Artikel

Pemilu 1997: Panggung Politik Terakhir Orde Baru Menjelang Reformasi

Wamena - Pemilu 1997 merupakan pemilihan umum terakhir pada masa pemerintahan Orde Baru sebelum runtuhnya rezim pada 1998. Pemilu ini digelar pada 29 Mei 1997 untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) , dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/ Kota). Pemerintah saat itu mengklaim pemilu berlangsung aman dan terkendali, namun banyak pengamat menilai bahwa kontestasi ini telah direkayasa untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1997 pun menjadi simbol kontras antara stabilitas yang diklaim pemerintah dan meningkatnya ketegangan sosial menjelang akhir  masa era Orde Baru.

Apa itu Pemilu 1997?

Pemilu 1997 adalah pemilihan umum terakhir yang diselenggarakan pada masa Orde Baru sebelum Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Pemilu ini bertujuan memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota), serta menentukan arah politik nasional dalam situasi ekonomi dan sosial yang mulai goyah.

Pemilu ini hanya diikuti tiga peserta politik, sesuai sistem penyederhanaan politik yang diberlakukan Orde Baru sejak 1973. Meski berlangsung dalam format demokrasi formal, banyak pengamat menilai pemilu ini sarat kontrol pemerintah dan kekuatan militer.

Baca juga: Jumlah Parpol Peserta Pemilu 2019 dan Perolehan Kursinya

Peserta Pemilu dan Peta Politik Orde Baru

Peta politik Pemilu 1997 hanya terdiri dari tiga kekuatan:

  1. Golkar – kendaraan politik utama pemerintah Orde Baru.
  2. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) – hasil fusi partai-partai Islam pada 1973.
  3. PDI (Partai Demokrasi Indonesia) – representasi fusi partai nasionalis-nasionalis.

Sejak 1973 hingga 1997, Golkar selalu menjadi pemenang dominan berkat dukungan birokrasi, ABRI, serta jaringan struktural dari pusat hingga desa. PPP dan PDI diposisikan sebagai peserta pelengkap dalam sistem yang dikendalikan pemerintah.

Ketegangan politik juga meningkat menjelang 1997, terutama setelah konflik internal PDI yang memicu peristiwa 27 Juli 1996, yang berpengaruh besar terhadap kondisi menjelang pemilu.

Mekanisme Pemilu: Dari Kampanye hingga Penghitungan

Mekanisme pemilu diatur ketat oleh pemerintah:

1. Masa Kampanye

Kampanye berlangsung selama 27 hari, dengan format pawai, rapat umum, dan penyebaran materi politik. Namun, pengawasan ketat aparat membuat ruang kampanye oposisi sangat terbatas.

2. Hari Pemungutan Suara

Pemungutan suara berlangsung serentak di seluruh Indonesia pada 29 Mei 1997. Prosesnya dipantau secara administratif oleh pemerintah, bukan lembaga independen seperti KPU saat ini.

3. Penghitungan Suara

Penghitungan dilakukan secara bertingkat, dari TPS ke kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat. Sistem manual dan tidak transparan kerap menimbulkan kecurigaan. Hasil akhir diumumkan melalui Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Baca juga: Pengertian Pemilu: Konseptual, Operasional, dan Urgensinya dalam Demokrasi Indonesia

Dominasi Golkar dan Hasil Akhir

Golkar kembali meraih kemenangan telak. Hasil resmi menunjukkan:

  1. Golkar

Golkar adalah salah satu partai yang dominan memperoleh hasil tertinggi pada Pemilu 1997 dengan memperoleh 84.187.907 dengan total 74,51 %. Dengan mendapatkan 325 jumlah kursi anggota dewan.

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PPP Memperoleh suara terbanyak ke-2 dalam pemilu 1997 dengan jumlah total 25.340.028 suara dengan total 22,43% dari total suara dan mendapatkan 89 jumlah kursi anggota dewan.

  1. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

PDI memperoleh suara dengan jumlah total 3.463.225 dengan jumlah total 3.06% dan mendapatkan 11 total kursi anggota dewan.

Kemenangan ini memperkuat posisi Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, melalui Sidang Umum MPR Maret 1998. Namun kemenangan tersebut terjadi di tengah meningkatnya kritik terhadap cara pemerintah mempertahankan dominasinya.

Kritik dan Kontroversi serta Isu Kecurangan

Pemilu 1997 tidak lepas dari kontroversi:

  1. Tekanan terhadap aparatur negara dan PNS untuk mendukung Golkar.
  2. Pembatasan kampanye bagi PPP dan PDI.
  3. Indikasi manipulasi data dan hasil suara, terutama di tingkat kecamatan dan kabupaten.
  4. Minimnya lembaga pengawas independen, karena Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) kala itu berada di bawah Departemen Dalam Negeri
  5. Penggunaan aparat keamanan untuk memastikan kemenangan partai pemerintah.

Banyak aktivis dan akademisi menilai pemilu tersebut bukan kompetisi yang setara, melainkan alat legitimasi bagi kekuasaan Orde Baru.

Baca juga: Sejarah Pengawasan Pemilu: Dari Orde Baru hingga Pengawasan Partisipatif

Dampak Pemilu 1997 terhadap Reformasi 1998

Meski Golkar menang besar, pemilu ini justru menjadi titik balik yang mendorong tumbangnya rezim:

  1. Ketidakpuasan masyarakat meningkat akibat ketidakadilan pemilu.
  2. Krisis moneter 1997–1998 memperburuk legitimasi pemerintah.
  3. Gerakan mahasiswa menuntut pemilu yang jujur dan adil serta penghapusan dwifungsi ABRI.
  4. Runtuhnya PDI pro-Megawati menjelang pemilu memicu solidaritas oposisi terhadap Orde Baru.

Semua faktor tersebut memuncak pada aksi besar yang berujung pada Reformasi 1998 dan lengsernya Soeharto.

Warisan Pemilu 1997 dalam Sejarah Demokrasi Indonesia

Pemilu 1997 meninggalkan sejumlah pelajaran berharga:

  1. Pentingnya penyelenggara pemilu independen, yang kemudian melahirkan KPU pasca-reformasi.
  2. Kebutuhan sistem multipartai yang lebih sehat dan kompetitif.
  3. Perlunya pengawasan pemilu yang lebih kuat dan terbuka.
  4. Pencegahan penggunaan aparat negara untuk kepentingan politik.
  5. Kesadaran bahwa legitimasi politik tidak dapat dibangun melalui kontrol, melainkan partisipasi nyata rakyat.

Sistem Pemilu dengan Proporsional Daftar Tertutup

Pada masa Orde Baru, Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional daftar tertutup. Dalam sistem ini, pemilih memberikan suara kepada partai, bukan kepada individu calon legislatif. Urutan kandidat yang duduk di parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai politik, bukan oleh jumlah suara perseorangan.

Ciri-ciri utama sistem proporsional daftar tertutup di masa Orde Baru:

  1. Pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai.
  2. Penentuan anggota DPR sepenuhnya berdasarkan daftar urut calon yang disusun oleh elite partai.
  3. Pengaruh masyarakat terhadap siapa yang terpilih sangat terbatas.
  4. Penguasaan pemerintah terhadap parpol (terutama Golkar) menjadikan sistem ini efektif untuk mempertahankan dominasi politik.

Sistem ini dianggap efisien, namun sangat rentan dimanfaatkan untuk memperkuat kontrol pusat dan melemahkan kompetisi politik.

Daerah Pemilihan dan Pembagian Kursi

Daerah pemilihan (dapil) pada masa Orde Baru ditentukan oleh pemerintah pusat dan diselaraskan dengan jumlah penduduk dan pembagian administratif.

Karakteristik dapil kala itu:

  1. Dapil mengikuti tingkat kabupaten/kota atau beberapa wilayah yang digabung.
  2. Jumlah kursi ditentukan berdasarkan perhitungan demografis yang ditetapkan pemerintah.
  3. Penataan dapil sering dinilai menguntungkan Golkar, terutama di daerah-daerah dengan dominasi aparat birokrasi.

Penataan daerah pemilihan menjadi instrumen politik penting yang membantu mempertahankan stabilitas dan dominasi partai pemerintah.

Peran LPU dan Panwas di Bawah Depdagri

Dalam pemilu Orde Baru, Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) berada di bawah Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Hal ini menjadikan penyelenggaraan pemilu sangat dekat dengan kekuasaan eksekutif.

Peran LPU:

  1. Menyelenggarakan seluruh tahapan pemilu.
  2. Menetapkan peserta pemilu, jadwal, logistik, dan hasil akhir.
  3. Mengatur mekanisme kampanye dan penetapan suara.

Peran Panwas:

  1. Mengawasi pelaksanaan pemilu.
  2. Menangani laporan pelanggaran.
  3. Berkoordinasi dengan aparat keamanan dan pemerintah daerah.

Karena struktur organisasinya berada langsung di bawah pemerintah, independensi penyelenggara pemilu sangat terbatas. Hal ini sering dikritik sebagai penyebab minimnya check and balance dalam proses politik.

Fungsi “Monoloyalitas” PNS dan Imbasnya

Konsep “monoloyalitas” menuntut Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki loyalitas tunggal kepada negara yang diwakili oleh pemerintah. Pada praktiknya, monoloyalitas berarti:

  1. PNS harus mendukung Golkar sebagai kekuatan politik pemerintah.
  2. PNS dilarang aktif dalam partai oposisi seperti PDI atau PPP.
  3. Struktur birokrasi digunakan sebagai mesin politik yang efektif untuk mobilisasi suara.

Dampak monoloyalitas PNS:

  1. Ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu.
  2. Tekanan terhadap pegawai pemerintah untuk memilih atau mengarahkan pilihan politik.
  3. Dominasi Golkar dalam perolehan suara di wilayah-wilayah yang didominasi pegawai pemerintah dan aparat.

Monoloyalitas menjadi fondasi politik penting dalam mempertahankan stabilitas Orde Baru, namun sekaligus mempersempit ruang kompetisi demokratis.

Tekanan terhadap Pers dan Aktivis Selama Pemilu

Selain birokrasi dan lembaga pemilu, pengendalian terhadap pers dan aktivis turut mengamankan jalannya pemilu.

Tekanan terhadap Pers:

  1. Media wajib tunduk pada regulasi ketat seperti SIUPP.
  2. Berita yang mengkritik pemerintah atau pemilu dapat dibatasi.
  3. Wartawan menghadapi ancaman sensor, intimidasi, atau pencabutan izin terbit.

Akibatnya, liputan pemilu banyak didominasi narasi resmi yang menguntungkan pemerintah.

Tekanan terhadap Aktivis dan LSM:

  1. Pembatasan kegiatan politik kampus melalui NKK/BKK.
  2. Aktivis prodemokrasi menghadapi intimidasi, penangkapan, hingga penculikan.
  3. Pengawasan ketat terhadap kelompok yang mengkritik jalannya pemilu.

Tekanan ini menjadikan pemilu tampak stabil dan tertib, tetapi mengorbankan kebebasan sipil dan partisipasi kritis masyarakat. Pemilu 1997 menjadi tonggak yang menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya demokrasi baru Indonesia.

Baca juga: Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2024: Proses Pengundian, Mekanisme, dan Daftar Lengkap

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 78 kali