Angka ini, jika dilihat dengan kacamata hari ini, tergolong sangat besar.
Filosofi di Balik Aturan Lama: Pada masa itu, pendekatan efisiensi anggaran dan logistik mungkin menjadi salah satu pertimbangan utama. Dengan menampung lebih banyak pemilih dalam satu TPS, jumlah total TPS yang harus didirikan menjadi lebih sedikit. Hal ini secara teoritis menyederhanakan distribusi logistik dan perekrutan petugas.
Implikasi di Lapangan: Namun, kapasitas 600 orang menciptakan tekanan luar biasa pada hari pemungutan suara.
- Antrean Panjang: Melayani 600 orang dalam rentang waktu pukul 07.00 hingga 13.00 (hanya 6 jam) berarti KPPS harus melayani rata-rata 100 pemilih per jam, atau hampir 2 pemilih setiap menit tanpa henti. Ini menciptakan antrean yang mengular dan potensi ketidaknyamanan bagi pemilih.
- Beban Penghitungan Suara: Dengan 600 surat suara (dikalikan jumlah jenis pemilihan), proses penghitungan suara seringkali berlangsung hingga larut malam, bahkan dini hari berikutnya. Kelelahan fisik dan mental petugas KPPS menjadi risiko terbesar yang dapat memengaruhi akurasi pencatatan.
Baca juga: Jangan Asal Protes! Ini Daftar Hak dan Larangan Saksi Peserta Pemilu di TPS
Pergeseran Paradigma: Menuju "TPS Ramping" di Pemilu 2024
Belajar dari evaluasi pemilu-pemilu sebelumnya—terutama pengalaman pahit Pemilu 2019 di mana banyak petugas yang kelelahan ekstrem—KPU melakukan perubahan mendasar.
Regulasi terbaru, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan diturunkan dalam Peraturan KPU (PKPU) untuk Pemilu 2024, mengubah drastis batas maksimal pemilih.
Saat ini, jumlah pemilih per TPS dibatasi paling banyak 300 (tiga ratus) orang untuk Pemilu (Pileg dan Pilpres).
Filosofi Aturan Baru: Kualitas di Atas Kuantitas Perubahan dari 600 menjadi 300 ini bukan sekadar perubahan angka, melainkan pergeseran paradigma. Fokus KPU bergeser dari efisiensi jumlah TPS menjadi kualitas pelayanan pemilih dan kesejahteraan petugas.
- Pelayanan Lebih Humanis: Dengan beban pemilih yang berkurang separuhnya, KPPS memiliki waktu lebih untuk melayani setiap pemilih dengan cermat, termasuk memberikan perhatian khusus pada pemilih lansia dan disabilitas.
- Akurasi dan Kesehatan Petugas: Jumlah surat suara yang lebih sedikit membuat proses penghitungan suara dapat diselesaikan lebih cepat dan akurat, sebelum petugas mencapai titik kelelahan yang membahayakan kesehatan.
Dampak pada Beban Kerja KPPS di Fase Persiapan
Evolusi aturan kapasitas TPS ini berdampak langsung pada ritme kerja penyelenggara di tingkat paling bawah, bahkan sebelum hari-H tiba. Hal ini terasa signifikan saat pelaksanaan tugas KPPS sebelum hari pemungutan suara.
Dengan jumlah pemilih yang lebih "ramping" (maksimal 300), berikut adalah perubahan beban kerja di fase persiapan:
- Distribusi C6 Lebih Terkelola: Salah satu tugas KPPS sebelum hari pemungutan suara yang paling menantang adalah membagikan Surat Pemberitahuan (Formulir C6). Di era 2010, satu tim KPPS harus menjangkau hingga 600 orang. Saat ini, beban tersebut terbagi. Meskipun jumlah total pemilih tetap sama, namun pembagian tugas menjadi lebih realistis untuk diselesaikan tepat waktu.
- Penyiapan Lokasi TPS: Menyiapkan TPS untuk menampung sirkulasi 300 orang tentu berbeda dengan 600 orang. KPPS saat ini dapat merancang tata letak (layout) TPS yang lebih lega, memastikan alur masuk-keluar yang lebih teratur, dan menyediakan ruang tunggu yang lebih nyaman tanpa harus berdesak-desakan parah seperti di era "TPS gemuk".
Baca juga: Begini Proses Penghitungan Suara Pemilu 2024 di TPS
Kontekstualisasi bagi Papua Pegunungan
Bagi Provinsi Papua Pegunungan, perubahan aturan ini memiliki dua sisi mata uang yang harus dikelola dengan bijak oleh KPU Daerah.
Sisi Positif (Aksesibilitas): Pembatasan 300 pemilih berarti jumlah TPS akan bertambah banyak dan lokasinya akan semakin menyebar mendekati pemukiman penduduk.
Di wilayah dengan topografi pegunungan yang ekstrem, ini adalah kabar baik. Pemilih di kampung-kampung terpencil tidak perlu lagi berjalan kaki terlalu jauh menuruni atau mendaki bukit untuk mencapai TPS yang dipusatkan di satu titik ramai (seperti model TPS 600 pemilih). Pemilu menjadi lebih dekat dengan rakyat.
Tantangan (Logistik dan SDM): Di sisi lain, bertambahnya jumlah TPS berarti bertambah pula kebutuhan logistik yang harus didistribusikan dan jumlah SDM KPPS yang harus direkrut dan dilatih. Bagi KPU Papua Pegunungan, ini berarti kerja ekstra dalam manajemen distribusi logistik yang seringkali harus menggunakan moda transportasi udara atau jalan kaki di medan yang sulit.
Perbandingan antara aturan kapasitas TPS tahun 2010 dan aturan saat ini menunjukkan komitmen kuat KPU untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi prosedural di Indonesia.
Perubahan dari maksimal 600 menjadi sekitar 300 pemilih per TPS adalah langkah maju untuk memanusiakan proses pemilu—baik bagi pemilih maupun bagi petugas KPPS.
Bagi KPU Provinsi Papua Pegunungan, memahami sejarah regulasi ini penting untuk mengapresiasi standar yang berlaku saat ini. Meskipun tantangan geografis tidak pernah mudah, aturan yang lebih ramping ini memberikan peluang untuk melayani pemilih di pegunungan dengan lebih baik, lebih cermat, dan lebih bermartabat. (GSP)
Referensi Hukum dan Sumber:
- Panduan KPPS Pemilukada Tahun 2010 (Dokumen Arsip).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
- Peraturan KPU (PKPU) terkait Penyusunan Daftar Pemilih dan Pemungutan Suara pada Pemilu 2024.
Catatan: Artikel ini disusun oleh Tim Humas KPU Provinsi Papua Pegunungan sebagai bagian dari edukasi publik mengenai sejarah dan perkembangan regulasi kepemiluan.
***
Gambar yang ditampilkan pada artikel ini dihasilkan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Gambar ini berfungsi semata-mata sebagai ilustrasi visual untuk keperluan thumbnail dan tidak merepresentasikan dokumentasi kejadian nyata, tokoh, atau lokasi yang sebenarnya.