Artikel

Hindari TMS! Simak Kategori Pemilih Tidak Memenuhi Syarat di Pemilu Agar Anda Bisa Nyoblos

Dalam setiap tahapan Pemilihan Umum (Pemilu), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan selalu melakukan pemutakhiran data pemilih. Hal ini bertujuan untuk memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya, dan sebaliknya, menghapus nama-nama yang masuk kategori TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Bagi masyarakat, penting untuk mengetahui apa itu TMS dan bagaimana kategori seorang pemilih bisa dicoret dari daftar. Hal ini diatur secara rinci dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Penyusunan Daftar Pemilih. Baca juga: Proporsional Terbuka vs Tertutup: Mencari Format Ideal untuk Pemilu 2029 Apa Itu TMS Pemilu? TMS adalah singkatan dari Tidak Memenuhi Syarat. Istilah ini merujuk pada pemilih yang terdaftar di data kependudukan, tetapi berdasarkan verifikasi di lapangan (Coklit) atau data terbaru, mereka tidak lagi memenuhi kriteria sebagai pemilih yang sah. Pencoretan status TMS sangat krusial untuk menjaga akurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan mencegah potensi penyalahgunaan hak suara. 8 Kategori Utama Pemilih Dinyatakan TMS Berdasarkan PKPU terbaru, ada beberapa kriteria utama yang menyebabkan seorang pemilih dinyatakan TMS dan dikeluarkan dari daftar pemilih: Meninggal Dunia: Pemilih yang sudah meninggal dunia dan tercatat dalam laporan resmi. Di Bawah Umur: Belum genap berusia 17 tahun dan belum/pernah menikah pada Hari Pemungutan Suara. Ganda: Ditemukan terdaftar lebih dari satu kali (data ganda) di lokasi yang sama atau berbeda. Pindah Domisili: Sudah pindah tempat tinggal ke wilayah lain (di luar Daftar Pemilih lokasi semula). Status TNI/Polri: Pemilih yang beralih status menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) aktif. Gangguan Jiwa/Ingatan: Mengalami gangguan jiwa atau ingatan secara permanen berdasarkan keterangan dokter. Hak Pilih Dicabut: Sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Tidak Dikenal: Pemilih yang tidak dikenal atau tidak bisa diverifikasi keberadaannya saat proses Coklit. Cara Menghindari Status TMS Agar hak konstitusional Anda terjamin, pastikan Anda telah memenuhi syarat dasar pemilih dan melakukan pengecekan data secara berkala, terutama saat proses Pemutakhiran Data Pemilih (Coklit) berlangsung. Jika nama Anda masuk dalam daftar TMS padahal Anda masih memenuhi syarat, segera hubungi petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) terdekat atau KPU setempat dengan membawa bukti identitas diri yang sah (KTP-el/KK) untuk mengajukan perbaikan data. Baca juga: Awas! Hak Pilihmu Hilang Jika Tak Terdaftar, Cek DPT Sekarang! Penting: Selalu cek status pemilih Anda di situs resmi KPU untuk memastikan Anda terdaftar sebagai MS (Memenuhi Syarat) agar bisa menggunakan hak suara Anda di bilik TPS.

Demokrasi Terpimpin di Indonesia: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Sejarahnya

Papua Pegunungan - Pada masa dahulu Indonesia pernah menggunakan Demokrasi Terpimpin, lalu apa itu Demokrasi Terpimpin? Bagai mana ciri dan sejarahnya? Setelah masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1959, Indonesia kembali mengalami perubahan sistem politik besar melalui penerapan Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Sistem ini diberlakukan sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan bertahan hingga tahun 1966. Periode ini menjadi salah satu fase penting dalam sejarah politik Indonesia, di mana kekuasaan negara berpusat pada figur pemimpin nasional. Demokrasi Terpimpin dimaksudkan untuk menstabilkan kondisi politik yang sempat tidak menentu akibat perbedaan pandangan di antara partai-partai politik pada masa Demokrasi Liberal. Baca juga: Sejarah Golput di Indonesia: Asal Usul, Penyebab, dan Dampaknya terhadap Demokrasi Pengertian Demokrasi Terpimpin Menurut Yayuk Nuryanto dalam buku Cakap Berdemokrasi Ala Generasi Milenial (2018), Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang proses pengambilan keputusan dan kebijakannya berpusat pada satu orang, yakni pemimpin negara. Sementara itu, Suarlin dan Fatmawati dalam Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (2022) menyebutkan bahwa sistem ini menempatkan pemimpin sebagai pusat kekuasaan politik dan arah kebijakan nasional. Secara historis, gagasan Demokrasi Terpimpin pertama kali disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang Konstituante pada 10 November 1956. Ide ini kemudian diresmikan secara konstitusional setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi: Pembubaran Konstituante, Berlaku kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dekrit ini menjadi tonggak lahirnya masa Demokrasi Terpimpin sekaligus berakhirnya masa Demokrasi Liberal di Indonesia. Tujuan dan Latar Belakang Munculnya Demokrasi Terpimpin Penerapan Demokrasi Terpimpin dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Liberal. Konstituante gagal menyusun undang-undang dasar yang baru, sementara pergantian kabinet yang terlalu sering menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif. Melalui konsep Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno berupaya memulihkan stabilitas politik dan memperkuat persatuan nasional dengan menjadikan pemimpin sebagai pusat koordinasi politik, ekonomi, dan sosial. Awalnya, sistem ini dimaksudkan sebagai wujud dari prinsip “demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Namun, seiring waktu, maknanya bergeser menjadi demokrasi yang sangat terpusat pada kekuasaan Presiden. Baca juga: Demokrasi Pancasila: Pengertian, Ciri, Aspek, Prinsip, dan Penerapannya di Indonesia Ciri-Ciri Demokrasi Terpimpin Dalam pelaksanaannya, Demokrasi Terpimpin memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari sistem demokrasi lainnya. Berikut beberapa ciri utama yang menggambarkan praktik politik pada periode 1959–1966: 1. Dominasi Kekuasaan di Tangan Presiden Pada masa ini, Presiden Soekarno memegang kekuasaan tertinggi atas lembaga-lembaga negara. Kedudukan MPRS dan lembaga legislatif berada di bawah kendali presiden. Bahkan, MPRS pernah menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya keseimbangan kekuasaan (check and balance) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. 2. Pembatasan Hak Politik Rakyat Kebebasan politik rakyat mulai dibatasi. Salah satu contohnya adalah pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian digantikan oleh DPR Gotong Royong (DPR-GR) dengan anggota yang diangkat langsung oleh presiden. Selain itu, pembubaran partai politik dan pembatasan organisasi kemasyarakatan dilakukan dengan alasan menjaga stabilitas nasional. 3. Dominasi Partai Tertentu dan Politik Ideologi Dalam sistem ini, muncul Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan. Presiden Soekarno membentuk Front Nasional, yang menjadi wadah bagi PKI untuk memperluas pengaruhnya. Kondisi ini menggeser peran partai-partai lain dan menciptakan ketidakseimbangan dalam politik nasional. 4. Peran Ganda Militer (Dwifungsi ABRI) Militer memiliki peran penting dalam pemerintahan, tidak hanya di bidang pertahanan, tetapi juga dalam urusan politik dan pemerintahan. Presiden Soekarno menempatkan diri sebagai Panglima Tertinggi TNI, dan menerapkan konsep balance of power antara militer dan partai politik. Peran militer yang semakin luas ini dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, yang kelak menjadi ciri khas politik Indonesia pada masa-masa berikutnya. Baca juga: Demokrasi Parlementer: Pengertian, Ciri, Aspek, Prinsip, dan Penerapannya di Era Modern 5. Politik Luar Negeri Poros “Oldefo-Nefo” Dalam bidang politik luar negeri, Indonesia meninggalkan prinsip bebas-aktif dan menggantinya dengan politik poros dunia yang membagi kekuatan global menjadi dua: Oldefo (Old Established Forces): negara-negara kapitalis dan kolonialis seperti Amerika Serikat dan sekutunya, Nefo (New Emerging Forces): negara-negara berkembang dan anti-imperialis. Indonesia memperkuat hubungan dengan negara-negara Nefo seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Uni Soviet. Salah satu wujud nyata kebijakan ini adalah penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta pada tahun 1963. Namun, arah politik luar negeri tersebut juga menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat dan konflik diplomatik, terutama dengan Malaysia melalui Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tahun 1964. Dampak dan Akhir dari Demokrasi Terpimpin Walaupun awalnya dimaksudkan untuk memperkuat persatuan nasional, praktik Demokrasi Terpimpin justru menyebabkan konsentrasi kekuasaan pada satu tangan, mengurangi fungsi lembaga legislatif, dan membatasi partisipasi rakyat dalam politik. Ketegangan politik dan meningkatnya pengaruh PKI menimbulkan konflik internal yang memuncak pada peristiwa G30S tahun 1965, yang akhirnya menandai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin. Setelah itu, Indonesia memasuki era baru, yaitu masa Demokrasi Pancasila di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Demokrasi Terpimpin merupakan fase penting dalam perjalanan politik Indonesia. Sistem ini lahir dari keinginan untuk menata kembali kehidupan politik yang kacau pada masa Demokrasi Liberal, namun dalam praktiknya justru menimbulkan konsentrasi kekuasaan pada satu figur. Dari periode ini, bangsa Indonesia belajar bahwa keseimbangan kekuasaan, partisipasi rakyat, dan penghormatan terhadap hukum adalah elemen penting dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkeadilan. (GSP)

Demokrasi Liberal di Indonesia: Pengertian, Sejarah, dan Dinamika Penerapannya

Papua Pegunungan - Demokrasi merupakan fondasi penting dalam membangun kehidupan politik yang menjunjung tinggi partisipasi rakyat, kebebasan berpendapat, dan penegakan hukum. Dalam artikel ini kami akan membahas tentang pengertian, sejarah, Demokkrasi Liberal di Indonesia terus ikuto dinamika dan penerapannya. Dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia telah melalui beberapa periode demokrasi, mulai dari Demokrasi Parlementer (1945–1959), Demokrasi Terpimpin (1959–1966), Demokrasi Pancasila (1965–1998), hingga Era Reformasi yang berlangsung hingga kini. Salah satu fase penting dalam perjalanan politik Indonesia adalah masa Demokrasi Liberal atau sering disebut juga Demokrasi Parlementer, yang berlangsung antara tahun 1950 hingga 1959. Pada masa ini, Indonesia berupaya menerapkan sistem pemerintahan yang meniru model parlementer Barat, di mana kekuasaan eksekutif dan legislatif dijalankan secara seimbang, dan rakyat memiliki peran besar melalui partai politik. Baca juga: Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Pentingnya dalam Sistem Pemerintahan Modern Pengertian Demokrasi Liberal Secara umum, demokrasi liberal adalah sistem politik yang menekankan pembagian kekuasaan, perlindungan terhadap hak-hak individu, serta partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Menurut Matroji (2002), demokrasi liberal menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Sementara Wati (2018) menjelaskan bahwa sistem ini bertujuan melindungi hak-hak individu dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Berdasarkan e-Modul Sejarah Indonesia Kelas XII Kemendikbud, demokrasi liberal dikenal juga sebagai demokrasi parlementer, di mana kekuasaan legislatif lebih dominan dibanding eksekutif. Dengan demikian, demokrasi liberal dapat dipahami sebagai sistem politik yang mengedepankan kedaulatan rakyat, pembagian kekuasaan yang seimbang, serta perlindungan hak-hak individu melalui konstitusi. Ciri-Ciri Demokrasi Liberal Ciri utama sistem demokrasi liberal adalah adanya pembagian kekuasaan dan sistem multipartai, yang membuka ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi melalui berbagai partai politik. Beberapa ciri khas demokrasi liberal antara lain: Kepala negara bersifat simbolis dan tidak dapat diganggu gugat. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Kabinet dibentuk berdasarkan suara terbanyak di parlemen. Masa jabatan kabinet tidak tetap dan dapat dijatuhkan oleh parlemen kapan saja. Keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas melalui sistem voting. Adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Pemerintahan dijalankan atas dasar kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemilihan umum. Baca juga: Haji Agus Salim: Teladan Intelektual dan Pejuang Demokrasi Bangsa Latar Belakang Munculnya Demokrasi Liberal di Indonesia Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia berusaha mencari bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan kondisi bangsa. Berbagai gagasan muncul, termasuk sistem federasi, republik, hingga monarki konstitusional. Langkah awal menuju demokrasi liberal dimulai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 yang memberikan wewenang legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kemudian disusul Maklumat Pemerintah 3 November 1945, yang membuka kesempatan bagi rakyat untuk membentuk partai politik. Tokoh muda seperti Sutan Sjahrir mendorong gagasan sistem multipartai sebagai bentuk demokrasi sejati. Akibatnya, berbagai partai politik lahir, seperti PNI, Masyumi, NU, PKI, PSI, Parkindo, dan lainnya. Langkah tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia internasional, terutama negara-negara Barat, bahwa bangsa yang baru merdeka ini mampu menjalankan sistem politik yang demokratis. Penerapan Demokrasi Liberal di Indonesia (1950–1959) Demokrasi liberal mulai diterapkan setelah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang menetapkan sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, presiden berperan sebagai kepala negara, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri bersama kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam kurun waktu sembilan tahun, Indonesia mengalami tujuh kali pergantian kabinet, di antaranya: Kabinet Natsir (1950–1951) Kabinet Sukiman (1951–1952) Kabinet Wilopo (1952–1953) Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953–1955) Kabinet Burhanuddin Harahap (1955–1956) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956–1957) Kabinet Djuanda (1957–1959) Seringnya pergantian kabinet ini menunjukkan ketidakstabilan politik, yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antarpartai di parlemen. Namun, di sisi lain, masa ini juga mencatat beberapa kemajuan penting, seperti Pemilu pertama tahun 1955, yang dianggap sebagai tonggak sejarah demokrasi Indonesia. Pemilu 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante, sekaligus menjadi bukti bahwa Indonesia mampu melaksanakan pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Baca juga: Asas-asas Pemilu di Indonesia dan Penjelasannya: Memahami Pilar Demokrasi Luber-Jurdil Akhir dari Masa Demokrasi Liberal Meskipun menjadi tonggak awal demokrasi di Indonesia, sistem demokrasi liberal dianggap belum mampu menciptakan stabilitas politik. Konflik antarpihak dan pergantian kabinet yang terlalu sering menghambat pembangunan nasional. Situasi ini mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Keputusan ini menandai berakhirnya masa Demokrasi Liberal dan menjadi awal dari Demokrasi Terpimpin. Masa demokrasi liberal merupakan periode penting dalam sejarah politik Indonesia. Meski diwarnai instabilitas dan perdebatan politik, era ini menjadi fondasi bagi berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman ini, bangsa Indonesia belajar bahwa demokrasi bukan hanya soal kebebasan, tetapi juga tanggung jawab dan keseimbangan dalam menjalankan kekuasaan. Sistem pemerintahan yang demokratis — seperti yang terus dijaga oleh KPU saat ini — menjadi bukti bahwa semangat rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa tetap hidup dari masa ke masa. (GSP)

Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Pentingnya dalam Sistem Pemerintahan Modern

Papua Pegunungan - Melalui prinsip-prinsip demokrasi, setiap individu memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya sekaligus ikut serta dalam menentukan kebijakan publik yang memengaruhi kehidupan bersama. Melalui artikel berikut ini kita akan membahas prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu konsep politik yang menjadi dasar dalam membangun sistem pemerintahan yang terbuka dan partisipatif. Sebagai sebuah sistem yang terus berkembang, demokrasi menempatkan rakyat sebagai pusat pengambilan keputusan dalam menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut penjelasan yang dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, demokrasi sering kali diartikan sejajar dengan kebebasan. Namun, keduanya sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Kebebasan adalah hak dasar yang dimiliki setiap individu, sementara demokrasi merupakan sistem yang mengatur bagaimana kebebasan itu dijalankan secara bertanggung jawab melalui aturan dan lembaga yang sah. Dengan demikian, demokrasi dapat dipahami sebagai bentuk pelembagaan dari kebebasan — di mana kebebasan warga negara tidak berdiri tanpa batas, tetapi dikelola agar tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. Baca juga: Apa Itu Demokrasi dan Perkembangannya di Indonesia Prinsip-Prinsip Demokrasi Hampir seluruh negara di dunia kini menjadikan demokrasi sebagai sistem politik utama, meskipun penerapannya bisa berbeda-beda. Demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum atau pergantian pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana negara mengatur kehidupan masyarakat dengan menjunjung nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Henry Bertram Mayo dalam bukunya An Introduction to Democratic Theory (1960) menjelaskan bahwa sistem politik yang demokratis hanya dapat terwujud jika dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip dasar berikut: 1. Penyelesaian perselisihan secara damai dan melembaga. Demokrasi menolak kekerasan sebagai jalan penyelesaian konflik, dan menggantinya dengan dialog serta mekanisme hukum yang sah. 2. Perubahan sosial dilakukan secara damai. Dalam masyarakat yang terus berkembang, perubahan merupakan hal wajar. Demokrasi menjamin perubahan terjadi tanpa kekacauan. 3. Pergantian pemimpin dilakukan secara teratur. Kepemimpinan dalam sistem demokrasi harus berganti melalui mekanisme yang sah dan berkala, seperti pemilu. 4. Penggunaan kekerasan dibatasi seminimal mungkin. Demokrasi menolak penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada penindasan rakyat. 5. Mengakui keberagaman masyarakat. Setiap individu memiliki pandangan, latar belakang, dan keyakinan yang berbeda, dan semua itu dihormati dalam sistem demokrasi. 6. Menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum dan keadilan berlaku untuk semua, tanpa pandang bulu. Baca juga: Jejak Demokrasi Papua: Dari Pepera 1969 ke Pemilu 1971 Soko Guru Demokrasi dalam Kehidupan Berbangsa Menurut Alamudi dalam buku Ilmu Kewarganegaraan (2006) karya Sri Wuryan dan Syaifullah, suatu negara dapat disebut berbudaya demokrasi apabila menegakkan nilai-nilai yang menjadi pilar utamanya. Beberapa di antaranya meliputi: Kedaulatan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, artinya kekuasaan hanya sah jika mendapat legitimasi rakyat. Kekuasaan mayoritas dijalankan tanpa mengabaikan hak-hak minoritas. Pemilihan umum yang bebas dan jujur sebagai sarana utama partisipasi rakyat. Persamaan di depan hukum dan jaminan hak asasi manusia. Pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Nilai-nilai toleransi, musyawarah, dan kerja sama yang menjadi ciri khas kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi utama dalam membangun sistem pemerintahan yang adil dan terbuka. Tanpa prinsip-prinsip ini, demokrasi hanya menjadi simbol tanpa substansi. Trias Politica dan Mekanisme Checks and Balances Salah satu elemen penting dalam demokrasi modern adalah prinsip trias politica, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga lembaga utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif bertugas membuat undang-undang. Eksekutif melaksanakan undang-undang dan mengatur jalannya pemerintahan. Yudikatif berfungsi menegakkan hukum dan mengawasi keadilan. Ketiga lembaga ini memiliki kedudukan yang sejajar dan bersifat independen, sehingga tidak ada satu pihak pun yang memiliki kekuasaan mutlak. Hubungan di antara mereka diatur berdasarkan prinsip checks and balances, yakni saling mengawasi dan saling mengontrol agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Demokrasi bukan hanya tentang kebebasan berpendapat atau memilih pemimpin, melainkan juga tentang tanggung jawab bersama dalam menjaga tatanan sosial dan keadilan. Prinsip-prinsip demokrasi berfungsi sebagai panduan moral dan politik agar kekuasaan tetap berpihak pada rakyat. Dengan penerapan nilai-nilai tersebut — mulai dari penghormatan terhadap hak asasi manusia hingga pembagian kekuasaan yang seimbang — demokrasi tidak hanya menjadi sistem pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya politik yang menumbuhkan partisipasi, toleransi, dan rasa tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (GSP)  

Jejak Demokrasi Papua: Dari Pepera 1969 ke Pemilu 1971

Wamena - Perjalanan demokrasi di Tanah Papua tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang integrasi wilayah ini ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilu pertama di Papua bukan hanya sekadar pesta politik, melainkan momentum penting yang menandai lahirnya kesetaraan politik bagi masyarakat di ujung timur Nusantara. Baca juga: Wajib Tahu! Syarat Menjadi Pemilih Sah di Pemilu 1.⁠ ⁠Dari Pepera ke Integrasi: Awal Perjalanan Politik Papua Ketika Indonesia melaksanakan Pemilu pertama tahun 1955, wilayah Papua — saat itu masih bernama Nederlands Nieuw-Guinea — belum menjadi bagian dari Republik Indonesia. Situasi berubah setelah Perjanjian New York (15 Agustus 1962) antara Indonesia dan Belanda, yang kemudian melahirkan pemerintahan sementara PBB (UNTEA) di wilayah tersebut. Pada 1 Mei 1963, administrasi Papua resmi diserahkan kepada Indonesia. Namun, status politik Papua baru dikukuhkan setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang menghasilkan keputusan bergabung dengan Indonesia. Inilah titik awal rakyat Papua mulai menjadi bagian aktif dalam sistem politik dan demokrasi nasional. 2.⁠ ⁠Pemilu 1971: Babak Baru Demokrasi di Tanah Papua Setelah integrasi pasca-Pepera, pemerintah Indonesia mulai menata sistem pemerintahan di wilayah Papua (saat itu disebut Irian Barat). Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, pemerintah membentuk Provinsi dan Kabupaten di Irian Barat serta menyiapkan penyelenggaraan pemilu secara serentak. Maka pada tahun 1971, untuk pertama kalinya rakyat Papua ikut serta dalam Pemilu kedua secara nasional — memilih wakil-wakilnya di DPR dan DPRD. Bagi masyarakat Papua, momen ini menjadi simbol pengakuan atas hak politik yang setara dengan warga negara di seluruh wilayah Indonesia. Baca juga: Asas-asas Pemilu di Indonesia dan Penjelasannya: Memahami Pilar Demokrasi Luber-Jurdil 3.⁠ ⁠Makna Pemilu Papua bagi Demokrasi Nasional Pemilu 1971 menandai bahwa semangat demokrasi Indonesia telah menjangkau seluruh wilayah Nusantara. Partisipasi masyarakat Papua dalam pemilu menunjukkan bahwa demokrasi adalah ruang bagi semua warga negara untuk berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, dan menentukan arah pembangunan bangsanya. Kini, melalui lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, nilai-nilai demokrasi itu terus dijaga. Di era modern, KPU Papua Pegunungan menjadi garda depan dalam memastikan setiap warga memiliki hak pilih dan kesempatan politik yang adil, sebagaimana cita-cita demokrasi yang diperjuangkan sejak awal kemerdekaan. 4.⁠ ⁠Nilai-Nilai Demokrasi yang Terus Hidup Dari Pepera 1969 hingga Pemilu 1971 dan seterusnya, perjalanan politik di Tanah Papua mencerminkan nilai-nilai musyawarah, partisipasi, dan persatuan. Sejarah ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar soal pemungutan suara, tetapi tentang rasa memiliki terhadap bangsa dan tanggung jawab bersama menjaga keutuhan Indonesia. Baca juga: Demokrasi Indonesia tegak bersama KPU Papua Pegunungan  (Pram) Rujukan Sumber: Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. United Nations General Assembly Resolution 2504 (XXIV), 19 November 1969. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten di dalamnya. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Dokumentasi Pelaksanaan Pemilu 1971 di Irian Barat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI: Sejarah Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

DPTb dan DPK: Cara Pemilih Perantau Tetap Bisa Memilih

Wamena - Pemilu bukan hanya ajang memilih pemimpin, tetapi juga wujud nyata kedaulatan rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak warga — terutama para perantau — yang bingung membedakan antara Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK). Keduanya sama-sama memberikan kesempatan bagi pemilih yang belum terdaftar di TPS asal untuk tetap menyalurkan hak suaranya. Apa Itu DPTb? Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) adalah daftar bagi pemilih yang sudah terdaftar di DPT, tetapi tidak dapat memilih di TPS asal karena berpindah tempat pada hari pemungutan suara. Misalnya, seorang mahasiswa dari Wamena yang sedang kuliah di Jayapura dapat mengajukan pindah memilih. Pemilih DPTb wajib mengurus Formulir A5 di kantor KPU, PPS, atau PPK setempat sebelum batas waktu yang ditentukan (biasanya H-30 Pemilu). Dengan demikian, ia tetap bisa memilih di TPS lokasi baru sesuai peraturan. Baca juga: Mengenal COKTAS: Strategi KPU se-Papua Pegunungan dalam Menjaga Akurasi Data Pemilih Berkelanjutan Apa Itu DPK? Sementara itu, Daftar Pemilih Khusus (DPK) diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang belum terdaftar di DPT maupun DPTb, tetapi memiliki KTP elektronik dan datang ke TPS pada hari pemungutan suara. DPK adalah bentuk jaring pengaman demokrasi — memastikan tidak ada warga negara yang kehilangan hak pilih hanya karena kendala administrasi. Namun, pemilih DPK hanya dapat memilih di TPS sesuai alamat yang tercantum di e-KTP, dan waktunya biasanya diatur setelah pemilih DPT dan DPTb selesai mencoblos. Mengapa Penting bagi Perantau untuk Memahami Perbedaannya? Bagi para perantau, pekerja lapangan, maupun mahasiswa yang berpindah domisili, memahami DPTb dan DPK menjadi kunci agar hak pilih tetap terjamin. KPU terus mendorong kesadaran masyarakat agar mengurus pindah memilih lebih awal dan mengecek status pemilih melalui situs resmi atau aplikasi KPU. Hal ini sejalan dengan semangat Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL). Baca juga: Data Pemilih Papua Pegunungan Nihil Ganda, Ini Rahasianya!  Dasar Hukum dan Komitmen KPU terhadap Akses Pemilih KPU berpedoman pada: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan PKPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilu. Kedua regulasi ini menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kemudahan dalam menggunakan hak pilih, di mana pun mereka berada. Melalui sosialisasi berkelanjutan, KPU Provinsi Papua Pegunungan berkomitmen menjaga agar tak ada satu pun suara rakyat yang hilang. (Pram) Baca juga: Awas! Hak Pilihmu Hilang Jika Tak Terdaftar, Cek DPT Sekarang!