Politik Identitas: Pengertian, Dampak, dan Tantangannya bagi Demokrasi Indonesia
Wamena, Papua Pegunungan - Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, politik identitas sering muncul sebagai fenomena yang mengundang perhatian. Di satu sisi, ia mencerminkan keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa, namun di sisi lain dapat menjadi sumber perpecahan bila digunakan secara berlebihan. Memahami politik identitas berarti memahami dinamika sosial dan tantangan demokrasi kita hari ini.
Baca juga: Keteladanan Jenderal Hoegeng: Cermin Kepemimpinan dan Nilai Demokrasi di Indonesia
Makna dan Pengertian Politik Identitas
Secara umum, politik identitas adalah bentuk perjuangan politik yang menjadikan identitas kelompok tertentu—seperti suku, agama, ras, atau golongan—sebagai dasar utama untuk memperoleh kekuasaan atau pengaruh. Dalam konteks ilmiah, politik identitas dipahami sebagai cara kelompok memperjuangkan pengakuan, keadilan, dan representasi dalam sistem politik yang lebih luas.
Dalam kehidupan berbangsa, politik identitas sebenarnya tidak selalu negatif. Selama dijalankan untuk memperkuat keadilan sosial dan kebersamaan, ia bisa menjadi sarana memperkaya demokrasi. Namun, ketika digunakan untuk memecah belah, menumbuhkan prasangka, atau mengabaikan kepentingan nasional, politik identitas dapat mengancam nilai-nilai demokrasi dan persatuan bangsa.
Baca juga: 20 Oktober: Awal Tradisi Demokrasi Baru dari Pelantikan Presiden Gus Dur
Politik Identitas dalam Perspektif Konstitusi dan Demokrasi
Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila menegaskan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”
Artinya, politik identitas yang eksklusif dan diskriminatif bertentangan dengan semangat dasar konstitusi kita. Demokrasi Indonesia dibangun di atas prinsip keterwakilan, keadilan, dan kesetaraan — bukan pada perbedaan identitas sempit.
Baca juga: Bayang-Bayang G30S/PKI: Dua Saudara dalam Satu Rahim, Berbeda Jalan Politik
Dampak Politik Identitas terhadap Masyarakat dan Demokrasi
Ketika politik identitas disalahgunakan, dampaknya dapat meluas. Ia dapat menimbulkan polarisasi sosial, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara, serta menghambat proses politik yang sehat. Pemilu misalnya, seharusnya menjadi arena kompetisi ide dan gagasan, bukan arena pertentangan berbasis identitas.
Lebih jauh, politik identitas yang berlebihan dapat menimbulkan penguatan stereotip dan prasangka di tengah masyarakat, membuat kelompok tertentu mudah dicurigai atau dimarginalkan. Ia juga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit, di mana isu perbedaan digunakan untuk meraih suara, bukan untuk membangun persatuan. Kondisi ini menciptakan kerentanan terhadap konflik dan kekerasan sosial, terutama ketika emosi massa lebih dikedepankan daripada rasionalitas politik. Pada akhirnya, semua itu melemahkan solidaritas nasional, mengikis rasa kebersamaan yang menjadi fondasi persatuan bangsa.
Di sisi lain, politik identitas juga bisa menjadi pengingat pentingnya inklusivitas—bahwa negara harus hadir untuk semua golongan. KPU sebagai penyelenggara pemilu berperan menjaga agar ruang politik tetap netral dan berkeadilan, sehingga setiap warga—termasuk di wilayah seperti Papua Pegunungan—dapat menyalurkan hak pilihnya dengan aman, setara, dan bermartabat.
Refleksi dan Tantangan ke Depan
Tantangan terbesar bangsa ini bukanlah keberagaman, melainkan bagaimana mengelola keberagaman dengan bijak. Politik identitas harus diarahkan menjadi sarana memperkuat demokrasi, bukan melemahkannya. Pendidikan politik yang sehat, partisipasi masyarakat yang kritis, dan penyelenggaraan pemilu yang transparan menjadi kunci untuk menumbuhkan kepercayaan publik.
Masyarakat Papua Pegunungan, dengan semangat gotong royong dan kearifan lokalnya, bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai persaudaraan dan persatuan hidup dalam keberagaman. Inilah esensi demokrasi sejati—di mana perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi dalam membangun Indonesia yang damai dan berkeadilan.