Fasisme Adalah: Ciri, Sejarah, dan Dampaknya bagi Dunia
Wamena - Bayangkan sebuah dunia di mana kebebasan berbicara dianggap sebagai kejahatan, perbedaan pendapat dibungkam dengan kekerasan, dan seluruh aspek kehidupan warga negara diatur secara mutlak oleh negara di bawah titah seorang pemimpin tunggal. Tidak ada kotak suara, tidak ada diskusi publik, dan tidak ada hak asasi manusia.
Gambaran kelam ini bukanlah fiksi distopia semata, melainkan realitas sejarah yang pernah mencengkeram dunia pada abad ke-20 di bawah panji ideologi fasisme. Sebagai warga negara yang hidup dalam iklim demokrasi, memahami sejarah kelam ini sangatlah krusial. Mengapa?
Karena fasisme adalah cermin retak yang mengingatkan kita betapa berharganya suara yang kita miliki dalam setiap Pemilihan Umum.
Artikel ini akan mengupas tuntas apa itu fasisme, bagaimana ia lahir, ciri-cirinya yang khas, serta mengapa kita harus terus merawat demokrasi agar benih-benih ideologi ini tidak pernah tumbuh kembali.
Pengertian Fasisme
Secara etimologis, istilah "fasisme" berasal dari bahasa Latin fasces, yang berarti seikat batang kayu yang di tengahnya terdapat kapak. Di zaman Romawi Kuno, fasces adalah simbol otoritas hakim sipil; batang kayu melambangkan persatuan (kekuatan dalam jumlah), dan kapak melambangkan kekuasaan hidup dan mati.
Dalam terminologi ilmu politik modern, fasisme adalah sebuah ideologi politik radikal dan otoriter yang menempatkan kepentingan bangsa atau ras di atas segalanya (ultra-nasionalisme), bahkan di atas hak-hak individu.
Paham ini menolak konsep demokrasi liberal, sosialisme, dan komunisme. Inti dari fasisme adalah kepatuhan total kepada pemimpin karismatik yang dianggap sebagai penjelmaan kehendak negara, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik, serta kontrol ketat terhadap ekonomi dan struktur sosial masyarakat.
Dalam negara fasis, negara bukanlah pelayan rakyat, melainkan rakyatlah yang ada semata-mata untuk melayani negara.
Baca juga: Ancaman di Bidang Ideologi: Jenis, Contoh, dan Cara Mencegahnya
Sejarah dan Asal-usul Fasisme di Dunia
Fasisme tidak muncul dalam ruang hampa. Ideologi ini lahir dari kekecewaan, kekacauan, dan krisis ekonomi pasca Perang Dunia I (1914-1918).
1. Kelahiran di Italia (Benito Mussolini)
Fasisme pertama kali diperkenalkan secara politik oleh Benito Mussolini di Italia pada tahun 1919. Italia, meskipun berada di pihak pemenang dalam Perang Dunia I, merasa dikhianati oleh Perjanjian Versailles karena tidak mendapatkan wilayah yang dijanjikan.
Ditambah dengan inflasi tinggi dan pengangguran massal, rakyat Italia merindukan ketertiban. Mussolini memanfaatkan ketakutan masyarakat terhadap komunisme dan menawarkan visi tentang kejayaan kembali Kekaisaran Romawi.
Pada tahun 1922, melalui "Pawai ke Roma" (March on Rome), Mussolini berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan negara fasis pertama di dunia.
2. Kebangkitan Nazisme di Jerman (Adolf Hitler)
Terinspirasi oleh Mussolini, Adolf Hitler mengembangkan varian fasisme di Jerman yang dikenal sebagai Nazisme (National Socialism).
Jerman yang hancur lebur akibat kekalahan perang dan beban reparasi ekonomi yang berat menjadi lahan subur bagi retorika Hitler.
Ia memadukan fasisme dengan rasisme biologis (antisemitisme), mengklaim keunggulan ras Arya. Pada tahun 1933, Hitler naik takhta dan mengubah Republik Weimar yang demokratis menjadi diktator totaliter.
3. Fasisme di Asia (Jepang)
Di belahan bumi timur, fasisme bermanifestasi dalam bentuk militerisme Jepang. Meskipun berbeda secara struktur budaya dengan Eropa, prinsipnya serupa: kesetiaan mutlak kepada Kaisar, ekspansi militer agresif, dan keyakinan akan takdir bangsa untuk memimpin Asia.
Ciri-Ciri Pemerintahan Fasis
Mengenali fasisme bukan hanya dengan melihat seragam militer atau simbol-simbol masa lalu. Para ahli politik telah merumuskan karakteristik utama yang menandai sebuah rezim fasis. Berikut adalah ciri-cirinya:
-
Nasionalisme yang Kuat dan Terus Menerus
Rezim fasis selalu menggunakan slogan, simbol, lagu, dan retorika patriotik yang berlebihan untuk memobilisasi massa. Kritik terhadap negara dianggap sebagai pengkhianatan. -
Pengabaian Hak Asasi Manusia (HAM)
Karena rasa takut terhadap "musuh" (baik nyata maupun rekayasa), rezim fasis meyakinkan rakyat bahwa HAM harus diabaikan demi keamanan. Penyiksaan, eksekusi tanpa pengadilan, dan penculikan menjadi hal lumrah. -
Identifikasi Musuh Bersama
Untuk menyatukan rakyat, penguasa fasis menciptakan "kambing hitam". Musuh ini bisa berupa ras minoritas, agama tertentu, kelompok liberal, atau komunis. -
Supremasi Militer
Militerisme diagungkan. Anggaran negara disedot untuk pertahanan sementara kebutuhan domestik diabaikan. Prajurit dan veteran sangat dihormati. -
Kontrol Media Massa
Pemerintah mengontrol penuh arus informasi. Media digunakan sebagai alat propaganda untuk memuja pemimpin dan menyebarkan kebencian terhadap musuh negara. -
Obsesi pada Keamanan Nasional
Rasa takut digunakan sebagai alat kontrol. Pemerintah selalu mendengungkan bahwa negara sedang dalam bahaya untuk membenarkan tindakan represif. -
Peleburan Agama dan Pemerintah
Seringkali, pemimpin fasis menggunakan retorika agama untuk memanipulasi opini publik, meskipun ajaran agama tersebut mungkin bertentangan dengan tindakan pemerintah.
Baca juga: Ideologi Adalah: Pengertian, Fungsi, dan Relevansinya bagi Demokrasi
Perbandingan Fasisme dan Demokrasi
Membandingkan fasisme adalah cara terbaik untuk menghargai sistem demokrasi yang kita anut di Indonesia saat ini.
| Aspek | Demokrasi (Indonesia) | Fasisme |
| Pemegang Kedaulatan | Rakyat (melalui Pemilu yang jujur dan adil). | Negara/Pemimpin Tunggal (Diktator). |
| Hak Asasi Manusia | Dijunjung tinggi dan dilindungi konstitusi. | Diabaikan atau ditekan demi kepentingan negara. |
| Perbedaan Pendapat | Dihargai sebagai dinamika politik (Oposisi sah). | Dilarang keras; oposisi dianggap musuh negara. |
| Penyelesaian Konflik | Melalui dialog, hukum, dan musyawarah. | Melalui kekerasan, koersi, dan militerisme. |
| Kebebasan Pers | Pers bebas sebagai pilar ke-4 demokrasi. | Pers disensor ketat dan menjadi alat propaganda. |
Dampak Fasisme terhadap Hak Asasi Manusia
Sejarah mencatat bahwa penerapan ideologi fasisme membawa malapetaka kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia.
-
Genosida dan Pembersihan Etnis
Dampak paling mengerikan adalah Holocaust yang dilakukan oleh Nazi Jerman, di mana enam juta orang Yahudi dan jutaan kelompok minoritas lainnya dibantai secara sistematis. -
Perang Dunia II
Ambisi ekspansionis negara-negara fasis (Poros) memicu Perang Dunia II yang menewaskan lebih dari 70 juta orang di seluruh dunia, menghancurkan ekonomi global, dan meruntuhkan kota-kota di Eropa dan Asia. -
Hilangnya Kebebasan Sipil
Di bawah rezim fasis, individu kehilangan hak atas privasi. Negara memata-matai warganya sendiri, anak-anak didoktrin untuk melaporkan orang tua mereka, dan rasa saling curiga merusak tatanan sosial masyarakat.
Pembelajaran dari Sejarah Fasisme bagi Dunia Modern
Mengapa kita perlu membahas hal ini di era modern, khususnya di Papua Pegunungan? Karena benih-benih pemikiran otoriter tidak pernah benar-benar mati.
Dalam politik modern, retorika yang memecah belah, penyebaran ujaran kebencian (hate speech), dan upaya mendeligitimasi institusi demokrasi adalah tanda-tanda peringatan dini.
Pelajaran penting yang dapat kita ambil meliputi:
-
Pentingnya Toleransi: Fasisme tumbuh subur di atas kebencian terhadap perbedaan. Merawat kebhinnekaan adalah vaksin utama melawan fasisme.
-
Kritis terhadap Informasi: Propaganda adalah senjata utama fasisme. Masyarakat harus cerdas memilah informasi dan tidak mudah terhasut hoaks.
-
Partisipasi dalam Pemilu: Cara paling efektif mencegah bangkitnya otoritarianisme adalah dengan berpartisipasi aktif dalam demokrasi. Menggunakan hak pilih secara cerdas untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan menghormati konstitusi adalah benteng pertahanan negara.
Baca juga: Geopolitik Adalah: Pengertian, Tujuan, Fungsi, Unsur, dan Manfaatnya
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa fasisme adalah mimpi buruk sejarah yang mengajarkan kita tentang bahaya kekuasaan tanpa kendali. Ia adalah ideologi yang menolak kemanusiaan demi ambisi kekuasaan semu.
Sebaliknya, demokrasi yang kita jalani saat ini, dengan segala ketidaksempurnaannya, adalah sistem yang paling memanusiakan manusia karena memberikan ruang bagi setiap suara untuk didengar.
Masa depan bangsa tidak ditentukan oleh kekuatan senjata atau titah satu orang, melainkan oleh tinta di jari kelingking Anda saat hari pemilihan. Mari kita jadikan sejarah sebagai guru terbaik.
Dengan menolak segala bentuk intoleransi dan aktif berpartisipasi dalam setiap tahapan Pemilu, kita sedang memastikan bahwa kebebasan yang kita nikmati hari ini tetap terjaga untuk generasi mendatang.
Ingatlah sebuah pepatah bijak dari filsuf George Santayana, "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulanginya." Jangan biarkan sejarah kelam itu terulang; jaga demokrasi, jaga Indonesia.
Referensi:
- Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Heywood, Andrew. (2017). Political Ideologies: An Introduction. Palgrave Macmillan.
- Britt, Lawrence. (2003). Fascism Anyone? Fourteen Defining Characteristics of Fascism. Free Inquiry.
- Encyclopædia Britannica. Fascism: Definition, Meaning, Characteristics, & History.