Artikel

Dualisme Kepemimpinan Partai Politik: Mekanisme Penyelesaian dan Sikap KPU

Dalam dinamika demokrasi, partai politik diibaratkan sebagai kapal besar yang mengarungi samudra aspirasi rakyat. Namun, apa jadinya jika dalam satu kapal terdapat dua nakhoda yang sama-sama mengklaim berhak memegang kemudi? Fenomena ini dikenal sebagai dualisme kepemimpinan. Menjelang perhelatan pesta demokrasi, baik Pemilu Nasional maupun Pilkada Serentak, stabilitas internal partai politik menjadi isu krusial.

Konflik internal yang berujung pada perpecahan kepengurusan tidak hanya membingungkan kader dan konstituen, tetapi juga berpotensi mengganggu tahapan administratif pemilu.

Lalu, bagaimana hukum positif di Indonesia mengatur penyelesaian konflik ini? Dan di mana posisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdiri di tengah badai perebutan legitimasi tersebut?

Artikel ini akan mengupas tuntas mekanisme hukum dan sikap lembaga penyelenggara pemilu secara komprehensif.

Baca juga: Fungsi Partai Politik dalam Sistem Demokrasi

Apa Itu Dualisme Kepemimpinan dalam Partai Politik?

Secara sederhana, dualisme kepemimpinan adalah kondisi di mana terdapat dua kelompok atau kubu kepengurusan dalam satu tubuh partai politik yang sama, di mana masing-masing kubu mengklaim dirinya sebagai pengurus yang sah dan legal.

Situasi ini biasanya ditandai dengan adanya dua ketua umum, dua sekretaris jenderal, dan struktur kepengurusan kembar yang dihasilkan dari forum pengambilan keputusan tertinggi (seperti Musyawarah Nasional atau Kongres) yang berbeda atau tandingan.

Fenomena ini bukan sekadar perselisihan pendapat biasa, melainkan konflik struktural yang menyentuh legalitas organisasi. Bagi masyarakat awam, hal ini sering kali memunculkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya berhak mewakili partai tersebut dalam kontestasi politik, menandatangani surat rekomendasi calon kepala daerah, atau mendaftarkan calon legislatif.

Penyebab Terjadinya Dualisme Kepengurusan Partai

Konflik internal yang bermuara pada perpecahan kepengurusan tidak muncul secara tiba-tiba. Beberapa faktor dominan yang sering menjadi pemicu antara lain:

  1. Perbedaan Tafsir AD/ART
    Ketidaksepakatan dalam menafsirkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai, terutama terkait mekanisme suksesi kepemimpinan.

  2. Kekecewaan Hasil Kongres
    Ketidakpuasan salah satu pihak terhadap hasil pemilihan ketua umum dalam forum tertinggi partai, yang kemudian memicu diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) tandingan.

  3. Minimnya Ruang Demokrasi Internal
    Tersumbatnya saluran aspirasi bagi kader untuk menyampaikan kritik atau pendapat berbeda, sehingga memicu faksionalisasi.

  4. Intervensi Eksternal
    Adanya dugaan campur tangan pihak luar yang berkepentingan untuk memecah belah kekuatan partai politik tertentu.

Dampak Dualisme Kepemimpinan terhadap Tahapan Pemilu

Bagi penyelenggara pemilu seperti KPU, dualisme kepemimpinan membawa tantangan administratif yang signifikan. Dampaknya terhadap tahapan pemilu sangat nyata, antara lain:

1. Kendala Pendaftaran Partai Politik

Saat verifikasi partai politik peserta pemilu, KPU membutuhkan satu kepengurusan yang sah sesuai Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM. Dualisme membuat proses administrasi menjadi rumit.

2. Pencalonan Anggota Legislatif

Sering terjadi kasus ganda pencalonan di mana dua kubu mengajukan daftar caleg yang berbeda untuk satu daerah pemilihan yang sama.

3. Pencalonan Kepala Daerah

Dalam Pilkada, syarat dukungan pasangan calon harus ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris partai yang sah. Dualisme sering kali membuat dukungan partai menjadi tidak memenuhi syarat (TMS) jika tidak ada kejelasan hukum.

4. Kebingungan Pemilih

Masyarakat menjadi bingung dalam menentukan preferensi politiknya, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat partisipasi atau kepercayaan publik terhadap partai tersebut.

Baca juga: Sistem Multipartai dalam Demokrasi Indonesia

Peran Mahkamah Partai dalam Menyelesaikan Konflik Internal

Negara menyadari bahwa konflik adalah keniscayaan dalam organisasi. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah mengatur mekanisme penyelesaiannya.

Pintu pertama penyelesaian sengketa adalah melalui mekanisme internal partai itu sendiri, yakni Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang sejenis.

Pasal 32 ayat (1) UU Partai Politik menegaskan bahwa perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai politik.

Hal ini merupakan perwujudan otonomi partai politik untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri tanpa intervensi pihak luar secara prematur.

Batas Waktu 60 Hari Penyelesaian Sengketa Internal Partai

Untuk menjamin kepastian hukum, terutama mengingat tahapan pemilu yang memiliki jadwal ketat, undang-undang memberikan batasan waktu.

Mahkamah Partai wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan keberatan diterima.

Batas waktu ini krusial agar konflik tidak berlarut-larut yang dapat menyandera nasib partai tersebut dalam mengikuti agenda politik nasional maupun daerah.

Jika Mahkamah Partai lamban, maka partai tersebut berisiko kehilangan momentum politik.

Sifat Putusan Mahkamah Partai: Final dan Mengikat

Pasal 32 ayat (5) UU Partai Politik menyatakan bahwa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

Artinya, secara prinsip, apa yang diputuskan oleh Mahkamah Partai seharusnya menjadi kata akhir bagi seluruh kader. Sifat "final dan mengikat" ini bertujuan untuk mengakhiri sengketa sesegera mungkin agar partai dapat kembali fokus pada fungsi-fungsinya.

Namun, dalam praktiknya, frasa "secara internal" sering kali menjadi celah bagi pihak yang tidak puas untuk membawa masalah ini ke ranah eksternal.

Kapan Sengketa Partai Dapat Dibawa ke Pengadilan Negeri?

Meskipun Mahkamah Partai adalah penyelesai utama, hukum tetap membuka ruang bagi pencari keadilan yang merasa putusan internal belum memenuhi rasa keadilan. Jika penyelesaian melalui Mahkamah Partai tidak tercapai atau salah satu pihak keberatan dengan putusannya, sengketa dapat diajukan ke Pengadilan Negeri (PN).

Sesuai Pasal 33 ayat (1), gugatan ke PN merupakan langkah lanjutan. Pengadilan Negeri adalah peradilan tingkat pertama untuk sengketa parpol, dan putusannya dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Putusan Mahkamah Agung inilah yang menjadi putusan terakhir dan mengikat secara hukum negara. Penting dicatat, penyelesaian di pengadilan pun memiliki batasan waktu (60 hari di PN dan 30 hari di MA) demi mengejar kepastian hukum.

Baca juga: Cara Keluar dari Partai Politik dan Mengecek Status Keanggotaan di Sipol

Sikap dan Peran KPU dalam Menghadapi Dualisme Kepengurusan Partai

Di tengah pusaran konflik dualisme kepemimpinan ini, di mana posisi KPU?

Sikap KPU, baik KPU RI maupun KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, adalah berpegang teguh pada prinsip legalitas administratif. KPU bukanlah lembaga peradilan yang berwenang menilai sah atau tidaknya sebuah musyawarah partai atau memutus siapa yang berhak memimpin partai.

Sikap KPU didasarkan pada dokumen hukum formal, yaitu:

  1. Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham): KPU hanya mengakui kepengurusan partai politik yang telah disahkan dan tercatat dalam SK Menkumham terakhir. Selama belum ada SK baru atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang membatalkan SK tersebut, KPU tetap berpedoman pada SK yang ada.

  2. Asas Netralitas: KPU tidak boleh berpihak pada salah satu kubu. KPU hanya melayani kubu yang memiliki legitimasi dokumen negara yang sah.

  3. Menunggu Putusan Inkracht: Jika proses hukum sedang berjalan di pengadilan, KPU tetap berpedoman pada SK Kemenkumham yang berlaku saat itu sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dieksekusi oleh Kemenkumham melalui penerbitan SK perubahan.

Dualisme Kepemimpinan dan Kepastian Hukum Pemilu

Kepastian hukum adalah prasyarat mutlak bagi pemilu yang demokratis. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa partai politik melalui Mahkamah Partai hingga Pengadilan Negeri bertujuan agar tahapan pemilu tidak terganggu oleh masalah internal peserta pemilu.

KPU berkepentingan agar setiap partai politik menyelesaikan masalah internalnya sebelum tahapan krusial dimulai. Hal ini penting agar proses verifikasi, pencalonan, dan kampanye dapat berjalan lancar tanpa bayang-bayang gugatan hukum di kemudian hari yang dapat membatalkan hasil pemilu.

Baca juga: Cara Mendirikan Partai Politik, Cek Syarat dan Aturannya

Konflik internal dan dualisme kepemimpinan merupakan ujian kedewasaan bagi partai politik dalam berdemokrasi. Mekanisme penyelesaian sengketa telah diatur secara rigit mulai dari Mahkamah Partai hingga lembaga peradilan, dengan batasan waktu yang ketat demi menjaga ritme tahapan pemilu.

Di sisi lain, KPU berdiri sebagai penjaga gerbang administrasi yang bekerja berdasarkan legalitas formal dari negara (Kemenkumham), memastikan bahwa proses pemilu tetap berjalan di atas rel aturan, bukan di atas gelombang konflik kepentingan.

Bagi partai politik, soliditas adalah kunci kemenangan. Bagi pemilih, memahami dinamika ini adalah bagian dari edukasi politik yang mencerdaskan. Kita semua berharap agar setiap sengketa dapat diselesaikan dengan cara-cara yang bermartabat dan konstitusional.

Karena sejatinya, kebesaran sebuah partai tidak hanya diukur dari jumlah massanya, tetapi dari kemampuannya mengelola perbedaan di rumahnya sendiri. Bukankah sulit menata negara, jika menata diri sendiri saja masih menyisakan sengketa?

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
  3. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum. 

 

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 13 kali