Artikel

Brimob dan Api 10 November: Dari Polisi Istimewa ke Penjaga Bhayangkara Negara

Wamena — Ketika pekik Merdeka.!! menggema di seluruh negeri pada Agustus 1945, semangat perjuangan tidak hanya hidup di kalangan rakyat dan tentara, tetapi juga di tubuh kepolisian. Salah satu kisah heroik itu lahir di Surabaya, saat pasukan Tokubetsu Keisatsutai, pasukan polisi khusus bentukan Jepang, memilih berpihak pada Republik. Satuan ini kemudian dikenal sebagai Polisi Istimewa, dan menjadi cikal bakal Korps Brigade Mobil yang kita kenal hari ini. Di bawah pimpinan Inspektur Polisi Kelas I Mohammad Jasin, Polisi Istimewa memainkan peran penting pada awal Oktober 1945. Jasin mengambil langkah berani dengan menahan pimpinan polisi Jepang di Surabaya dan memutus jalur komunikasi dengan luar kota, termasuk Jakarta. Tindakan ini bukan sekadar strategi keamanan, tetapi pernyataan tegas bahwa kepolisian Indonesia berdiri di sisi rakyat dan Republik. Mereka kemudian mengambil alih markas dan persenjataan Jepang, menjadi salah satu kekuatan pertama yang bersenjata di bawah panji merah putih. Ketika pertempuran Surabaya meletus, Polisi Istimewa berada di garis depan. Mereka ikut dalam pelucutan senjata tentara Jepang dan bersama rakyat mempertahankan kota dari pasukan Inggris dan Sekutu. Banyak di antara mereka gugur dalam pertempuran di Hotel Yamato, Jembatan Merah, dan Tanjung Perak, namun semangat juang mereka menyalakan api keberanian yang menjadi warisan bagi Brimob di kemudian hari. Baca juga: Keteladanan Jenderal Hoegeng: Cermin Kepemimpinan dan Nilai Demokrasi di Indonesia Dari Polisi Istimewa ke Brigade Mobil Seiring berjalannya waktu, perubahan struktur organisasi kepolisian pun terjadi. Pada 14 November 1946, tepat setahun setelah perjuangan heroik di Surabaya, Polisi Istimewa resmi berganti nama menjadi Brigade Mobil. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan peran pasukan dengan situasi keamanan nasional yang semakin kompleks pasca-proklamasi. Brimob berfungsi sebagai pasukan mobil tangguh yang mampu bergerak cepat menghadapi ancaman di seluruh wilayah Indonesia. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Korps Brimob Polri. Perubahan nama itu bukan hanya pergantian administratif, melainkan simbol transformasi dari pasukan perjuangan menjadi pasukan pengabdian. Jiwa Polisi Istimewa tetap hidup di tubuh Brimob, dalam disiplin, loyalitas, dan keberanian yang berpijak pada semangat pengabdian kepada rakyat. Baca juga: Mengenang Bung Tomo: Pahlawan 3 Oktober, Inspirasi Demokrasi Brimob dalam Api Revolusi Setelah perubahan itu, Brimob terus memainkan peran penting dalam berbagai pertempuran revolusi fisik. Di Ambarawa, Medan Area, dan Bandung Selatan, mereka berjuang bersama TKR dan laskar rakyat mempertahankan kedaulatan Indonesia dari agresi militer Belanda. Dalam Agresi Militer I dan II, Brimob turut menjaga jalur komunikasi, mengamankan logistik, dan melindungi masyarakat dari dampak perang. Mereka juga terlibat dalam berbagai operasi setelah pengakuan kedaulatan, seperti penumpasan pemberontakan DI TII, APRA, Andi Azis, dan RMS. Dalam setiap peristiwa itu, Brimob menunjukkan bahwa mereka bukan hanya aparat keamanan, melainkan pejuang yang menjaga keutuhan bangsa dengan keteguhan dan disiplin tinggi. Kiprah heroik mereka berlanjut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, di mana 68 anggota Brimob gugur di medan tugas. Pengorbanan itu kini diabadikan dalam Monumen Brimob Sedayu, Bantul, sebagai simbol abadi keberanian dan pengabdian. Baca juga: Jenderal Oerip Sumohardjo: Peletak Dasar Profesionalisme TNI dan Teladan Demokrasi Indonesia Sinergi Brimob dan TNI di Era Modern Sejak masa perjuangan kemerdekaan, Brimob dan TNI telah berjalan beriringan di medan juang. Di Ambarawa, Surabaya, hingga Medan Area, keduanya sama-sama mengangkat senjata demi tegaknya republik muda. Semangat itu tidak berhenti di masa revolusi. Dalam era modern, sinergi antara Brimob dan TNI tetap menjadi fondasi kuat dalam menjaga keutuhan bangsa dan rasa aman masyarakat. Kerja sama ini tampak nyata dalam berbagai operasi penegakan hukum, pengamanan wilayah perbatasan, serta penanggulangan konflik dan terorisme. Brimob dan TNI juga sering terjun bersama dalam misi kemanusiaan, dari membantu korban bencana di Palu dan Cianjur hingga menjaga stabilitas di Papua dan daerah rawan lainnya. Di lapangan, mereka tidak hanya berbagi tugas, tetapi juga saling menopang sebagai rekan seperjuangan. Sinergi ini mencerminkan warisan nilai yang sama, keberanian, kedisiplinan, dan pengabdian kepada tanah air. Brimob dan TNI bukan sekadar dua institusi pertahanan dan keamanan, tetapi dua saudara seperjuangan yang lahir dari semangat yang sama. Dalam damai maupun di tengah tantangan, mereka terus menjaga semangat persaudaraan senjata yang telah ditempa sejak 1945, demi Indonesia yang aman, kuat, dan bermartabat. Sinergi TNI & Brimob di seputaran Tugu Salib Wamena Baca juga: Haji Agus Salim: Teladan Intelektual dan Pejuang Demokrasi Bangsa Sinergi Brimob dan Rakyat Sejak awal berdirinya, Brimob tidak pernah berjarak dari rakyat. Di masa revolusi, mereka berjuang bersama pemuda dan masyarakat mempertahankan kemerdekaan. Kini, semangat yang sama hidup dalam bentuk pengabdian yang lebih luas. Brimob hadir di tengah masyarakat, bukan hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai sahabat dan pelindung dalam berbagai situasi. Dalam masa damai, Brimob turut mendampingi masyarakat di wilayah rawan, membantu korban bencana, hingga mendukung pembangunan di daerah terpencil. Mereka mengedepankan pendekatan kemanusiaan dalam setiap tugas, menyatu dengan rakyat yang menjadi sumber kekuatan utama bangsa. Melalui kegiatan sosial, pelayanan publik, hingga program Bhakti Brimob untuk Negeri, mereka menegaskan bahwa pengabdian sejati tidak selalu lahir dari medan tempur, tetapi juga dari tangan-tangan yang membantu dan hati yang peduli. Sinergi dengan rakyat inilah yang menjaga Brimob tetap relevan dan dipercaya. Di mana pun mereka bertugas, semangatnya satu, menjaga kedamaian, melindungi kehidupan, dan menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang mereka bela sejak hari pertama republik berdiri. Baca juga: Kasman Singodimejo: Jembatan Persatuan dari Sumpah Pemuda hingga Dasar Negara Warisan yang Tak Padam Delapan dekade berlalu sejak langkah pertama Polisi Istimewa di Surabaya. Namun semangat pengabdian itu tidak pernah padam. Dari medan perang hingga masa damai, Brimob selalu hadir menjaga ketertiban, membantu rakyat, dan menegakkan hukum dengan keberanian yang lahir dari sejarah panjang perjuangan. HUT Brimob setiap 14 November  bukan sekadar peringatan seremonial, tetapi momen untuk mengingat bahwa keberanian dan pengorbanan mereka adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa. Dari Surabaya 1945 hingga Indonesia hari ini, Brimob terus menjadi simbol keteguhan, kesetiaan, dan keberanian yang lahir dari tanah air sendiri, Bhayangkara sejati yang tetap setia di bawah panji merah putih. “Selama republik berdiri, Brimob akan selalu ada bukan hanya di garis depan pertempuran, tetapi di setiap langkah pengabdian untuk rakyat.” _Pram_ Kompas. 2022. Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.  Kompas Yogyakarta. 2023. Sejarah Singkat Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Hari Penegakan Kedaulatan Negara. DetikNews. 2020. Sejarah Brimob: Pasukan Elit Polri yang Kini Berusia 75 Tahun.  Kumparan News. 2023. Sejarah Hari Brimob 14 November 1945.  Suara.com. 2024. Sejarah Brimob, Pasukan Elit Polri yang Dibentuk Jepang Jelang Kemerdekaan Indonesia.  Pemerintah Kabupaten Bantul. 2023. Peringati Serangan Umum 1 Maret, Kobarkan Semangat Lanjutkan Pembangunan. Wikipedia. 2024. Muhammad Yasin.   

Hak Ulayat adalah Wujud Kedaulatan Masyarakat Adat atas Tanah dan Alamnya

Wamena — Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya sekedar ruang hidup, tetapi menjadi sumber identitas, sejarah dan spiritual. Di banyak daerah di Indonesia, terutama di Papua, hubungan antara manusia dan tanah dijaga melalui sistem adat yang disebut dengan hak ulayat. Hak ulayat merepresentasikan bagaimana hubungan yang mendalam antara masyarakat dan sumber daya alam di wilayah mereka. Pengertian Hak Ulayat Menurut Hukum dan Adat Secara hukum adat, hak ulayat merupakan hak penguasaan bersama yang tertinggi atas wilayah tanah, air serta sumber daya alam di dalamnya, yang telah dikuasai dan dimanfaatkan secara turun-temurun oleh suatu kesatuan masyarakat hukum adat dan bersifat komunal. Menurut Bambang S.Mulyono seorang ahli agraria, hak ulayat didefinisikan sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban dari masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang berada di wilayahnya. Setiap suku atau marga yang memiliki wilayah adat masing-masing dengan batas yang ditentukan oleh kesepakatan adat. Dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah harus mendapatkan izin dari kepala suku atau dewan adat. Hak ulayat ini tidak dapat diperjualbelikan secara bebas karena dianggap sebagai warisan leluhur. Baca juga: Demokrasi di Papua, Harmoni antara Musyawarah Adat, Sistem Noken, dan Nilai Kebersamaan Hak ulayat memiliki ciri-ciri utama, yaitu: Hak Komunal: Dimiliki oleh persekutuan masyarakat adat, bukan individu. Hak Mengatur: Wewenang untuk mengatur penggunaan, peruntukan dan pemindahan hak atas tanah di wilayah tersebut. Hak Mengambil Manfaat: Kewenangan untuk mengambil hasil hutan, air dan Sumber Daya Alam lainnya. Dasar Hukum Pengakuan Hak Ulayat di Indonesia Pengakuan atas hak ulayat di Indonesia didasarkan pada pilar hukum utama: Konstitusi (UUD 1945) Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah dasar hukum utama. Pasal 3 UUPA menyatakan: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) diakui hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada. Penggunaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi” Untuk hukum hak ulayat di wilayah Papua juga telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus papua yang dimana memberikan pengakuan khusus terhadap hak masyarakat adat Papua dalam mengelola sumber daya alam di wilayahnya. Baca juga: Honai: Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Khas Papua yang Sarat Makna Budaya Hak Ulayat di Tanah Papua: Identitas, Kearifan dan Tanggung Jawab Sosial Di wilayah Fakfak, Asmat dan pegunungan Tengah, masyarakat adat memiliki sistem hukum yang kuat untuk melindungi hutan mereka dari eksploitasi berlebihan. Selain itu, hak ulayat memiliki kedudukan yang sangat kuat dan seringkali menjadi inti dari identitas, kearifan lokal dan tanggung jawab sosial masyarakat. Sistem Kepemilikan yang Kuat: Kepemilikan tanah ulayat di Papua, yang sering disebut sebagai Hak Ulayat Marga yang diakui secara tegas oleh setiap suku. Tanah bukan hanya asat ekonomi, tetapi juga tempat leluhur bersemayam dan sumber kehidupan spiritual. Kearifan Lokal: Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya di Papua, seperti sistem sasi (larangan memanfaatkan hasil alam dalam periode tertentu), memastikan ekosistem tetap terjaga dari eksploitasi berlebihan. Tanggung Jawab Sosial: dalam konteks pembangunan dan investasi, perusahaan yang masuk ke tanah ulayat haruslah bernegosiasi dean memberikan kompensasi atau beneficial rights kepada pemilik hak ulayat. Hal ini untuk mencerminkan pengakuan bahwa pembangunan harus membawa manfaat langsung bagi masyarakat. Otonomi Khusus: Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengakui dan menghormati hak-hak dasar orang asli Papua, termasuk hak ulayat, yang seharusnya menjadi landasan kuat untuk perlindungan hukum Peran Masyarakat Adat dalam Mengelola Tanah Ulayat Peran masyarakat adat di tanah ulayat adalah sebagai pengatur dan pengelola utama. Mereka mengatur siapa yang  boleh membuka lahan, berburu dan mengambil hasil hutan. Sistem ini diatur dalam hukum adat dan musyawarah adat, bukan melalui sertifikat formal seperti tanah milik negara. Sebagai contoh terdapat beberapa masyarakat adat yang mengelola tanah ualayat mereka, dianataranya: Di Suku  Minangkabau, di sana tanah ulayat disebut dengan tanah kaum yang dimana tanah dimiliki oleh suatu kaum atau klan yang dikelola oleh ninik mamak untuk kepentingan keluarga besar atau kaum. Tanah kaum yang berupa lahan pertanian dan hutan tersebut digunakan suatu kaum yang berdasarkan pada garis keturunan matrilineal. Di Suku Dayak,  tanah ulayat mencakup hutan adat yang dijaga oleh lembaga adat sendiri demi kepentingan ekosistem. Adanya perlindungan terhadap hutan dan kebun tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat Bali, dikenal dengan ayahan desa, dimana tanah dikelola bersama oleh krama desa untuk kegiatan sosial dan keagamaan serta adanya sistem irigasi tradisional yang mengatur penggunaan air secara adil dan spiritual. Tantangan Perlindungan Hak Ulayat di Era Modernisasi Tantangan Deskripsi Solusi yang Diusulkan Tumpang Tindih Perizinan Pemberian izin konsesi (HPH, pertambangan, perkebunan) oleh pemerintah sering adanya tumpang tindih dengan wilayah ulayat yang belum dipetakan. Harus adanya Percepatan Pemetaan Partisipatif atau pemetaan wilayah adat yang melibatkan masyarakat dan penetapan melalui sebuah peraturan daerah ataupun menteri. Absennya Regulasi Pelaksana Belum adanya undang-undang tunggal yang secara khusus mengatur dan menguatkan Hak Masyarakat Adat sehingga membuat perlindungan hukum lemah. Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk memberikan kepastian hukum dan prosedur pengakuan. Asas Kepentingan Nasional Penerapan asa “kepentingan nasional” sering digunakan untuk mengesampingkan hak ulayat demi proyek infrastruktur atau investasi dalam skala yang besar. Harus adanya Persetujuan Tanpa Paksaan Sebelumnya dan Diberitahukan (PPSP) setiap adanya proyek yang menyentuh wilayah adat. Hak ulayat bukanlah menjadi hambatan bagi pembangunan, melainkan dasar moral untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berbagai upaya terus dilakukan untuk bisa menjaga hak ulayat. Pemerintah dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat  nusantara) serta berbagai organisasi lokal mendorong pemetaan partisipatif wilayah adat serta pengakuan peraturan daerah untuk melindungi hak ulayat ini. Ketika negara menghormati hak adat, pembangunan bisa berjalan tanpa adanya mengorbankan kearifan lokal dan keasrian alam. Baca juga: Rumah Adat Papua: Jenis, Fungsi, Keunikan dan Filosofi

Memahami Fasisme: Ciri, Sejarah, dan Dampaknya bagi Dunia

Wamena — Dalam perjalanan sejarah politik dunia, fasisme menjadi salah satu ideologi yang paling berpengaruh sekaligus paling berbahaya. Ia lahir dari ketidakpuasan terhadap demokrasi, kekacauan ekonomi, dan keinginan untuk memulihkan kejayaan bangsa melalui kekuasaan tunggal. Namun di balik janji stabilitas dan kekuatan nasional, fasisme justru meninggalkan luka mendalam berupa perang, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ideologi ini menjadi peringatan keras bagi dunia modern: ketika rakyat menyerahkan seluruh kendali kepada satu orang atau satu partai tanpa batas, kebebasan manusia bisa lenyap hanya dalam hitungan waktu. Pengertian Fasisme Secara sederhana, fasisme adalah sistem politik otoriter yang menolak demokrasi dan menekankan nasionalisme ekstrem. Dalam fasisme, negara dianggap sebagai tujuan tertinggi — segala sesuatu, termasuk kebebasan individu, harus tunduk pada kepentingan negara. Kepemimpinan dalam sistem ini biasanya bersifat totaliter, di mana seorang pemimpin dianggap sebagai simbol mutlak bangsa dan tidak dapat dikritik. Pemerintah mengontrol media, membungkam oposisi, dan menanamkan ide bahwa kesetiaan kepada pemimpin adalah bentuk tertinggi dari patriotisme. Fasisme juga memuliakan kekuatan, ketaatan, dan disiplin. Dalam pandangan ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang seragam, patuh, dan siap berkorban demi negara — sebuah pandangan yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan sipil. Sejarah dan Asal-usul Fasisme di Dunia Fasisme pertama kali muncul di Italia setelah Perang Dunia I, ketika masyarakat dilanda krisis ekonomi, pengangguran, dan kekecewaan terhadap sistem parlementer yang dianggap lemah. Benito Mussolini, mantan jurnalis dan politisi sosialis, memanfaatkan kekacauan itu dengan membentuk Partito Nazionale Fascista (Partai Fasis Nasional) pada tahun 1919. Menurut United States Holocaust Memorial Museum (USHMM), fasisme muncul sebagai gerakan politik yang menjanjikan stabilitas dan kebangkitan nasional setelah kekalahan perang. Mussolini menggunakan retorika populis dan simbol-simbol Romawi kuno untuk membangkitkan rasa bangga nasional serta menyingkirkan oposisi politik. Encyclopaedia Britannica mencatat bahwa Mussolini memperoleh dukungan luas dari militer, polisi, dan kelas menengah yang mendambakan ketertiban setelah masa kekacauan. Dengan slogannya “Ordine, Disciplina, Gerarchia” (Orde, Disiplin, Hierarki), ia berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan menjadi Perdana Menteri Italia pada 1922. Ideologi ini kemudian menginspirasi Adolf Hitler di Jerman, yang memadukannya dengan rasisme ekstrem melalui Partai Nazi. Sejarawan Ian Kershaw dalam Hitler: A Biography menjelaskan bahwa kebangkitan fasisme di Jerman berakar pada krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan rasa frustrasi rakyat pasca-Perang Dunia I. Dalam esainya The Doctrine of Fascism (1932), Mussolini bahkan menulis bahwa “Negara fasis bersifat all-embracing, yaitu negara menjadi satu-satunya entitas yang memiliki otoritas” — menggambarkan bagaimana ideologi ini menolak kebebasan individu dan menjadikan negara sebagai pusat segalanya. Ciri-ciri Pemerintahan Fasis Beberapa ciri khas pemerintahan fasis dapat diidentifikasi dengan jelas: Kultus terhadap pemimpin — Pemimpin dipuja layaknya dewa, menjadi simbol mutlak kebenaran dan kekuasaan. Negara di atas segalanya — Kepentingan individu dianggap tidak penting dibandingkan kepentingan negara. Penindasan terhadap oposisi dan media — Kritik dianggap sebagai pengkhianatan. Pers dan partai politik dibungkam. Propaganda besar-besaran — Pemerintah menggunakan simbol, film, musik, dan pidato untuk menanamkan loyalitas rakyat. Militerisasi dan nasionalisme ekstrem — Kekuatan militer diagungkan, dan perang dianggap cara mulia untuk membuktikan kejayaan bangsa. Pengendalian ekonomi dan masyarakat — Negara turut mengatur industri, serikat pekerja, bahkan kehidupan pribadi warga. Dalam sistem seperti ini, kebebasan bukan hanya dibatasi — tetapi dihapuskan sepenuhnya. Rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kewajiban tunduk pada satu ideologi tunggal. Perbandingan Fasisme dan Demokrasi Perbedaan antara fasisme dan demokrasi sangat mencolok. Demokrasi menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan, sedangkan fasisme menempatkan pemimpin sebagai pusat kebenaran. Dalam demokrasi, kekuasaan dibatasi oleh hukum dan konstitusi; sementara dalam fasisme, hukum tunduk pada kehendak penguasa. Di negara demokratis, perbedaan pendapat dianggap bagian dari dinamika politik yang sehat. Namun bagi sistem fasis, perbedaan dianggap ancaman yang harus dimusnahkan. Fasisme mengedepankan keseragaman dan ketaatan buta, sedangkan demokrasi menumbuhkan keberagaman, kritik, dan tanggung jawab sosial. Itulah sebabnya, meski demokrasi tidak selalu sempurna, ia tetap menjadi benteng paling kokoh melawan lahirnya kekuasaan absolut. Dampak Fasisme terhadap Hak Asasi Manusia Dampak paling nyata dari fasisme terlihat dalam tragedi Perang Dunia II (1939–1945). Ambisi ekspansi Jerman dan Italia mengakibatkan jutaan nyawa melayang. Kebijakan rasial Nazi menyebabkan genosida sistematis terhadap lebih dari enam juta orang Yahudi dalam tragedi Holocaust — salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Selain korban perang, rakyat di negara-negara fasis hidup dalam ketakutan. Mereka tidak bisa menyuarakan pendapat, memilih pemimpin, atau menjalani hidup tanpa pengawasan negara. Seni, media, dan pendidikan dikontrol sepenuhnya untuk menyebarkan ideologi tunggal. Fasisme, dengan demikian, bukan hanya bentuk pemerintahan — tetapi penjara bagi kebebasan manusia. Menjaga Demokrasi agar Fasisme Tak Terulang Meski fasisme klasik telah runtuh, jejaknya belum sepenuhnya hilang. Di era modern, ide-ide seperti nasionalisme sempit, politik kebencian, dan kultus terhadap tokoh sering kali menjadi pintu masuk bagi pola pikir fasis. Banyak negara kini menghadapi tantangan baru: bagaimana menjaga kebebasan di tengah disinformasi, populisme, dan politik identitas yang memecah belah. Pelajaran penting dari sejarah fasisme adalah bahwa demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyatnya tetap waspada dan kritis terhadap kekuasaan. Fasisme lahir bukan karena kekuatan semata, tetapi karena rakyat berhenti mempertanyakan. Ketika masyarakat menukar kebebasan dengan rasa aman palsu, saat itulah sejarah mulai berulang — dan dunia berisiko jatuh ke kegelapan yang sama. Referensi: https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/fascism-1 https://www.britannica.com/place/Italy/The-Fascist-era https://www.sjsu.edu/faculty/wooda/2B-HUM/Readings/The-Doctrine-of-Fascism.pdf

Bisakah Maju Jadi Caleg Lewat Jalur Independen? Ini Penjelasannya!

Wamena — Menjelang setiap pemilihan umum, pertanyaan ini kerap muncul di tengah masyarakat: bisakah seseorang maju sebagai calon legislatif (caleg) tanpa melalui partai politik alias jalur independen? Pertanyaan itu tampak sederhana, namun jawabannya cukup tegas: tidak bisa. Dalam sistem Pemilu di Indonesia, jalur independen tidak berlaku untuk calon anggota DPR maupun DPRD, melainkan hanya dibuka untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meski demikian, wacana soal “caleg independen” tetap menarik untuk dibahas, karena menyentuh aspek dasar sistem demokrasi perwakilan di Indonesia. Apa Itu Caleg Jalur Independen? Secara umum, istilah caleg jalur independen mengacu pada seseorang yang ingin mencalonkan diri tanpa dukungan partai politik. Dalam beberapa jenis pemilihan, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) atau anggota DPD, jalur perseorangan memang diperbolehkan. Namun untuk pemilihan legislatif di tingkat DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, mekanismenya berbeda. Setiap calon wajib diusulkan oleh partai politik peserta Pemilu. Tidak ada ruang bagi calon perseorangan di lembaga-lembaga legislatif tersebut. Artinya, siapa pun yang ingin menjadi anggota legislatif harus terlebih dahulu bergabung atau dicalonkan oleh partai politik yang telah dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Baca juga: Kampanye Caleg: Wadah Aspirasi, Bukan Ajang Janji Semu Aturan Hukum Pencalonan Anggota Legislatif Landasan hukumnya diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 1 angka 27 dijelaskan: “Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” Bunyi pasal tersebut menegaskan bahwa hanya partai politik yang dapat menjadi peserta Pemilu untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD, sedangkan jalur perseorangan hanya berlaku untuk calon anggota DPD. Lebih lanjut, Pasal 240 ayat (1) huruf n dalam undang-undang yang sama juga menyebutkan bahwa: “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota partai politik peserta pemilu.” Dengan demikian, calon anggota DPR dan DPRD tidak diperbolehkan maju secara independen, tetapi wajib melalui partai politik. Sebaliknya, untuk calon anggota DPD, undang-undang justru mengharuskan pencalonan dilakukan secara perseorangan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 27 di atas. Aturan-aturan ini dipertegas dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang secara teknis mengatur syarat, prosedur, dan tata cara pengajuan calon melalui partai politik. Perbedaan Caleg Partai dan Calon Independen Perbedaan mendasar antara caleg partai politik dan calon independen terletak pada asal dukungan dan bentuk representasinya. Caleg partai politik diusung oleh organisasi politik resmi yang telah lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu. Mereka mewakili ideologi dan program partainya, serta bekerja dalam struktur fraksi di parlemen. Setelah terpilih, mereka terikat pada garis kebijakan dan disiplin partai dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Sementara itu, calon independen — seperti yang berlaku pada pemilihan DPD atau pilkada — tidak bernaung di bawah partai politik mana pun. Mereka maju secara pribadi dengan dukungan masyarakat yang dibuktikan melalui persyaratan administratif, seperti dukungan tanda tangan dan fotokopi KTP dari pemilih. Karena itu, caleg dari partai memiliki dukungan struktur politik dan logistik yang kuat, sedangkan calon independen lebih menekankan pada dukungan personal dan kepercayaan publik. Secara filosofis, sistem kepartaian di parlemen dirancang untuk menjaga stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan, sementara jalur independen lebih menonjolkan representasi langsung dari masyarakat tanpa perantara partai. Baca juga: Tips Memilih Caleg Berkualitas, Jangan Asal Coblos! Mengapa Jalur Independen Tidak Berlaku untuk DPR dan DPRD Ada beberapa alasan mengapa jalur perseorangan tidak diberlakukan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD. Pertama, sistem demokrasi Indonesia berbasis pada partai politik. Partai berperan sebagai penghubung antara rakyat dan lembaga pemerintahan. Melalui partai, aspirasi masyarakat diolah, disalurkan, dan diperjuangkan secara kolektif di parlemen. Kedua, struktur DPR dan DPRD dibangun atas dasar fraksi partai politik. Fraksi merupakan alat koordinasi yang mengatur arah kebijakan, sikap politik, hingga pembentukan undang-undang. Jika ada anggota legislatif independen, maka fungsi fraksi akan sulit dijalankan. Ketiga, dari sisi akuntabilitas politik, anggota DPR dan DPRD memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada partai pengusungnya. Ini menjadi mekanisme pengawasan moral dan politik agar wakil rakyat tidak bertindak sewenang-wenang. Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka yang digunakan di Indonesia mengharuskan partai politik menjadi peserta utama Pemilu. Jika jalur perseorangan dibuka untuk DPR dan DPRD, maka sistem perhitungan suara, pembagian kursi, hingga tata kelola parlemen harus diubah total. Jalur Independen Hanya untuk DPD Berbeda dengan DPR dan DPRD, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memang dirancang sebagai lembaga perwakilan daerah yang bersifat non-partisan. Calon anggota DPD wajib maju secara perseorangan dan tidak boleh diusung oleh partai politik. Untuk dapat mencalonkan diri, bakal calon DPD harus mengumpulkan dukungan dari masyarakat di daerah pemilihannya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh KPU. Misalnya, di provinsi dengan jumlah penduduk tertentu, calon harus mengantongi dukungan minimal ribuan tanda tangan warga yang dibuktikan dengan KTP. Dengan demikian, DPD menjadi satu-satunya lembaga legislatif di Indonesia yang membuka jalur independen secara sah dan konstitusional. Lalu, Apa Artinya bagi Masyarakat? Bagi masyarakat yang ingin berkiprah di dunia politik, hal ini menjadi pengingat penting bahwa jalur untuk menjadi anggota legislatif hanya dapat ditempuh melalui partai politik. Bergabung dengan partai, membangun rekam jejak, dan memahami proses politik internal menjadi langkah realistis untuk dapat dicalonkan sebagai anggota DPR maupun DPRD. Namun bagi warga yang ingin mengabdi tanpa afiliasi partai, kesempatan tetap terbuka luas melalui pencalonan sebagai anggota DPD. Jalur ini memberi ruang bagi tokoh masyarakat, akademisi, maupun aktivis untuk menyuarakan kepentingan daerahnya secara langsung di tingkat nasional. Apapun jalur yang dipilih, esensi dari keduanya tetap sama: menjadi saluran demokrasi bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan bersama. Baca juga: Cara Cek Caleg DPR dan DPD Online di Situs KPU: Panduan Lengkap untuk Sobat Pemilih

LHKPN Adalah: Alat Transparansi untuk Cegah Korupsi di Indonesia

Wamena – Dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) menjadi instrumen penting yang dikelola oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui pelaporan ini, masyarakat dapat menilai sejauh mana integritas seorang pejabat publik dalam mengemban amanah negara. Apa Itu LHKPN dan Dasar Hukumnya LHKPN merupakan singkatan dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, yaitu kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk melaporkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki, baik atas nama pribadi maupun keluarga inti. Pelaporan ini meliputi aset bergerak, tidak bergerak, surat berharga, hingga utang dan piutang. Dasar hukum pelaksanaan LHKPN diatur dalam beberapa regulasi, di antaranya: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.   Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.   Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Aturan tersebut menegaskan bahwa pelaporan harta kekayaan bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk nyata tanggung jawab moral dan hukum seorang pejabat publik. Baca juga: Penggantian Antarwaktu (PAW): Pengertian, Dasar Hukum, dan Prosedurnya Tujuan dan Fungsi LHKPN dalam Pemerintahan Tujuan utama dari penerapan LHKPN adalah untuk mendorong transparansi, mencegah konflik kepentingan, dan menekan potensi tindak pidana korupsi. Dengan adanya laporan harta kekayaan, KPK dan publik dapat memantau perubahan kekayaan pejabat sebelum, selama, dan setelah menjabat. Fungsi LHKPN antara lain: Sebagai alat deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.   Menjadi bukti integritas dan akuntabilitas seorang pejabat publik.   Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Melalui digitalisasi sistem pelaporan seperti e-LHKPN, proses ini kini dapat dilakukan secara lebih mudah, cepat, dan transparan tanpa harus melalui proses manual yang panjang. Baca juga: Demokrasi Perwakilan dan Sistem Referendum: Memadukan Kedaulatan Rakyat dalam Pemerintahan Modern Siapa yang Wajib Melaporkan Harta Kekayaan ke KPK Kewajiban melaporkan harta kekayaan tidak hanya berlaku bagi pejabat tinggi negara, tetapi juga mencakup seluruh penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Pihak yang wajib melapor antara lain: Pejabat negara di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.   Pegawai negeri sipil tertentu yang memiliki posisi strategis.   Kepala daerah dan wakil kepala daerah.   Pejabat BUMN dan BUMD.   Hakim, jaksa, penyidik, dan pejabat di lembaga penegak hukum lainnya. Pelaporan wajib dilakukan saat pertama kali diangkat, saat terjadi perubahan jabatan, dan setelah berakhir masa jabatan. Sanksi bagi Penyelenggara Negara yang Tidak Melapor Ketidakpatuhan terhadap kewajiban LHKPN dapat menimbulkan konsekuensi serius. Berdasarkan aturan KPK, pejabat yang tidak melaporkan atau terlambat melaporkan LHKPN dapat dikenai: Sanksi administratif, seperti penundaan promosi, penundaan pengangkatan jabatan, hingga pemblokiran akses administrasi kepegawaian.   Dalam kasus tertentu, pelanggaran ini dapat menjadi indikasi awal penyelidikan dugaan gratifikasi atau korupsi, jika ditemukan ketidaksesuaian antara profil jabatan dan kekayaan yang dimiliki. KPK secara berkala juga mempublikasikan daftar pejabat yang tidak patuh terhadap kewajiban pelaporan LHKPN sebagai bentuk transparansi publik. Pentingnya LHKPN untuk Mewujudkan Pemerintahan Bersih Pelaksanaan LHKPN bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan simbol komitmen moral untuk menjaga integritas pejabat publik. Dengan laporan harta kekayaan yang terbuka dan dapat diakses masyarakat, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalisir. Selain itu, publik juga memiliki peran penting dalam mengawasi ketaatan pejabat terhadap LHKPN. Kesadaran masyarakat dalam menuntut transparansi dan keterbukaan akan menjadi dorongan kuat bagi terciptanya pemerintahan yang bebas dari korupsi. Perluasan Kewajiban LHKPN di Lingkungan KPU Papua Pegunungan Pejabat yang wajib melaporkan LHKPN di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Papua Pegunungan mencakup Sekretaris serta seluruh Komisioner KPU di tingkat provinsi maupun kabupaten.  Langkah ini menegaskan komitmen lembaga penyelenggara pemilu dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus memastikan setiap pejabat publik di KPU memiliki integritas tinggi dalam menjalankan tugasnya. Kewajiban ini merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas penyelenggara pemilu dalam menjaga integritas lembaga, sekaligus memastikan seluruh pejabat di lingkungan KPU terbebas dari potensi konflik kepentingan dan praktik korupsi. Dengan demikian, pelaporan LHKPN menjadi salah satu langkah penting untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu yang jujur, bersih, dan berintegritas di Papua Pegunungan. Cara akses LHKPN — panduan detil (untuk publik & untuk pejabat/wajib lapor) Di bawah ini saya jelaskan dua alur utama: A) cara publik mengakses dan mengunduh LHKPN pejabat yang sudah dipublikasikan; B) cara pejabat / wajib lapor mendaftar, mengaktivasi akun, dan mengisi LHKPN (e-Filing). Saya sertakan checklist, kontak bila perlu, dan catatan penting tentang cakupan data. A. Untuk publik: cara melihat/men-download LHKPN pejabat Buka situs resmi e-LHKPN: https://elhkpn.kpk.go.id. Di halaman utama pilih menu e-Announcement (kadang tertulis “Akses Pengumuman LHKPN”). Di form e-Announcement isi parameter pencarian: Nama pejabat, Tahun pelaporan, dan/atau Lembaga/Unit kerja. Tekan Search. Jika data ditemukan, akan tampil baris hasil dengan: nama, jabatan, tanggal lapor, total harta. Untuk melihat rincian klik tombol Preview / Lihat (ikon/tombol hijau) — Anda bisa melihat atau mengunduh rincian LHKPN (format PDF/print). Jika tidak ada hasil: kemungkinan pejabat belum melapor lewat e-LHKPN, atau laporannya sebelum tahun 2017 (situs menampilkan laporan yang disampaikan melalui aplikasi e-LHKPN mulai 2017 ke atas). Coba variasi nama (tanpa gelar), atau hubungi kontak KPK (email/Call Center). Catatan cepat publik Situs menampilkan LHKPN yang disampaikan melalui aplikasi e-LHKPN (mulai LHKPN 2017 dan seterusnya, model KPK-A/KPK-B). Bila butuh bukti atau penjelasan lebih formal, hubungi: elhkpn@kpk.go.id atau Call Center KPK (198). B. Untuk pejabat / wajib lapor: mendaftar, aktivasi, dan mengisi LHKPN (e-Registration → e-Filing) Ringkasan: pejabat harus didaftarkan melalui modul e-Registration (biasanya oleh admin instansi), lalu menerima email aktivasi e-Filing, login, mengganti password, dan mengisi LHKPN via menu e-Filing. Langkah Langkah askes LHKPN Dapatkan formulir aktivasi / registrasi.   Unduh “Formulir Permohonan Aktivasi Penggunaan e-Filing / e-Registration” di situs e-LHKPN (menu Unduh / Formulir). Isi formulir tersebut. Kirimkan formulir & lampiran ke KPK (atau lewat pengelola LHKPN di instansi):   Biasanya formulir yang sudah ditandatangani (basah) beserta fotokopi KTP dikirim ke Direktorat PP LHKPN KPK (alamat tertera di formulir / situs). Admin instansi dapat mengurus aktivasi kolektif. Terima email aktivasi dari KPK.   Setelah diproses, pejabat/wajib lapor akan menerima email aktivasi berisi username dan password sementara serta tautan aktivasi. Klik tombol aktivasi. Login pertama & ubah password. Masuk ke aplikasi e-LHKPN, ganti password sementara menjadi password pribadi yang aman. Jika gagal login, periksa username/password/kode keamanan atau hubungi helpdesk. Isi LHKPN via menu e-Filing.   Setelah login pilih e-Filing → Isi LHKPN Baru. Isi bagian-bagian: data pribadi, harta tetap, harta bergerak, piutang, utang, penghasilan, dan keterkaitan pihak lain sesuai petunjuk. Simpan berkala. Panduan pengguna dan tutorial video ada di menu Panduan/Unduh. Submit / Kirimkan LHKPN.   Setelah lengkap, lakukan submit. Sistem akan mencatat tanggal pelaporan. Anda bisa men-download salinan LHKPN. Dokumen & persyaratan umum (checklist) Formulir permohonan aktivasi yang ditandatangani (basah) oleh pejabat / admin instansi. Fotokopi KTP pejabat. Email dan nomor HP aktif (dicantumkan di formulir). Kontak & sumber resmi Situs resmi e-LHKPN: https://elhkpn.kpk.go.id (menu e-Announcement, Panduan, Unduh, FAQ). Email kontak: elhkpn@kpk.go.id.

Hari Kesehatan Nasional: Membangun Indonesia Sehat dari Kita Semua

Wamena – Bangsa Indonesia memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) sebagai momen penting untuk merenungkan betapa berharganya kesehatan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa. Di tengah tantangan global yang terus berubah — dari pandemi hingga isu stunting dan penyakit tidak menular — kesehatan menjadi pondasi utama bagi kemajuan dan ketahanan suatu negara. Hari Kesehatan Nasional bukan hanya tentang mengenang keberhasilan masa lalu, seperti pemberantasan malaria yang menjadi tonggak sejarahnya, tetapi juga tentang menyemai semangat baru untuk terus bertransformasi. Kesehatan bukan sekadar urusan rumah sakit atau tenaga medis, melainkan tanggung jawab bersama: pemerintah yang berkomitmen, tenaga kesehatan yang berdedikasi, dan masyarakat yang sadar pentingnya hidup sehat. Melalui peringatan HKN, kita diingatkan bahwa membangun Indonesia yang maju harus dimulai dari manusia yang sehat — sehat jasmani, rohani, dan lingkungan. Karena hanya dengan tubuh dan jiwa yang kuat, bangsa ini dapat melangkah mantap menuju masa depan yang lebih sejahtera. Apa Itu Hari Kesehatan Nasional? HKN diperingati setiap tanggal 12 November di Indonesia. Peringatan ini menjadi momentum penting untuk mengajak seluruh elemen bangsa meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan sebagai modal utama pembangunan. HKN bukan sekadar seremoni, tetapi refleksi bersama tentang sejauh mana bangsa ini telah berupaya membangun masyarakat yang sehat, produktif, dan sejahtera. Sejarah dan Penetapan Hari Kesehatan Nasional Hari Kesehatan Nasional pertama kali diperingati pada 12 November 1964. Tanggal ini dipilih untuk mengenang keberhasilan pemerintah Indonesia dalam memberantas wabah malaria melalui Gerakan Pemberantasan Malaria (Malaria Eradication Campaign) pada tahun 1959–1963. Kala itu, program penyemprotan DDT secara massal di berbagai daerah berhasil menurunkan angka penderita malaria secara drastis. Sejak saat itu, 12 November dijadikan momen bersejarah sebagai titik awal kesadaran kolektif tentang pentingnya kesehatan masyarakat dan lahirnya komitmen untuk membangun Indonesia yang lebih sehat. Baca juga: Sehat Bersama, Kerja Bahagia: Semangat Hari Kesehatan Nasional di KPU Provinsi Papua Pegunungan Tema Hari Kesehatan Nasional dari Tahun ke Tahun Setiap tahun, HKN mengusung tema berbeda sesuai dengan tantangan dan prioritas pembangunan kesehatan nasional. Beberapa tema HKN yang pernah diangkat antara lain: “Indonesia Sehat” (2015) – menekankan pentingnya gaya hidup sehat. “Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku” (2020) – di tengah pandemi COVID-19, tema ini menjadi seruan untuk menjaga kesehatan bersama demi ketahanan bangsa. “Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku” (2022) – menandai semangat pemulihan pascapandemi. “Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju” (2023) – menegaskan komitmen memperkuat sistem kesehatan nasional agar tangguh menghadapi berbagai tantangan. Setiap tema selalu menjadi cermin kondisi kesehatan bangsa dan arah kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Makna dan Tujuan Peringatan HKN Peringatan HKN bertujuan untuk: Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan sebagai investasi hidup. Mengapresiasi perjuangan tenaga kesehatan yang berada di garis depan dalam menjaga keselamatan jiwa. Memperkuat sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia sehat dan berdaya. HKN juga menjadi momen reflektif untuk menilai capaian program kesehatan, sekaligus menguatkan semangat gotong royong dalam menciptakan lingkungan yang sehat. Baca juga: KPU Papua Pegunungan Dorong ASN Jaga Kesehatan: Jangan Jadi Beban Negara! Peran Tenaga Kesehatan dalam Membangun Indonesia Sehat Tenaga kesehatan memiliki peran vital dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh. Dari dokter, bidan, perawat, tenaga laboratorium, hingga kader posyandu — semuanya berkontribusi menjaga dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selama pandemi COVID-19, tenaga kesehatan menjadi garda terdepan yang berjuang tanpa lelah menyelamatkan nyawa dan memberikan pelayanan di tengah keterbatasan. Mereka adalah pahlawan kemanusiaan yang dedikasinya patut diapresiasi sepanjang masa. Program Pemerintah untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat Pemerintah Indonesia terus berupaya memperluas akses dan kualitas layanan kesehatan melalui berbagai program strategis, di antaranya: BPJS Kesehatan, sebagai sistem jaminan sosial nasional yang menjamin seluruh warga memperoleh layanan medis. Hingga akhir 2024, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 278,1 juta jiwa atau sekitar 98,45% penduduk Indonesia. Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), yang berperan penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pemantauan tumbuh kembang balita. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), yang mengajak masyarakat untuk berperilaku hidup bersih, makan bergizi, dan rutin berolahraga. Pemanfaatan layanan kesehatan digital (Telemedicine), yang memperluas jangkauan layanan kesehatan hingga ke daerah terpencil dengan dukungan teknologi. Selain itu, berdasarkan Laporan Kinerja Kemenkes 2024, kegiatan skrining kesehatan (hipertensi dan diabetes) telah menjangkau jutaan warga kelompok risiko tinggi di seluruh Indonesia. Tantangan Kesehatan di Indonesia Meski banyak kemajuan, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar di bidang kesehatan, antara lain: Stunting masih menjadi masalah serius pada anak-anak. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan publikasi ilmiah 2024, prevalensi stunting pada anak usia 0–59 bulan mencapai sekitar 29,7%. Angka ini menunjukkan bahwa hampir 3 dari 10 anak balita mengalami gangguan pertumbuhan linier, yang berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan kanker terus meningkat akibat gaya hidup tidak sehat. Berdasarkan laporan Kemenkes RI 2024, cakupan skrining hipertensi telah mencapai 76% dari kelompok risiko tinggi.   Kesenjangan layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan pedesaan masih menjadi pekerjaan besar, terutama dalam hal ketersediaan tenaga medis, sarana, dan infrastruktur kesehatan. Peran Masyarakat dalam Menjaga Kesehatan Diri dan Lingkungan Kesehatan nasional tidak akan tercapai tanpa peran aktif masyarakat. Setiap individu berkontribusi melalui langkah sederhana seperti menjaga pola makan, rajin berolahraga, tidak merokok, serta menjaga kebersihan lingkungan. Kesadaran untuk melakukan pencegahan (preventif) jauh lebih penting daripada sekadar pengobatan (kuratif). Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi subjek aktif dalam mewujudkan Indonesia yang sehat, kuat, dan berdaya saing. Hari Kesehatan Nasional bukan sekadar hari peringatan, melainkan panggilan untuk bergerak bersama. Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus saling bergandengan tangan dalam membangun bangsa yang sehat. Karena sejatinya, kesehatan adalah pondasi utama kemajuan Indonesia — dan menjaga kesehatan adalah tanggung jawab kita semua. Baca juga: Satu Hati, Satu Gerak! KPU Papua Pegunungan Rayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia dengan Senam Sehat Bersama