
Proporsional Terbuka vs Tertutup: Mencari Format Ideal untuk Pemilu 2029
Wamena - Wacana revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi sorotan publik menjelang Pemilu 2029. Salah satu isu krusial adalah perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup. Dua sistem ini sama-sama bertujuan menjaga kedaulatan rakyat, namun memiliki perbedaan mendasar dalam cara menyalurkan suara dan membentuk representasi politik di parlemen.
1. Sistem Proporsional Terbuka: Wujud Transparansi Suara Rakyat
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat secara langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik. Mekanisme ini dinilai meningkatkan transparansi dan akuntabilitas politik, karena masyarakat tahu siapa wakil yang mereka pilih.
Kelebihan lain dari sistem ini adalah memberikan ruang partisipasi yang lebih luas, terutama bagi tokoh-tokoh lokal yang memiliki basis dukungan kuat di masyarakat. Dengan begitu, keterlibatan rakyat terasa nyata dan suara tidak hanya berhenti di partai, melainkan sampai kepada individu yang dipercaya mewakili aspirasi mereka.
Baca juga: Demokrasi Terpimpin di Indonesia: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Sejarahnya
2. Proporsional Tertutup: Memperkuat Kelembagaan Partai Politik
Sebaliknya, sistem proporsional tertutup menempatkan pemilih untuk memilih partai, bukan calon langsung. Urutan calon legislatif ditentukan oleh partai sesuai mekanisme internalnya. Pendukung sistem ini menilai bahwa model tertutup dapat memperkuat struktur partai politik, meningkatkan kedisiplinan kader, serta mengurangi politik uang antar caleg dalam satu partai.
Dengan sistem tertutup, partai juga lebih leluasa membangun kaderisasi jangka panjang dan memastikan kualitas calon yang diusung sesuai visi partai. Hal ini dianggap penting untuk menjaga stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan dalam jangka panjang.
3. Tantangan dan Peluang dalam Revisi UU Pemilu 2029
Perdebatan mengenai dua sistem ini menjadi penting dalam konteks Revisi UU Pemilu yang kini mulai dibahas dalam Prolegnas 2026. Pemerintah dan DPR tengah menimbang berbagai faktor, mulai dari efektivitas penyelenggaraan, keadilan representasi, hingga kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.
KPU, sebagai penyelenggara pemilu, menegaskan bahwa apapun sistem yang dipilih, tujuan utamanya tetap sama — memastikan proses pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL). Keputusan akhir tetap menjadi kewenangan pembuat undang-undang, sementara KPU berfokus pada aspek teknis dan integritas pelaksanaan.
4. Membangun Demokrasi yang Partisipatif dan Berintegritas
Perdebatan antara proporsional terbuka dan tertutup sejatinya tidak boleh memecah kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Justru, ini menjadi momentum untuk memperkuat literasi politik masyarakat, agar memahami bagaimana setiap suara berkontribusi terhadap arah kebijakan bangsa.
Partisipasi rakyat dalam memberi masukan terhadap rancangan undang-undang juga menjadi bentuk nyata dari demokrasi yang hidup. Baik terbuka maupun tertutup, yang paling penting adalah memastikan sistem pemilu mampu melahirkan wakil rakyat yang berkualitas, jujur, dan berpihak pada kepentingan bangsa.
Baca juga: Demokrasi Liberal di Indonesia: Pengertian, Sejarah, dan Dinamika Penerapannya
5. Penutup: Demokrasi Milik Semua, Bukan Sekadar Sistem
Sistem pemilu hanyalah instrumen. Demokrasi sejati bergantung pada kesadaran bersama untuk menjaga kejujuran, partisipasi, dan keadilan. Revisi UU Pemilu 2029 seharusnya tidak hanya berfokus pada bentuk sistem, tetapi juga pada substansi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
KPU Papua Pegunungan mengajak seluruh masyarakat untuk terus berperan aktif, memahami, dan mengawal setiap tahapan proses demokrasi — karena suara rakyat adalah fondasi utama tegaknya kedaulatan bangsa.
(Pram)
Baca juga: Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Pentingnya dalam Sistem Pemerintahan Modern
Sumber: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; Rencana Prolegnas DPR RI Tahun 2026; Antaranews, Bisnis.com, dan Kumparan (2025).