Artikel

Revisi UU Pemilu, Menentukan Arah Baru Demokrasi Indonesia

Wamena — Perbincangan mengenai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terus menjadi pembicaraan hangat di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Wacana mengenai perubahan regulasi ini muncul dengan dasar berbagai kajian akademik. Dasar lainnya dari wacana ini adalah masukan dari para penyelenggara pemilu, hingga putusan-putusan lembaga hukum yang menilai perlu penyesuaian melalui revisi UU Pemilu terhadap dinamika politik dan tantangan demokrasi masa kini.

Latar Belakang Kebutuhan Revisi

Revisi UU Pemilu dianggap perlu dan mendesak karena beberapa faktor utama, antara lain:

  • Beban penyelenggaraan pemilu yang sangat kompleks dan durasi waktunya terhitung panjang, sehingga dianggap membutuhkan efisiensi dan penyederhanaan tahapan.
  • Penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu, hal ini dilakukan agar lebih lembaga-lembaga penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu dan DKPP lebih profesional, efektif, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
  • Perlunya regulasi yang tegas terhadap praktik politik uang. Permasalahan sistemik yang semakin meresahkan ini dikarenakan distribusi bantuan sosial menjelang masa kampanye, serta penggunaan teknologi digital yang belum memiliki dasar hukum kuat. Sehingga revisi UU Pemilu diharapkan dapat menjadi solusi dari hal ini.

Pokok-Pokok Perubahan yang Diusulkan

Faktor-faktor utama yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik beberapa substansi utama yang menjadi perhatian dalam usulan revisi UU Pemilu antara lain:

  1. Penyederhanaan tahapan pemilu dan pilkada agar tahapan pemilu di masa yang akan datang lebih efisien dan tidak membebani penyelenggara maupun peserta.
  2. Pengaturan penggunaan teknologi kepemiluan, termasuk kemungkinan penerapan e-voting atau sistem digital lainnya, dengan landasan hukum yang kuat.
  3. Penguatan sanksi terhadap praktik politik uang serta penyalahgunaan bantuan sosial selama masa pemilu melalui regulasi yang kuat.
  4. Penataan kelembagaan penyelenggara pemilu, termasuk kajian terhadap status kelembagaan seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, agar selaras dengan prinsip independensi dan profesionalisme.

Baca juga: DKPP: Penjaga Etika Penyelenggara Pemilu, Penguat Integritas KPU Papua Pegunungan

Terkhusus penguatan sanksi hukum terhadap berbagai pelanggaran kepemiluan, juga menjadi salah satu yang sangat disoroti dalam perbincangan mengenai revisi UU Pemilu, beberapa diantaranya mencakup:

  • Sanksi pidana dan administratif bagi pihak yang terlibat dalam praktik politik uang.
  • Sanksi tegas terhadap penyalahgunaan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral.
  • Penguatan peran Bawaslu dan DKPP dalam menegakkan etika dan disiplin penyelenggara pemilu.

Revisi UU Pemilu Masuk dalam Prioritas Prolegnas 2025

Prolegnas merupakan instrumen perencanaan hukum nasional yang berfungsi mengarahkan proses pembentukan undang-undang agar lebih terukur, terencana, dan sesuai kebutuhan masyarakat. Setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Prolegnas harus melalui seleksi ketat berdasarkan urgensi, relevansi sosial, dan arah pembangunan nasional.

Saat ini, revisi UU Pemilu sudah resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Hal ini menandakan bahwa pemerintah dan parlemen menempatkan usulan perbaikan sistem kepemiluan melalui revisi UU Pemilu sebagai agenda strategis nasional. Dengan masuknya revisi UU Pemilu ke dalam daftar prioritas 2025, negara menegaskan komitmennya untuk memperkuat kerangka hukum penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Pembahasan

Dalam proses pembahasan revisi UU Pemilu, sejumlah pihak baik berasal dari elemen pemerintah maupun elemen masyarakat memiliki peran penting dan saling bersinergi, antara lain:

  • Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), khususnya Komisi II, yang menjadi pengusul dan pembahas utama draf revisi bersama pemerintah.
  • Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), memberikan masukan kebijakan dan teknis pelaksanaan.
  • Penyelenggara Pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP juga turut dilibatkan untuk memberikan perspektif praktis berdasarkan pengalaman penyelenggaraan, pengawasan, dan penegakan etik di lapangan.
  • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Akademis juga turut menjadi pihak yang banyak memberikan kontribusi melalui kajian-kajian akademis dan laporan terkait temuan-temuan di lapangan.

Kolaborasi ini diharapkan menghasilkan regulasi yang realistis, inklusif, dan efisien, sejalan dengan tantangan demokrasi di era digital.

Baca juga: Cara Bawaslu Kawal Pemilu: Tugas, Fungsi, Struktur, dan Wewenang

Tahapan Proses Legislasi

Proses pembentukan undang-undang dilakukan secara bertahap dan terukur, meliputi:

  1. Penyusunan naskah akademik dan draf RUU oleh lembaga pengusul.
  2. Pembahasan awal di Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menetapkan prioritas tahunan Prolegnas.
  3. Pembahasan bersama pemerintah dalam rapat komisi dan panitia kerja (panja).
  4. Rapat paripurna DPR untuk pengesahan jika telah tercapai kesepakatan substansi.
  5. Penandatanganan oleh Presiden agar undang-undang resmi diundangkan dan diberlakukan.

Dengan masuknya revisi UU Pemilu dalam prioritas Prolegnas 2025, publik menaruh harapan besar agar proses legislasi berjalan transparan, inklusif, dan partisipatif. Revisi ini diharapkan mampu menjawab tantangan penyelenggaraan pemilu di era digital, meningkatkan keadilan bagi peserta, serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi Indonesia.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 88 kali